O"Barangsiapa menang, ia akan Kujadikan sokoguru di dalam Bait Suci Allah-Ku, dan ia tidak akan keluar lagi dari situ; dan padanya akan Kutuliskan nama Allah-Ku, nama kota Allah-Ku, yaitu Yerusalem baru, yang turun dari surga dari Allah-Ku, dan nama-Ku yang baru" (Wahyu 3:12).
Yohanes ditugaskan untuk menulis kepada jemaat di filadelfia, ia menasehati mereka untuk menjadi pemenang dan menjadi sokoguru di dalam Bait Allah. Sokoguru atau pilar adalah tiang penopang bangunan. Bangunan akan runtuh apabila pilar-pilarnya tidak kuat menopangnya. Karena itu, pilar berpengaruh besar terhadap keseluruhan bangunan. Jemaat muda harus bertekad untuk menjadi pilar di dalam rumah Allah dan mengambil tanggung jawab yang lebih besar. Jangka hidup manusia ada di tangan Tuhan, dan hidup ini akan segera berlalu (Mazmur 90:10). Tidak seorang pun dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya dengan cara kuatir (Lukas 12:25). Semua orang yang sekarang bekerja demi gereja, suatu hari akan beristirahat dari segala jerih lelah mereka (Wahyu 14:13) dan kembali ke surga. Tugas mereka akan diambil alih oleh generasi yang lebih muda. Maka, selagi masih muda, kita harus memperhatikan segala pekerjaan gereja. Harinya akan tiba saat tanggung jawab diserahkan kepada kita dan kita tidak ingin kita tidak siap menerimanya.
Kita harus membangun diri untuk menjadi pilar-pilar di rumah Allah. Tetapi bagaimana caranya?
1. Membangun Cita-Cita Ilahi
Kita sudah percaya, dan tahu bahwa Yesus adalah Yang Kudus dari Allah (Yohanes 6:69). Terlebih lagi, kita tahu kepada siapa kita percaya (2Timotius 1:12). Karena kita memiliki dasar iman yang sedemikian kokoh seperti sauh jiwa yang kuat dan aman (Ibrani 6:19), kita harus senantiasa membangun cita-cita ilahi. Ini adalah cita-cita yang disinggung Paulus: “Dialah yang kami beritakan, apabila tiap-tiap orang kami nasihati dan tiap-tiap orang kami ajari dalam segala hikmat, untuk memimpin tiap-tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus. Itulah yang kuusahakan dan kupergumulkan dengan segala tenaga sesuai dengan kuasa-Nya, yang bekerja dengan kuat di dalam aku” (Kolose 1:28-29). Yesus berkata, “Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma” (Matius 10:8). Karena kasih-Nya, Allah menyelamatkan kita dari lubang kebinasaan dan lumpur rawa (Mazmur 40:3). Sekarang giliran kitalah untuk menyelamatkan orang lain dengan cara merampas mereka dari api (Yudas 23). Dengan kuasa Allah, kita dapat mencapai cita-cita kita. Senjata kita dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi, melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup untuk meruntuhkan benteng-benteng. Kita mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kita menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus (2Korintus 10:4-5). Seperti kata Paulus, “Aku yakin sepenuhnya, Ia yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus” (Filipi 1:6). Saudara-saudari terkasih, berjuanglah untuk mencapai cita-citamu!
2. Melihat Melampaui Kaki Langit
Abram dan Lot sama-sama menggembalakan ternak mereka di antara Betel dan Ai. Ketika ternak mereka bertambah banyak, pertengkaran terjadi di antara gembala-gembala mereka. Abram merasa ia tidak sepatutnya bertengkar dengan Lot yang adalah keponakannya. Ia meminta Lot memilih tanah yang ia inginkan bagi ternaknya. Lot, yang egois dan berpandangan pendek, memilih seluruh Lembah Yordan. Namun kemudian Lot kehilangan semua hartanya dalam bencana. Abram tidak punya pilihan selain pergi ke tanah Kanaan. Tuhan berkata kepada Abram, “Pandanglah sekelilingmu dan lihatlah dari tempat engkau berdiri itu ke timur dan barat, utara dan selatan, sebab seluruh negeri yang kaulihat itu akan Kuberikan kepadamu dan kepada keturunanmu untuk selama-lamanya” (Kejadian13:14-15).
Apabila Allah meminta kita untuk memandang ke segala arah dan memberikan lahan yang bisa kita lihat, bukankah kita akan naik ke atas bukit dan berusaha melihat melampaui kaki langit agar mendapatkan tanah yang lebih luas? Semakin jauh kita melihat, semakin banyak yang kita terima. Mampu melihat jauh adalah hal yang baik.
Orang harus selalu melihat melampaui kaki langit saat melayani Allah.
Kita tidak boleh hanya terbenam dalam pekerjaan saat ini di gereja lokal kita. Kita harus meluaskan pandangan, dan membawa Injil ke segala bangsa. Sekaranglah masanya untuk mengabarkan Injil kebenaran ke seluruh penjuru dunia. Kita harus bertekad untuk pergi ke tempat yang jauh, karena banyak umat Allah ada di sana di kota itu (Kisah Para Rasul 18:10). Kita mengabarkan Injil agar mata mereka terbuka, dan agar mereka berbalik dari kegelapan kepada terang dan dari kuasa Iblis kepada Allah, agar mereka memperoleh pengampunan dosa dan mendapat bagian di antara orang-orang yang dikuduskan oleh iman dalam Kristus (Kisah Para Rasul 26:18).
Dengan hikmat Allah dan roh wahyu, dan dengan memiliki mata hati yang diterangkan, kita harus melihat jauh melampaui kaki langit melalui mata hati kita (Efesus 1:17-18). Kita mengharapkan panen yang berkelimpahan. Mata duniawi tidak dapat melihat rencana agung Allah. Kita bukan mencari hal-hal yang kelihatan, melainkan hal-hal yang tidak kelihatan; karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tidak kelihatan adalah kekal (2Korintus 4:18). Demi mendapatkan panen yang berkelimpahan, kita harus setia melakukan kehendak Allah walaupun itu sukar dan penuh rintangan. Perjuangan dan susah payah kita tidak akan sia-sia (1Korintus 15:58).
3. Memupuk Semangat Berkorban
Paulus berkata, “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan, dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih” (1Korintus 13:13). Memiliki iman dan pengharapan mengarah pada perolehan berkat bagi diri sendiri. Memiliki kasih bukanlah untuk diri sendiri semata, tetapi juga untuk Allah dan sesama manusia. Itulah sebabnya, kasih adalah yang terbesar di antara ketiga hal tadi. Setiap semangat pengorbanan berasal dari kasih. Allah begitu mengasihi dunia, sehingga Ia mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, sehingga kita dapat hidup melalui Dia. Inilah perwujudan kasih Allah. Ia mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. Berkorban demi dunia adalah kasih Allah yang sangat besar (1Yohanes 4:9-10). Pengorbanan yang dilakukan Tuhan Yesus adalah hasil dari kasih-Nya kepada kita.
Pelayanan membutuhkan pengorbanan uang, waktu, tenaga, dan semangat seseorang. Ini tidak bisa dicapai tanpa kasih. Ketika murid-murid Yesus mempertengkarkan siapa yang terbesar di antara mereka, Yesus mengajar mereka dan berkata, “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Matius 20:26-28). Mempersembahkan pelayanan di rumah Allah adalah sebuah pengorbanan. Apabila bukan karena kasih, tidak ada orang yang mau menjadi hamba semua manusia. Tuhan mengasihi kita dan Ia rela menyerahkan nyawa-Nya bagi kita. Ini menunjukkan bahwa kasih dan pengorbanan berkaitan erat. Dia mengasihi kita dan mati demi kita. Kasih-Nya mengendalikan kita. Kiranya kita hidup bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk Dia (Galatia 2:20; 2Korintus 5:14-15). Mari kita menjadi seperti Dia dalam mengasihi manusia dan dalam pelayanan. Mari kita memikul salib kita dan mengikut Dia dan hidup bagi Dia (Matius 16:24).
Paulus mendesak orang-orang di gereja agar bukan hanya memperhatikan kepentingan mereka sendiri, tetapi kepentingan orang-orang lain juga, dan memiliki pikiran Yesus dalam pikiran mereka (Filipi 2:4-5). Menjadi pilar di rumah Allah sama dengan menjadi hamba semua manusia. Ia dipanggil untuk menanggung kesusahan dan penderitaan, serta memperlihatkan semangat berkorban. Semua kesusahan dan penderitaan dapat ditanggung oleh karena kasih.
3. Kemampuan untuk Bersabar dan Mengampuni
Orang-orang yang berhasil dalam hidup seringkali bisa dikenali dari kemampuan mereka untuk bersabar dan memaafkan orang lain. Seperti kata pepatah Cina, “Perut Perdana Menteri dapat ‘menahan’ sebuah kapal.” Kebanyakan orang besar di dunia ini memiliki kemampuan untuk ‘menahan’ kekurangan orang lain. Kemampuan ini berasal dari kesabaran dan pengampunan yang perlu dipupuk.
Menjadi pilar di rumah Allah dan memimpin pekerjaan gereja, tak pelak orang pasti akan menghadapi orang-orang yang sulit bekerja sama. Secara langsung ataupun tidak, ia juga akan mendengar kritikan yang menghina. Dan seringkali akan ada beberapa orang berpikiran pendek dan grasa-grusu yang akan langsung menarik kesimpulan lalu mulai mengkritik tanpa terlebih dahulu memahami duduk perkaranya. Dan ada orang yang iri hati dan yang menuding segala hal. Apabila orang tidak punya kemampuan untuk bersabar dan mengampuni, ia akan meninggalkan pelayanannya saat kemarahan meledak. Semua jerih lelah dan usahanya akan tumbang dan sia-sia. Karena itu, kita harus belajar bersabar dan mengampuni kekurangan orang lain.
Pepatah Cina bilang, “Kurang sabar dalam urusan kecil akan merusak rencana besar.” Kita harus berhasil mempertahankan kesabaran dan tidak menyerah di tengah jalan. Kunci keberhasilan menjaga kesabaran adalah memulainya dengan kasih. Paulus berkata, “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati” (1Korintus 13:4). Kasih diwujudkan ketika seorang ibu menunjukkan kesabaran dan pengampunan kepada anaknya yang nakal. Mungkin ada jemaat di gereja yang suka berkeliling dan menyerang orang lain dengan kata-kata atau sikap mereka, tetapi biasanya mereka tidak bermaksud jahat. Mungkin mereka agak keras kepala atau sekadar ingin menonjolkan diri. Tetapi sikap mereka tidak akan mencelakai jemaat secara keseluruhan. Kita harus bersabar dan mengampuni mereka, dan memberi mereka kesempatan untuk bertobat.
Tuhan Yesus, setelah membasuh kaki murid-murid-Nya, berkata: “Kamu pun wajib saling membasuh kakimu” (Yohanes 13:14). Pelajaran dari sini ialah tentang saling mengampuni. Kesalahan yang umum dilakukan orang-orang dunia adalah tidak mau mengakui kesalahan sendiri. Apabila terjadi ketidaksesuaian, pasti pihak lain yang salah. Tetapi siapa yang tidak pernah salah? Apakah selalu pihak lain yang bersalah? Kita juga harus bercermin. Ketika muncul kesempatan, salinglah mengampuni, seperti saling membasuh kaki.
Ketika Ishak tinggal di Lembah Gerar, sumur-sumur yang ia gali entah dirampas atau ditimbuni tanah oleh musuh-musuhnya. Orang biasa tidak akan menerima perbuatan tidak adil ini. Tetapi kesabaran dan pengampunan Ishak dengan segera membuat malu musuh-musuhnya. Mereka mengakui kesalahan mereka dan membuat perjanjian dengan Ishak bahwa mereka tidak akan saling mencelakai. Kemampuan Ishak untuk bersabar dan mengampuni sungguh patut dikagumi (Kejadian 26:18-31). Paulus menasihati kita untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan atau membalas dendam, melainkan melayani musuh. Ketika sang musuh lapar, beri mereka makan; bila mereka haus, beri mereka minum; sebab dengan berbuat demikian kita menumpuk bara api di atas kepalanya. Janganlah kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan (Roma 12:17-21).
Untuk memupuk kemampuan bersabar dan mengampuni, serta menjadi pilar di rumah Allah, kita harus senantiasa mengingat ayat ini: “Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahhatian, kelemahlembutan, dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Kolose 3:12-14).
4. Rendah Hati dan Lemah Lembut
Kelemahlembutan secara khusus diperlukan di rumah Allah. Apabila pilar-pilar di rumah Allah, yaitu para hamba umat manusia, tinggi hati dan bersikap seperti penguasa, bagaimana mereka dapat dihormati oleh jemaat? Jemaat adalah saudara-saudari bagi kita dan harus diperlakukan dengan kasih. Menjadi pilar tidaklah sama seperti menjadi penguasa yang menerapkan kekuasaan pada bawahannya. Apabila demikian, jemaat perlahan-lahan akan pergi seperti domba-domba yang tersesat dan menjadi mangsa binatang buas. Lalu Tuhan Allah akan menuntut para gembalanya. Gembala yang jahat akan ditolak Allah (Yehezkiel 34:7-10).
Paulus ingin agar kita menjadikan hati Kristus sebagai hati kita. Apakah hati Kristus? Yesus berkata, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Matius 11:29).
Allah memilih Musa dan mempercayakan kepadanya tanggung jawab yang besar karena Musa sangat lemah lembut, lebih dari semua orang yang ada di atas muka bumi (Bilangan 12:3). Apabila Musa adalah orang yang sombong dan sok berkuasa, maka entah ia pasti sudah dibunuh oleh orang-orang yang ia pimpin, atau ia meninggalkan pekerjaannya di tengah jalan.
Orang-orang yang lemah lembut adalah pemimpin yang baik, yang tetap tenang dan tidak dikendalikan oleh emosi saat menghadapi masalah. Yakobus berkata, “Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah” (Yakobus 1:19-20). Amsal juga mengajar kita: “Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan” (Amsal 14:29). Dan lagi: “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota” (Amsal 16:32). Tidaklah mudah memiliki pengendalian penuh atas emosi dan amarah serta mewujudkan kelemahlembutan. Kita harus berusaha memupuk kelemahlembutan agar mencapai kesempurnaan.
Paulus mengajar dan menasihati Timotius si penginjil muda dengan berkata, “Seorang hamba Tuhan tidak boleh bertengkar, tetapi harus ramah terhadap semua orang. Ia harus cakap mengajar, sabar, dan dengan lemah lembut dapat menuntun orang yang suka melawan, sebab mungkin Tuhan memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertobat dan memimpin mereka sehingga mereka mengenal kebenaran, dan dengan demikian mereka menjadi sadar kembali, karena terlepas dari jerat Iblis yang telah mengikat mereka pada kehendaknya” (2Timotius 2:24-26). Ucapan yang lembut tidak akan menyulut kemarahan lawan bicara. Sebaliknya akan menyelamatkan diri sendiri dan di saat yang sama menuntun orang lain ke jalan kehidupan. Kitab Suci berkata, “Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah” (Amsal 15:1) dan “Lidah lembut adalah pohon kehidupan” (Amsal 15:4). Lidah yang lembut membawa jalan kehidupan, sementara pohon kehidupan menghasilkan buah kehidupan, sehingga mereka yang makan darinya akan menerima kehidupan kekal.
5. Tekad yang Teguh
Seorang atlet harus memiliki tekad yang kuat untuk bertahan sampai akhir. Dalam lomba lari maraton, kecepatan tidak ada gunanya apabila orang gagal mencapai garis akhir. Dalam perjalanan menuju kerajaan surga, tanpa tekad yang kuat untuk terus berjalan hingga akhir, orang hanya bisa melihat kota suci dan mengeluh, tidak mampu mencapai gerbangnya. Alkitab mencatat, “Karena kita telah beroleh bagian di dalam Kristus, asal saja kita teguh berpegang sampai kepada akhirnya pada keyakinan iman kita yang semula” (Ibrani 3:14). Dengan kata lain, apabila iman kita tidak teguh hingga akhir, kita tidak akan mendapat bagian dalam Kristus. Akan ada orang-orang yang akan berkata kepada Tuhan, “Tuhan,
Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga?” (Matius 7:22). Tetapi Tuhan akan menyatakan bahwa Ia tidak pernah mengenal mereka. Sungguh tragis! Tuhan berkata, “Tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat” (Matius 24:13). Jadi kita harus memiliki ketekunan supaya dapat melakukan kehendak Allah dan menerima apa yang dijanjikan (Ibrani 10:36). Yakobus juga menasihati kita, “Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi. Kamu juga harus bersabar dan harus meneguhkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat!” (Yakobus. 5:7-8). Tekad yang kuat untuk tetap setia sampai akhir berasal dari pertumbuhan dalam ketekunan.
Kita harus memiliki iman yang akan membawa kita sampai akhir. Sebagai pilar-pilar di bait Allah dan sebagai hamba di rumah Allah, kita juga harus mengemban tugas dengan setia hingga akhir. Bahkan di hari kita akan meninggalkan dunia ini, kita sanggup berkata seperti Paulus, “Darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat. Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran” (2Timotius 4:6-8). Kita harus meneladani Paulus, sama seperti Paulus meneladani Kristus.
Sebagai pilar-pilar di rumah Allah, kita harus melatih dan memupuk diri dalam hal cita-cita ilahi, melihat jauh ke depan melampaui kaki langit, berkorban, kemampuan untuk bersabar dan mengampuni, kelemahlembutan, dan kesetiaan. Kita harus terus maju ke depan dan menjadi pilar yang kokoh dalam rumah Allah. Ketika Tuhan datang kembali dalam kemuliaan, Ia akan berkata kepada kita, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Matius 25:21).
Kiranya Tuhan menyertai kita, dan menggunakan kita sebagai perabot yang mulia, dikuduskan dan dipandang layak untuk dipakai tuannya. Segala kemuliaan bagi nama Yesus yang kudus (2Timiotius 2:21).
Tuhan Yesus Memberkati!!