Sabtu, 20 Agustus 2016

Second Chance (kesaksian Ps. Benny Hinn)

Kesaksian dari pst Benny Hinn pada saat dia KKR di Afrika selatan tahun 2016.

Tolong diperhatikan pada kesaksian yg Benn Hin bicarakan

Benny Hinn  berkata pd th 2015 dia mendapat serangan jantung dan saat itu ia dibawa ke rumah sakit u operasi,dan saat dilakukan operasi dia bermimpi dan didalamnya
mimpi tersebut,dia melihat dirinya dalam  antrian panjang menuju pintu surga
Dan setiap orang memakai pakaian baju putih pada pintu gerbang surga ia melihat
YESUS memakai baju putih yg sangat berkilauan yang berbeda dengan orang oranh lain.
Dan di samping Tuhan Yesus ada seorang perempuan yg bermain piano.
YESUS akan memberikan tanda dengan kepala yang mengangguk dan menggelengkan kepala sebagai tanda apakah orang tersebut diterima a di tolak.
Jika Yesus mengangguk berkata" iya" pemain piano itu akan memainkan
melodi yg penuh kemulyaan dan kemulyaan memenuhi Tuhan tempat itu dan gerbang surga terbuka dengan sendirinya.tapi jika Tuhan menggelengkan kepala tanda menolak maka pemain piano akan memainkan musik yang menakutkan dan setan setan datang membawa orang itu ke neraka,Dia berkata semua yang antri tersebut adalah orang kristen dan pendeta, hanya 20 % yang masuk ke gerbang pintu surga dan 80% di tolak.Benni hin berkata semua orang gemetar pada saat mereka menunggu diantrian tersebut.sekarang tiba saatnya giliran pastor Benni hin maju dan pianis tersebut tau dan tersenyum pada Benni Hin sebagai tanda penghormatan karena BENNI HIN dikenal oleh orang orang di dunia,tetapi ketika Tuhan Yesus melihat pada Benni Hin,pandangan Nya berkata : tanda Ia tidak terkesan dengan Benni hin.
Dan Benni hin berkata : dia sangat gemetar dan ketakutan.Ketakutan nya semakin bertambah pada saat dia tau dia tidak bisa masuk ke gerbang itu dan pada saat Tuhan Yesus mengambil keputusan, dia kemudian terbangun dari mimpinya.
Dan kemudian Tuhan berkata "jangan lewatkan kesempatan ini.
Ini adalah kesempatanmu yang kedua.
Pastor Benni hin menjelaskan sesuatu kepada semua orang kristen yang MELAYANI harus memperhatikannya.
BENNI HIN  berkata dalam semua pelayanannya,dia punya dua tugas pelayanan yg pertama : melayani orang orang dengan karunia yang Tuhan berikan kepadanya seperti berkotbah dan mengadakan mujizat.
Kedua : melayani Tuhan secara pribadi.
Dia berkata pd th 2010 dia tidak lagi punya hubungan dengan Tuhan,hubungan dengan Tuhan putus dan Tuhan terasa sangat jauh dengan dia.
dan selama itu dia kehilangan uang 7 jt dollar dan kehilangan rumahnya dan hubungannya dengan Tuhan benar benar hilang.
Tetapi yang mengejukan adalah dia tau bahwa ia sudah tidak berhubungan lagi dengan Tuhan tapi dia masih bisa melakukan mujizat muizat dalam pelayanannya.
Dia katakan dia adalah seorang penipu besar.
Dia berpura pura punya hubungan  intim dengan Tuhan di depan orang orang yang dia layani,padahal sejujurnya hatinya jauh dari pada Tuhan.
(INGATLAH bahwa karunia dari Tuhan akan bekerja berulang ulang di saat kita dekat Tuhan atau pun tidak dekat Tuhan).
Tetapi untuk memasuki gerbang surga itu hanya bergantung dari hubunganmu dengan Tuhan.

Yang berpura pura bukan hanya saja Benny Hinn; tapi banyak anak anak Tuhan yang sudah lama melayani Tuhan menjadi BIASA dengan hal hal yang dari Tuhan seperti karunia.
Dan sering kali ke pura pura menjadi kebiasaannya setiap hari dihadapan orang orang dan pikirannya akan selalu memikirikan apa yg DIKATAKAN ORANG dari pada apa yang dikatakan Tuhan.
Pastor Benni hin mengakui bahwa dia menjual minyak urapan dan air kudus dan hal hal lain yg berasal dari Tuhan, dan yang dijual digereja untuk mendapatkan uang.Dia berkata sejak Tuhan memberikan KESEMPATAN KEDUA ,fokus hidupnya tidak lagi pada orang banyak dan pendapatnya tapi fokus apa yg dikatakan Tuhan tapi dia lebih berfokus pada hubungan dengan Tuhan supaya dia bisa masuk dalam pintu gerbang surga itu.

Pertanyaannya adalah jika pastor Benni hin aja gemetar, ketakutan dan sampai berkeringat dipintu gemetar dan dia tau tdk bisa masuk kedalam pintu itu bagaimana dengan kita ?jika engkau berdiri didepan pintu gerbang itu.
Jika engkau berpikir bahwa engkau bisa masuk ke gerbang itu karena engkau sudah lama melayani di gereja atau sudah berkotbah atau sudah melakukan mujizat ,saya pikir dia akan menolak kebanyakan dari kita.
Dan Tuhan menerima kita di pintu gerbang itu bukan karena perbuatan kita.

Filipi 2:12  Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir,

Tuhan tidak hanya memberikan kesempatan kedua pada pastor Benni hin saja tp Tuhan memberikan kesempatan ke dua pada semua tubuh Kristus diseluruh dunia untuk pulang ke surga kepada tangan Tuhan melalui anugrah dan belaskasihannya sebelum pintu gerbang surga itu tertutup.
Dan saat ini waktu nya sudah sangat singkat

Tuhan memakai Benny Hinn dalam hal ini karena dia punya pengaruh yang kuat untuk orang banyak dan supaya setiap orang secara pribadi bertobat di hadapan Tuhan. Ini saatnya membuang semua titel/penghargaan yang diberikan manusia dan berbalik mencari belas kasihan Tuhan supaya kita bisa masuk melewati pintu gerbang itu.

Intinya kita jangan mencuri kemuliaan Tuhan.
Tp miliki hubungan pribadi dengan Tuhan. Taat dengan apa yg Tuhan katakan dan bergantung penuh pada apa yg dikatakan Roh Kudus.

Tuhan Yesus memberkati

Jumat, 12 Agustus 2016

Bagaimana menghormati kekudusan TUHAN YESUS dalam setiap kebaktian kita di Gereja..?

1. Pastikan bahwa engkau datang ke Gereja adalah benar-benar ingin memuji dan memuliakan TUHAN dan rindu akan hadiratNYA menjamahmu.
Ingat! datang ke Gereja = hadir di BAIT ALLAH. Dan BAIT ALLAH = Tempat Kudus. Bukan hanya supaya dilihat jadi orang Kristen sehingga hari Minggu harus ke Gereja.

2. Jangan datang terlambat! Jika jam kebaktian mulai jam 08.00 atau 10.30, pastikan engkau sudah ada dalam ruangan. Ada kesaksian oleh seorang anak perempuan, saat dia mendapatkan vision (penglihatan) bahwa ternyata ada Malaikat Kudus TUHAN yang berada di atas setiap Gereja TUHAN yang membawa keranjang berkat dan setiap jemaat yang datang, saat di pintu masuk Gereja akan dituangkan bunga berkat. Begitu jam kebaktian dimulai, detik itu juga Malaikat Kudus TUHAN hilang. Jadi, yang terlambat datang ke Gereja tentu kehilangan bunga berkat TUHAN.

3. Seandainya pun engkau terlambat tiba di Gereja, apakah Worship Leader sudah memulai penyembahan atau belum, berdoalah dengan hati tulus dan minta ALLAH BAPA mengampuni kesalahanmu karena tiba terlambat. Mungkin engkau tidak menyangka bahwa saat itu kondisi jalanan sangat macet (tidak seperti biasanya). Sehingga selama kebaktian, BAPA ROH KUDUS akan memberikan damai sejahtera dan sukacitanya padamu.

4. Bersikap realistis juga apabila engkau terlambat tiba di Gereja. Cari tempat duduk di bagian belakang supaya engkau tidak menjadi perhatian menyolok dari jemaat lain dan akan jadi batu sandungan buat mereka.

5. Saat engkau duduk dan kebaktian belum dimulai, berdoalah secara pribadi dan minta agar bukan hanya jasmanimu (mulut) yang bernyanyi, tetapi roh-mu juga ikut memuji dan menyembah TUHAN.
Yohannes 4:24 – Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembahNya dalam roh dan kebenaran).

6. Bawa buku Alkitab! Sekalipun sekarang ada aplikasi Alkitab di hape, tapi TUHAN YESUS lebih berkenan pada Alkitab dalam buku cetak. Mengapa? Saat engkau membaca Alkitab di hape, ada kemungkinan notifikasi dari bbm, sms, whatsapp, FB dll, itu masuk dan secara tidak sengaja engkau membacanya. Akibatnya fokusmu buyar dan engkau kehilangan momentum dengan urapan TUHAN.

7. Pastikan hape-mu dalam kondisi sinyal mati (off) atau hening (silent) selama kebaktian berlangsung. Jika engkau aktifkan hape-mu atau dalam kondisi getar (vibrate), fokusmu juga akan buyar.

8. Jika engkau membawa anak kecil, ada pilihan yang bisa engkau lakukan:
– Jika engkau yakin bahwa anakmu dapat bersikap sopan (behave) selama kebaktian, biarkan ia duduk di sampingmu selama kebaktian.
– Jika engkau mengenal anakmu tidak tahan duduk dan ingin bermain, antarkan dia ke sesi Sekolah Minggu. Dengan begitu anakmu juga bertumbuh menjadi kuat dalam iman.

9. Jemaat yang datang ke Gereja memiliki latar belakang budaya dan sosial berbeda. Jika menurutmu ada jemaat yang berpakaian kurang sopan, jauhkan pandanganmu darinya. Jangan ikuti pikiranmu yang akan berkomentar negatif terhadap penampilannya yang tidak sesuai. Berdoalah pada BAPA ROH KUDUS agar pikiranmu tetap fokus selama kebaktian berlangsung. Kita tidak tau alasan-alasan seseorang yang datang ke Gereja. Mungkin saja itu suruhan iblis untuk merusak hadirat TUHAN selama kebaktian berlangsung.

10. Selama lagu penyembahan, angkatlah tanganmu. Karena dengan mengangkat tanganmu, engkau menyatakan pada ALLAH BAPA bahwa engkau lemah dan butuh dikuatkan. Bahwa engkau tidak dapat berjalan sendiri, dan butuh BAPA ROH KUDUS menuntunmu.

11. Selama lagu puji-pujian, bertepuk tanganlah dengan kencang dan engkau harus bergembira. Gerakkan tubuhmu mengiringi lagu pujian yang dinyanyikan. Jangan biarkan tubuhmu berdiri kaku (diam) dan tanganmu bertepuk pelan seperti orang malas. Jangan bertepuk tangan seperti orang membuat martabak. ALLAH BAPA di Sorga akan senang sekali jika engkau bergembira dan raut wajahmu bersuka ria selama puji-pujian dinyanyikan.

12. Selama kebaktian, engkau harus mengerti bahwa saat itu engkau ada dalam BAIT ALLAH yang Kudus.
Jadi, jangan melakukan hal seperti ini : mengunyah permen, makan kue (snack), mengobrol atau bicara berbisik ataupun pergi ke toilet. Bukankah engkau dapat pergi ke toilet sebelum jam kebaktian dimulai? Ingat! Hormati Kekudusan TUHAN dalam rumahNYA.

13. Saat engkau mendengarkan khotbah dari Hamba TUHAN, engkau akan mendapati tipe Hamba TUHAN seperti ini (kurang mendapat urapan ROH TUHAN) :
– Terlalu banyak memberikan unsur humor daripada menelaah Firman TUHAN.
– Hanya mengupas 1 ayat Firman TUHAN. Tidak ada ayat pendukung lainnya yang diberikan. Selebihnya selalu menceritakan tentang pengalaman pribadinya.
– Tidak interaktif dengan jemaat, dalam arti kurang memiliki kepekaan bahwa jemaat sebenarnya kurang mengerti.
– Berkhotbah tanpa ada point-point yang disampaikan atau pada akhir khotbah tidak ada hal apa yang harus dilakukan oleh jemaat TUHAN.
– Berkhotbah buru-buru karena mengejar sesi berikutnya di tempat lain.

Jika itu terjadi, janganlah engkau berkomentar negatif, bahkan dalam hatimu juga. Ambillah hal positif dari apa yang Hamba TUHAN khotbahkan itu. Selebihnya, itu adalah urusan TUHAN YESUS. BAPA di Sorga akan meminta pertanggung jawaban Hamba TUHAN itu kelak di kemudian hari.

15. Siapkan uang kolekte yang bersih dan tidak robek. Saat memberikan uang kolekte-mu ke kotak persembahan, cukup dilipat dua (atau lipat empat). Jangan buat uang kolekte-mu bentuknya seperti engkau memeras kelapa parut! TUHAN YESUS ingin agar engkau memberikan yang terbaik. Entah itu dari uang kolekte-mu ataupun dari hatimu juga.

16. Saat Hamba TUHAN memberikan ucapan berkat pada akhir kebaktian, tengadahkan kedua tanganmu (dua tangan, bukan satu tangan) ke atas tinggi-tinggi. Bukan tengadah tangan seperti yang dilakukan agama seberang (kedua tangan sejajar dengan dada/bahu). Ingat! Telapak tangan harus menghadap ke atas karena ini adalah doa berkat. Jika telapak tangan menghadap ke bawah itu artinya engkau sedang menyembah. Mengapa harus tinggi? Supaya berkat TUHAN YESUS cepat menghampirimu.

17. Saat kebaktian telah selesai, jangan buru-buru pulang. Luangkan waktu untuk berdoa. Katakan bahwa engkau berterima kasih atas Kasih dan Urapan TUHAN YESUS.

Jadilah jemaat yang cerdas dan memiliki hati yang bersih.
TUHAN YESUS memberkati kita semua. Haleluya. Amin…

artikel diambil dari https://menujuabba.wordpress.com/2016/08/01/wajib-baca-setiap-orang-kristen-menghormati-kekudusan-di-gereja/

Sabtu, 06 Agustus 2016

Salib Seorang Murid (Pikul Salib part.3)

Memikul salib – Mengapa?
Dalam tulisan kali ini, kita akan membahas tentang bagaimana rencana Allah untuk umat-Nya menjadi lebih besar dari yohanes pembaptis dapat diwujudkan di dalam diri kita. Kita akan melihat pada makna salib di dalam kehidupan seorang murid. Hal ini dapat ditemukan di Lukas 9:23-25. Jika kita mengaplikasikan firman Tuhan ke dalam hidup kita, kita akan mendapati bahwa Allah benar-benar dapat menjadikan kita lebih besar daripada yohanes pembaptis.

Lukas 9:23-25:
Kata-Nya kepada mereka semua (ucapan ini tidak ditujukan hanya kepada beberapa murid saja, melainkan kepada setiap orang, termasuk kamu dan saya): “Setiap orang yang mau mengikut Aku (sekali lagi, setiap orang), ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari (perhatikan kata “setiap hari”) dan mengikut Aku (ini bukanlah tindakan sesaat saja, melainkan kegiatan sehari-hari, proses yang berkelanjutan). Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?

Dikatakan, “Melainkan engkau memikul salibmu setiap hari…”. Siapa yang berkata keselamatan itu adalah tindakan sekali jadi? Di mana yang perlu kita lakukan hanyalah memikul salib sekali saja, dan mungkin kita nanti dapat membuang salib itu di pinggir jalan, lalu melanjutkan perjalanan tanpa dibebani salib. Sekalipun sudah membuang salib tetapi kita tetap merasa dapat menjadi murid Kristus? Tidak, tidak, tidak!! Dikatakan, “Kecuali jika kamu memikul salibmu setiap hari dan mengikut Aku, kamu tidak dapat menjadi muridKu. Setiap orang yang mau mengikut Aku, itulah jalan yang harus ditempuhnya.”

Mengapa Yesus menetapkan persyaratan seperti ini? Apakah maksud dari keselamatan itu? Apakah supaya kita dapat menyelamatkan diri kita sendiri? Tidak demikian halnya di dalam Alkitab. Di dalam Alkitab tindakan kita menyelamatkan diri kita akan menyebabkan kita kehilangan segalanya. “Barang siapa yang ingin menyelamatkan nyawanya maka dia akan kehilangan nyawanya, akan tetapi barangsiapa yang kehilangan nyawanya demi Aku dan demi Injil, maka Dia akan menyelamatkannya.”
Akan tetapi, bukankah kita sedang mencoba untuk menyelamatkan hidup kita sendiri. Anda sedang berusaha untuk menyelamatkan jiwa kita. Kata ‘jiwa’ merupakan terjemahan dari kata Yunani yang berarti hidup. Dalam tindakan kita menyelamatkan hidup atau jiwa kita, maka kita akan kehilangannya. Akan tetapi banyak orang Kristen yang tidak memahami hal ini. Sehingga banyak orang Kristen yang sama egoisnya dengan orang dunia.

Kita akan membahas tentang hal memikul salib dengan memakai 3 poin.
I. Salib dan Kuasa
A. Kuasa Elisa
Poin pertama adalah mengenai salib dan kuasa – kuasa untuk melakukan pekerjaan Allah. Kita memulai dengan membacakan kutipan dari 2 Raja-raja. Bagian ini merupakan bagian yang membangkitkan rasa penasaran. Ayat-ayat itu berbicara tentang elisa. Peristiwa yang tercatat sangatlah tidak lazim. Apakah arti dari peristiwa ini?

2 Raja-raja 13:20-21:
Sesudah itu matilah elisa (sang nabi besar, manusia Allah itu), lalu ia dikuburkan. Adapun gerombolan moab (orang moab, suku yang berdiam di sebelah barat israel; merupakan suku tetangga yang hidup nomaden, orang-orang yang memelihara ternak dan mengembara bersama ternaknya) sering memasuki negeri itu pada pergantian tahun. Pada suatu kali orang sedang menguburkan mayat. Ketika mereka melihat gerombolan datang, dicampakkan merekalah mayat itu ke dalam kubur elisa, lalu pergi. Dan demi mayat itu kena kepada tulang-tulang elisa, maka hiduplah ia kembali dan bangun berdiri.

Ini adalah suatu peristiwa yang sangat menarik. Tanpa mengetahui adat penguburan bangsa isreal akan sangat sulit untuk memahami ayat-ayat ini. Ketika peristiwa ini terjadi elisa sudah lama mati karena yang tersisa di kuburan itu hanyalah tulang-tulangnya. Jika elisa sudah lama dikuburkan lalu bagaimana mungkin kuburnya masih terbuka? Ayat-ayat di sini memberitahu kita bahwa mayat seseorang dilemparkan ke dalam kubur elisa. Perlu diketahui bahwa penguburan di israel dilakukan di dalam gua, tidak seperti kita yang menggunakan lubang galian. Orang israel menguburkan jenazah di dalam gua, biasanya di gua batu karang. Di dalam gua-gua itu terdapat banyak ceruk. Di dalam suatu gua akan ditemukan banyak ruangan yang saling berhubungan. Di sepanjang sisi ruangan itu, akan ditemukan banyak ceruk, tempat di mana mayat-mayat ditempatkan. Terdapat juga gua yang bagian temboknya berbentuk semacam rak di mana mayat dapat dengan begitu saja ditempatkan di atasnya.

Orang-orang ini sedang dalam prosesi penguburan, dan kelihatannya orang yang mati ini bukanlah orang yang penting karena identitasnya tidak diungkapkan. Dia dibawa ke suatu gua tempat penguburan, dan orang-orang menggotongnya ke dalam. Dan saat berada di dalam gua datanglah kabar tentang kedatangan gerombolan moab. Mereka menyadari bahwa jika mereka masuk lebih jauh lagi, maka mereka tidak akan punya cukup waktu untuk menghindari gerombolan moab. Jadi secara tergesa-gesa mereka mencari tempat terdekat dan melemparkan jenazah itu agar mereka dapat dengan segera keluar untuk melarikan diri. Mereka tidak tahu atau telah lupa bahwa itu merupakan tempat di mana mayat elisa dikuburkan. Disebutkan di sana bahwa ketika jenazah ini terkena tulang-tulang elisa, dia langsung hidup dan berdiri! Nah saya tidak tahu hal apa yang lebih menakutkan bagi mereka, apakah gerombolan moab di luar atau orang yang baru bangkit dari kematian ini! Orang-orang yang malang ini harus berhadapan dengan hal yang menakutkan baik di dalam mau pun di luar ruangan. Tentunya melihat orang mati yang bangkit kembali akan lebih menakutkan ketimbang gerombolan moab di luar. Jadi, mereka tidak tahu apakah harus keluar dari gua itu atau terus tinggal di dalam gua! Mereka terjepit di antara dua situasi.

Tetapi mengapa Alkitab mencatat peristiwa ini? Apa tujuannya? Mengapa kita harus mengetahui peristiwa ini? Tentu saja, maksudnya adalah untuk memberitahu kita sesuatu tentang elisa. Seluruh bagian ini berkaitan dengan elisa, seorang manusia Allah yang perkasa. Firman Allah bekerja dengan penuh kuasa dan ajaib di dalam hidup dan pelayanan elisa. Melalui elisa, kehidupan disalurkan setiap saat. Inilah artinya diselamatkan. Yaitu menjadi saluran keselamatan bagi orang lain. Itulah yang terjadi di sepanjang hidup elisa. Dia menyalurkan hidup Allah kepada orang lain, baik secara jasmani mau pun secara rohani. Tapi di waktu itu hamba Allah yang besar ini sudah mati dan telah dikuburkan, dan juga mungkin sudah dilupakan. Akan tetapi Allah memuliakan hamba-Nya ini sekali lagi. Bahkan di dalam kematiannya dia mampu menyalurkan hidup. Bukankah ini hal yang luar biasa? Sesudah mati pun dia masih menyalurkan kehidupan! Inilah poin yang ingin disampaikan oleh Tuhan kepada kita: Setiap hamba Allah yang sejati adalah saluran kehidupan. Dan hal ini diilustrasikan dengan sangat jelas lewat fakta bahwa Allah terus bekerja dengan penuh kuasa melalui hamba-Nya bahkan setelah hamba tersebut sudah meninggal dunia.

Tentu saja hal ini masih terjadi hari ini lewat berbagai macam sarana. Umpamanya, kita membaca sebuah buku dan kerohanian kita sangat dibantu. Penulis buku itu sudah lama mati. Namun, sekalipun dia telah mati, dia tetap berbicara kepada kita melalui lembar-lembar halaman buku yang tidak lebih hidup dari pada tulang-tulang orang mati. Lembaran kertas yang mati di hadapan kita, benda-benda yang mati secara jasmani itu, sedang menyalurkan kehidupan rohani kepada kita. Sekalipun orangnya sudah lama mati, pelayanannya terus saja membagikan berkat. Menurut Paulus, setiap hamba Allah yang sejati, entah di dalam hidup atau pun matinya, terus melayani dan memuliakan Dia (Flp 1:20).

Terdapat hal lain yang perlu diperhatikan. Beberapa pasal sebelum ini di 2 Raja-raja 4:32-37, kita menemukan peristiwa tentang anak laki-laki dari seorang perempuan sunem. Dan di dalam bagian tersebut, Elisa datang ke rumah perempuan Sunem itu, dan membangkitkan anaknya dari kematian. Bagaimana elisa membangkitkan anak tersebut? Elisa merentangkan tubuhnya ke atas mayat anak itu. Dia berada di dalam posisi terentang di atas mayat itu sampai si anak itu hidup kembali. Dengan kontak secara jasmani ini – dengan memberikan dirinya sepenuhnya, menutupi tubuh anak itu sepenuhnya – si anak kemudian hidup kembali.

B. Kuasa Yesus
Tiga kali di dalam Injil, disebutkan bahwa Yesus membangkitkan orang mati. Akan tetapi Yesus tidak merentangkan tubuhnya di atas mayat orang mati tersebut. Dia bahkan tidak harus menyentuh tubuh orang mati itu. Dengan satu perintah, orang mati itu hidup kembali.

Peristiwa yang pertama tercatat di Lukas 7:14 menceritakan tentang anak laki-laki seorang janda dari nain. Saat itu Yesus sedang berjalan menuju nain dan sedang berlangsung suatu prosesi penguburan. Hati si ibu sangat hancur karena yang meninggal dunia adalah anak lelaki satu-satunya. Ini berarti dia tidak sekadar kehilangan apa yang paling dikasihi dan dekat dengannya, tetapi dia juga akan kehilangan sumber penghidupannya. Di zaman itu tidak ada sistem jaminan sosial. Jika suami atau anak kita meninggal dunia, itu berarti kita tidak akan mempunyai sumber penghasilan. Kita akan jatuh miskin dan mengalami kelaparan, bahkan mungkin harus menjadi pengemis di jalanan. Tetapi saat Yesus menghentikan prosesi penguburan itu dan berkata kepada anak muda yang sudah mati itu, “Bangkitlah,” dan orang yang mati itu bangkit kembali.

Peristiwa kebangkitan yang kedua tercatat di pasal selanjutnya. Di Lukas 8:54 berkisah tentang anak perempuan yairus dibangkitkan. Di dalam peristiwa ini, Yesus memang memegang tangan anak perempuan itu dan memerintahkannya untuk bangun. (Namun tentu saja, sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam kasus yang sebelumnya, Yesus sebenarnya tidak harus menyentuh anak itu.)

Peristiwa yang ketiga dapat dibaca di dalam Yohanes 11. Yesus membangkitkan Lazarus. Sekali lagi, kebangkitan ini dilakukan cukup dengan memberikan satu perintah yang sederhana, tanpa harus melakukan kontak fisik.

C. Para Rasul Lebih Besar dari Yohanes Pembaptis
Di sini kita melihat kuasa Yesus Kristus yang lebih besar daripada Yohanes Pembaptis. Yesus Kristus juga berkata, “Kamu akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar karena Aku pergi kepada Bapa.” (Yoh 14:12-14)

Hal itu memang terjadi di Kisah 5:15. Di dalam kasus ini, sepatah kata pun tidak diucapkan. Bukan saja tanpa kontak fisik, namun sepatah kata pun tidak diucapkan tetapi kuasa yang menyalurkan kehidupan dan kesembuhan dengan nyata terlihat. Kisah 5:15,16 berkaitan dengan Petrus:
"Bahkan mereka membawa orang-orang sakit ke luar, ke jalan raya, dan membaringkannya di atas balai-balai dan tilam, supaya, apabila petrus lewat, setidak-tidaknya bayangannya mengenai salah seorang dari mereka. Dan juga orang banyak dari kota-kota di sekitar yerusalem datang berduyun-duyun serta membawa orang-orang yang sakit dan orang-orang yang diganggu roh jahat. Dan mereka semua disembuhkan"
Kuasa dapat dialami orang banyak hanya melalui bayangan petrus yang berjalan melewati mereka. Yang dibutuhkan hanyalah bayangan petrus. Sepatah kata pun tidak perlu Petrus ucapkan. Petrus tidak menyentuh mereka; dia tidak mengucapkan apa-apa. Bayangannya melintasi mereka dan itu sudah cukup. Hanya dengan bayangannya, kuasa Allah dapat disalurkan melalui hamba-Nya untuk memberikan kehidupan dan kesembuhan! Itulah kebesaran Allah yang bekerja melalui hamba-Nya.

Hal yang sama berlaku pada rasul paulus. Kisah 19:11-12, kita melihat kebesaran yang sama.
Oleh paulus Allah mengadakan mukjizat-mukjizat yang luar biasa, bahkan orang membawa saputangan atau kain yang pernah dipakai oleh Paulus dan meletakkannya atas orang-orang sakit, maka lenyaplah penyakit mereka dan keluarlah roh-roh jahat
Sapu tangan, atau kain yang pernah bersentuhan dengan tubuh paulus, saat disentuhkan kepada orang sakit, atau orang yang dirasuk roh jahat, dan mereka langsung disembuhkan.
Petrus tidak punya kuasa. Paulus tidak punya kuasa. kita tentu ingat ketika petrus menyembuhkan orang yang lumpuh, orang-orang menjadi kagum. Dia berkata, “Mengapa kamu melihat kami seperti itu? Kami tidak punya kuasa apa-apa. Kami tidak menyembuhkan orang ini. Allah yang menyembuhkan dia melalui kami (Kisah 3:12).” Kuasa Allah yang bekerja melalui para rasul. Kata Yesus, “Kamu akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar…” (Yoh 14:12-14) Di dalam pelayanan Yesus Kristus, hal-hal yang seperti itu tidak terjadi, namun sekarang kita melihat hal semacam itu terjadi melalui petrus dan paulus.

Bermegah dalam Salib yang memberi Kuasa
Di manakah rahasia dari kuasa ini? Dari Yesus ke rasul petrus dan ke rasul paulus, dari satu ke yang lain terlihat adanya peningkatan kuasa – pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan menjadi semakin besar! Namun apa yang sudah terjadi, mengapa dari zaman para rasul ke hari ini terjadi penurunan sampai akhirnya kita berada di tingkat kuasa yang paling dasar. Apa yang telah terjadi?

Rahasianya terletak di salib. Paulus memiliki kuasa ini. Mengapa? Karena katanya, “Allah melarang aku bermegah, keselamatanku ada di dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus (our Lord Jesus Christ).” (Gal 6:14) Dia tidak bermegah karena hal-hal yang lain. Paulus tidak menyombongkan ijazah, pengetahuan, kefasihan, keahlian, atau kisah suksesnya yang panjang. Dia tidak berminat pada perkara-perkara semacam itu. Dia hanya bermegah atas satu hal, yaitu salib. Salib Kristus. Di sinilah kita berbeda. Itu sebabnya paulus memiliki kuasa. Dan itu sebabnya gereja tidak memiliki kuasa.
Allah menginginkan kita untuk menjadi saluran kehidupan dan kuasa-Nya. Hidup dan kuasa diberikan kepada kita bukan agar kita merasa puas, bukan supaya kita merasa telah menjadi hebat, namun supaya kita menjadi saluran kehidupan dan kuasa – menyalurkan kuasa yang menyelamatkan dari Allah kepada orang lain. Jika kita tidak bersedia menjadi sekadar suatu saluran, kita tak akan pernah menjadi apa-apa secara rohani. Itulah poinnya.

II. Salib dan Ke'aku'an
Kita masuk ke dalam poin yang kedua. Kata “kuasa”, “selamat” dan “keselamatan” dipakai berulang-ulang. Dan kita berkata, “Sepertinya orang-orang Kristen dimotivasi oleh keegoisan yang kurang-lebih sama saja dengan orang dunia. Maksud saya, kita ingin diselamatkan karena kita ingin masuk ke surga.” Yah, orang dunia pun menginginkan surga di dunia atau di zaman ini, dan kita menginginkan surga di langit, karena surga milik kita lebih permanen ketimbang surga di bumi. Jadi bukankah kita dimotivasi oleh hasrat yang sama yaitu menginginkan surga, entah itu surga di bumi atau pun yang di langit? kita dimotivasi oleh hasrat yang sama yaitu untuk diselamatkan, bukankah yang memotivasi kita itu keegoisan yang sama?

Sampai pada titik tertentu memang terdapat kebenaran di dalam pernyataan tersebut. Saya melihat begitu banyak orang Kristen yang dimotivasi oleh keegoisan yang sama. Mereka tidak peduli pada orang lain. Mereka hanya mementingkan keselamatan dirinya sendiri saja. “Selama aku bisa masuk ke surga, maka aku tidak peduli akan urusanmu. Akan tetapi jika dengan mengurusi keselamatanmu akan membantuku untuk masuk ke surga, oh, aku juga tidak keberatan.” Lalu apa bedanya? Bukankah sama saja egoisnya? Apakah kita tidak dimotivasi oleh hal yang sama? Di sisi lain, haruskah kita berpandangan bahwa adalah lebih baik untuk tidak mempunyai hasrat sama sekali? Atau apakah lebih baik kita menghasratkan nirwana, tempat di mana tidak ada keberadaan dan tidak ada keinginan? Apakah yang ini lebih rohani? Kita perlu memiliki keinginan, mudah-mudahan keinginan yang baik. Namun tampaknya bahkan semua hasrat yang baik pun mengandung unsur egois karena sekalipun kita berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang baik, kita menghendaki hal itu bagi diri kita sendiri. Justru karena ada nilai-nilai kebaikan, maka kita ingin memilikinya. Dan karena kita ingin memilikinya, bukankah itu berarti kita dimotivasi oleh keegoisan?

Pandangan ini memang mengandung kebenaran. Tak diragukan lagi memang ada kebenaran di dalamnya. Jika kita kilas balik dan tanyakan diri kita mengapa kita ingin diselamatkan dulu, pasti alasannya adalah karena kita dimotivasi oleh keinginan untuk memiliki hidup yang kekal. Kita tidak ingin binasa. Kita menginginkan hidup yang kekal. Dan bukankah keinginan untuk hal yang baik, yakni hidup yang kekal, juga dimotivasi oleh keinginan yang egois, untuk menjamin tempat di surga bagi diri kita sendiri? Dengan demikian bukankah hal itu egois? Memang pandangan ini mengandung kebenaran juga.

Kita memang dalam tingkatan tertentu dimotivasi oleh keegoisan saat pertama kali menjadi Kristen. Saya rasa sulit untuk mengingkari hal ini. Namun yang penting adalah: jika kita tetap bertahan di tingkatan tersebut, maka di dalam upaya kita menyelamatkan diri ini, kita justru akan kehilangan keselamatan. Di situlah titik masuknya salib dan keakuan. Semakin saya renungkan hikmat Allah, semakin saya dibuat kagum. Yang dilakukan oleh Allah adalah ini: Apa yang disebutkan di Lukas 9? “Barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya.” Kita lihat, yang luar biasa dari salib adalah ini: Allah mengambil keegoisan kita dan memanfaatkannya untuk menghancurkan keakuan di dalam diri kita. Saya tidak tahu apakah kita bisa memahami kalimat tersebut. Makna sebenarnya tidak serumit kalimatnya. Inilah penjelasannya.
Allah mengambil keegoisan kita dan memakainya untuk menghancurkan ke'aku'an kita – ke'aku'an yang egois itu. Sungguh kita. Bagaimana cara Dia melakukan itu? Yah, karena kita ingin diselamatkan, (maka kita datang kepada Tuhan). Akan tetapi Alkitab berkata, “Kalau kamu ingin diselamatkan, kamu akan kehilangan nyawamu. Hanya dengan kehilangan nyawa itulah kamu dapat diselamatkan.

Jadi kita mendapati bahwa dalam memenuhi hasrat kita untuk menyelamatkan diri kita, kita harus kehilangan ke'aku'an kita untuk bisa diselamatkan. Oh, hikmat Allah sungguh tak terjangkau! Dia memang luar biasa! Semakin kita pelajari Alkitab, kita mulai memahami hal yang dikatakan oleh Paulus di Roma 11:33, “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah!” Ia tahu bahwa kita ini egois. Ia tahu bahwa kita ini datang pada keselamatan karena dorongan hasrat egois untuk diselamatkan!

Untuk apa kita datang ke pertemuan ibadah? Apakah karena kita ingin menyerahkan diri kita di dalam ibadah itu? Apakah karena kita ingin sumbangkan semua uang kita? Bisa iya bisa tidak. Kita datang ke pertemuan ibadah itu untuk melihat-lihat apakah kita bisa mendapatkan sesuatu dari sana. Motivasi kita tentu saja egois. kita menginginkan sesuatu bagi diri kita. Kita ingin mendapatkan hidup yang kekal. Atau mungkin niatnya tidak seluhur itu, mungkin untuk mendapatkan suami atau istri, atau pacar; tidak hanya sekedar mendapatkan hidup yang kekal. Kita datang dengan motivasi yang egois. Anda mendengarkan penyampaian Injil sambil di dalam hati kita berharap agar orang ini segera mengakhiri khotbahnya, supaya kita bisa segera ngobrol dengan gadis atau pemuda yang kita incar. Awalnya kita berkata, “Oh, khotbah orang ini betul-betul melelahkan. Semoga saja kita bisa segera masuk ke acara ramah tamah.” Tubuh kita ada di sana tetapi pikiran kita tidak tertarik pada Injil. Kita memikirkan gadis atau pemuda yang kita sukai itu. Tetapi minggu demi minggu, Injil mulai mengenai hati kita. Secara berangsur-angsur kita mulai lupa pada tujuan semula kita mengikuti kebaktian. Injil mulai membuat kita terkesan, Firman Allah mulai mempengaruhi kita dan hal ini terus berlangsung. Awalnya kita datang dengan motivasi yang egois, memang benar, tetapi pada akhirnya Allah yang justru mendapatkan kita, bukankah begitu? Allah memanfaatkan ke'aku'an yang egois untuk menghancurkan ke'aku'an kita dan menjadikan kita manusia baru.

Tentu saja ini merupakan suatu proses yang panjang, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa semua itu bisa terjadi dalam 5 menit. Ini adalah suatu proses yang sangat lama akan tetapi pada akhirnya Allah secara perlahan-lahan menangani keegoisan. Berangsur-angsur kita melihat orang yang memulai kehidupan Kristennya secara sangat egois, belajar untuk memberikan dirinya lebih dan lebih lagi. Dan di dalam proses memberi inilah hidup Allah datang kepada kita.
Itulah poin kedua yang ingin saya singgung secara sekilas. Kita memulai dengan alasan yang sangat egois, dan saya pikir setiap orang Kristen yang jujur tidak akan mengingkari hal ini. Akan tetapi Allah di dalam hikmat-Nya memakai salib Kristus, dan melalui proses tersebut – memanfaatkan keegoisan kita – Dia menghancurkan ke'aku'an dan memunculkan kepribadian baru yang seperti Kristus. Saya dahulu adalah orang yang sangat egois, terus terang saja, saya sangatlah egois.

Ketika saya menerima Injil, apakah itu bukan didorong oleh niat yang egois? Tentu saja, tentu saja sangat egois. Saya mencari semacam tuntunan dan makna yang lebih kekal ketimbang mimpi-mimpi sesaat saya di dalam hidup ini. Saya mencari sesuatu yang kekal dan abadi buat diri saya. Tetapi Allah memanfaatkan keegoisan tersebut dan sekarang saya nyaris tidak percaya pada hasilnya. Ketika saya meneliti isi hati saya, saya harus mengakui dengan jujur bahwa Tuhan telah mengubah saya sedemikian rupa, dan apa yang telah Tuhan kerjakan di dalam diri saya sungguh sulit untuk dipercaya. Fakta bahwa saya mampu untuk mengasihi orang lain setulus hati adalah suatu hal yang tak terbayangkan oleh saya. Bagi saya ini merupakan hal yang mustahil, bahkan bukan merupakan hal yang saya inginkan. Siapa yang mau punya hasrat untuk hidup demi orang lain? Lupakan urusan orang lain, diri sendiri ini yang penting. Akan tetapi Allah mengubah kita tahun demi tahun, sehingga kita menjadi benar-benar peduli pada orang lain, kita benar-benar mengasihi orang lain. kita benar-benar bersedia mengorbankan nyawa kita bagi orang lain, mencurahkan diri kita bagi mereka. Dan kita bahkan tidak tahu bagaimana perubahan ini bisa terjadi. Allah di dalam hikmat-Nya, melalui salib Kristus, telah mengerjakan hal ini di dalam hidup saya, dan Dia akan mengerjakannya di dalam hidup kamu juga. Dan hanya dengan cara itulah kita bisa masuk ke jalan penuh kuasa, yaitu poin pembahasan kita yang pertama tadi.

III. Salib dan Keselamatan
Mari kita masuk pada poin yang ketiga dan yang terakhir.
Poin pertama yang telah dibahas adalah salib dan kuasa. Yang kedua adalah salib dan ke'aku'an. Yang ketiga adalah salib dan keselamatan. Apa maknanya? Yesus berkata, “Kamu harus memikul salib-mu setiap hari, kalau kamu ingin menjadi murid-ku.” Yesus meneruskan dengan berkata bahwa itu berarti kita harus kehilangan nyawa kita karena di dalam proses kehilangan nyawa itulah, kita akan memerolehnya. Jika kita mencoba untuk mempertahankannya, itu justru berarti kita malah akan kehilangannya.
Kita akan menggunakan satu pertanyaan untuk memahami seluruh pokok persoalan ini.  Kita tahu Kristus telah mati di kayu salib bagi dosa-dosa kita dan telah menggenapi karya penebusan-nya bagi kita semua. Pertanyaan yang timbul adalah jika Yesus telah mati dan penebusan-nya itu sempurna, mengapa saya perlu memikul salib? Mengapa kita perlu memikul salib? Dia sudah memikulnya, jadi apa perlunya saya dan Dia memikul salib? Untuk apa memikul salib bersama-sama? Bukankah sudah cukup dengan berkata, “Terimakasih, Yesus Kristus. Yah, engkau memang sungguh baik. Aku terharu atas kasih-Mu kepadaku. Engkau telah memikul salib-Mu. Aku cukup berterimakasih saja. Yesus telah mati bagi dosa-dosa kita. Haleluyah!”

Jadi persoalannya adalah jika Yesus telah memikul salib, untuk apalagi saya memikul salib? Apakah Yesus saat itu lupa bahwa Dia-lah yang harus memikul salib? Atau, mungkin Dia butuh bantuan dalam urusan memikul salib ini? Mengapa Yesus menyuruh kita untuk mengikuti teladan-Nya? Dia memikul salib di depan, dan Dia menyuruh kita untuk memikul salib juga sambil mengikuti-Nya dari belakang.
Bukankah kita akan bertanya, “Apakah salib-mu saja tidak cukup?” Tetapi kita tahu bahwa keselamatan, salib dan penebusan-Nya sudah genap. Tidak ada yang kurang di dalam penebusan-Nya; Alkitab memberitahu kita bahwa keselamatan-Nya sudah genap (Ibr 1:3,4, 9:12-14).

Jadi, apa perlunya kita memikul salib? Mengapa ada persyaratan seperti ini? Mengapa Yesus tidak berkata, “Baiklah, Aku telah memikul salib; Aku telah melakukan semuanya. Jadi mulai sekarang, kalian hanya perlu bersukaria. Aku telah mengambil alih semua penderitaan; tak ada lagi hal yang tersisa untuk kalian kerjakan. Kalian cukup pergi ke gereja saja, bertepuk tangan, menyanyi haleluyah, menari… …” Lalu kita semua menari-nari; kita bersenang-senang, karena Yesus telah memikul salib, dan itulah karya keselamatan. Inilah Injil yang kita dengar. Bukankah hal ini yang dikatakan banyak para pengkhotbah dan para penginjil kepada kita?

Terdapat dua salib. Satu adalah salib Kristus, dan yang satu lagi adalah salib saya. Atau yang lebih tepat, terdapat banyak salib, satu adalah salib Kristus, dan terdapat juga salib-salib yang lain, yang harus dipikul oleh setiap dari kita. Dan kita bukan saja harus memikulnya tetapi harus memikulnya setiap hari, itulah yang tertulis di ayat-ayat ini. Setiap hari kita bangun tidur, dan kita harus memanggul benda berat ini di pundak kita, dan kita melangkah menuju Kalvari. Menuju Kalvari? Tetapi Yesus sudah sampai di sana. Dia sudah mengerjakan semuanya. Untuk apalagi kita harus ke Kalvari? Yah, saat Anda mengikut Yesus, tentunya kita akan pergi ke tempat di mana Dia pergi. Jika Dia menuju Kalvari, ke mana lagi kita mau pergi kalau bukan ke Kalvari juga? Jika Yesus pergi ke Kalvari, apakah kita boleh pergi bertamasya ke tempat lain? Lalu bagaimana cara kita memahami hal ini?

Makna dari “salib kita”
Apa makna penting dari salib kita? Apakah karena Yesus Kristus memandang bahwa akan lebih baik jika kita menanggung sedikit penderitaan? Atau mungkin Dia khawatir kalau-kalau kita memang akan menjalani hidup kita dengan bertamasya terus menerus, jadi Yesus berkata, “Tidak, tidak, tidak. Aku akan membuatnya jadi sedikit lebih berat buat kalian. Jika kalian mengira akan menikmati hidup yang menyenangkan, Aku akan membebankan salib buat kalian. Ah, itu akan membuat kalian tetap merendah, mencegah kegemukan, mempertahankan bentuk tubuh kalian. Jika tidak, kalian mungkin akan menjadi gendut dan lemah. Setiap hari kalian harus menjalani latihan rohani ini, yaitu pikul salib ini setiap saat.” Itukah alasan Yesus menyuruh kita memikul salib? Karena kita butuh olahraga rohani? Mungkinkah urusan memikul salib ini adalah sebagai suatu latihan rohani? Untuk apa kita memerlukan salib?

Banyak gereja tidak memiliki kuasa karena tidak memahami apa maknanya salib kita. Kita berpikir seperti ini: Kristus telah mati bagi saya, jadi tidak ada lagi hal yang perlu saya lakukan selain dari menyanyi haleluyah. Dan kalau itu masih belum cukup, saya bisa coba mendapatkan pengalaman rohani apakah karunia berbahasa roh atau karunia-karunia yang lainnya. Saya menyinggung hal ini karena terdapat banyak orang Kristen yang menginginkan karunia rohani atas alasan yang sangat egois. Mereka menghendaki suatu pengalaman dan tujuan di baliknya hanyalah supaya mereka dapat bermegah dan berkata, “Aku adalah orang Kristen superior. Sudahkah kamu berbahasa roh? Belum, eh? Ah ha, aku sudah. Kalian tahu, kalian orang-orang yang malang yang hanya masuk jajaran orang Kristen kelas rendahan. Aku termasuk yang kelas tinggi. Aku berbahasa roh. Oh,  kamu hanya pernah sekali berbahasa lidah? Ah, kamu sungguh tidak beruntung. Aku berbahasa roh setiap hari.”

Masalahnya adalah, apakah yang mau kita buktikan?  Apakah kita sedang berusaha membuktikan bahwa kita adalah orang Kristen kelas atas? Apa motivasi kita? Terdapat juga orang yang mengejar karunia supaya mereka bisa berkata, “Ah, perasaannya sangat menyenangkan sekali.” Nah, jangan salah paham, saya tidak menentang bahasa lidah karena saya pun berbahasa lidah. Jika dipergunakan secara benar, digunakan untuk memperdalam persekutuan kita dengan Tuhan. Memang itulah salah satu manfaatnya jika digunakan dengan benar.

Tetapi kalau kita mengejar bahasa roh sekadar untuk kepuasan egois, hal ini sangat percuma. Itu bukanlah tujuan dari bahasa lidah. Jika masih ada orang yang mengejar karunia bahasa roh untuk tujuan itu maka ia sudah berada di jalan yang salah. Salib diadakan untuk menghancurkan ke'aku'an yang seperti ini. Dan jika ada orang Kristen yang telah bertahun-tahun menjadi Kristen dan masih saja memperlihatkan keegoisan semacam ini berarti dia tidak tahu apa itu keKristenan yang sejati.

Jadi, kita kembali pada pertanyaan yang sama: Mengapa Yesus Kristus menyuruh kita memikul salib? Untuk dapat memahami pertanyaan ini, kita harus memahami makna salib. Salib berkaitan dengan pengorbanan. Kata pengorbanan ini merupakan kata yang jarang dipahami oleh orang Kristen.

"Betapa lebihnya darah Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah yang hidup" Ibr 9:14

"Sebab jika demikian Ia harus berulang-ulang menderita sejak dunia ini dijadikan. Tetapi sekarang Ia hanya satu kali saja menyatakan diri-Nya, pada zaman akhir untuk menghapuskan dosa oleh korban-Nya" Ibr 9:26

Ayat yang pertama berbicara tentang darah, sedangkan yang kedua berbicara tentang pengorbanan-Nya di kayu salib. Salib berarti pengorbanan. Di 1 Kor 15:31, Paulus menerapkan pemahaman pengorbanan ini pada dirinya.

"Saudara-saudara, tiap-tiap hari aku berhadapan dengan maut [I die every day]." 1 Kor 15:31

Pikullah salibmu setiap hari! Paulus dapat berkata, “Aku mati setiap hari (I die every day).” Dengan kalimat itu Paulus sedang menyatakan, “Aku mempertaruhkan nyawaku setiap hari. Aku mati secara rohani. Setiap hari aku berhadapan dengan maut.” Paulus melanjutkan dengan berkata bahwa dia berjuang melawan binatang buas di Efesus dan sebagainya. Nyawanya selalu di bawah ancaman, dia selalu berada dalam keadaan bahaya karena dia masuk dalam pelayanan yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Jadi, salib Yesus Kristus adalah salib pengorbanan. Salib apakah yang kita pikul? Salib pengorbanan juga. Roma 8:36 berbunyi serupa. Rasul paulus berkata: Seperti ada tertulis (dia mengutip dari Mzm 44:22): “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan.”  Rom 8:36

Domba-domba sembelihan adalah domba-domba yang dipersiapkan untuk dikorbankan di Bait Allah untuk penebusan dosa. Dia menyatakan hal yang kurang lebih sama di 2 Kor 4:11,12:

"Sebab kami, yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini"

Perhatikan isi ayat 12:
"Maka demikianlah maut giat di dalam diri kami dan hidup giat di dalam kamu"

Perhatikan dengan baik kalimat-kalimat tersebut. Melalui kematian kami, kehidupan datang kepada kita. Kami mati supaya kita dapat hidup. Hal ini mirip dengan apa yang dikerjakan oleh Yesus Kristus. Maut giat di dalam dia supaya hidup giat di dalam kita. Namun, paulus tidak mengatakan hal tersebut dengan mengaitkannya dengan Yesus Kristus melainkan terhadap dirinya dan rekan-rekan sekerjanya – yakni para rasul. Jadi “maut giat di dalam diri kami”, bukan sekadar saya, tetapi “di dalam diri kami, dan hidup giat di dalam kamu.” Berarti setiap saat kita berhadapan dengan maut.

Dapatkah kita memahami bahasa semacam itu? Atau apakah kalimat ini terdengar asing bagi kita? Karena jika kita tidak memahami apa arti menjadi persembahan yang hidup yang Paulus perintahkan kepada setiap orang Kristen (Rom 12:1-2), maka kita tidak akan dapat memahami kalimat tersebut.
Renungkanlah, apa arti kurban itu? Kurban tidak sekedar berarti menyerahkan sesuatu, atau menyerahkan makanan, atau mempersembahkan makanan.

Pengorbanan adalah perkara menyerahkan nyawa untuk orang lain. Apa yang kita serahkan untuk diri kita sendiri menurut Alkitab bukanlah pengorbanan. Menurut Alkitab, pengorbanan selalu ditujukan untuk orang lain. Lihat contoh domba-domba sembelihan, seperti yang dikutip oleh Paulus di sini, “Kami telah dianggap sebagai domba.” Apakah paulus mati bagi dirinya sendiri? Tidak. Paulus hanya berkata, “Maut giat di dalam diri kami supaya hidup giat di dalam kamu. Kami mati untuk kamu.” Itulah artinya. Pikirkanlah tentang domba-domba yang dibawa ke Bait Allah untuk dikorbankan. Apakah menurut kita para domba itu disembelih bagi diri mereka sendiri, atau bagi dosa mereka sendiri, atau demi kebutuhan mereka sendiri? Tentu saja tidak! Setiap domba yang disembelih di Bait Allah menyerahkan nyawanya bagi orang lain. Itulah poin yang harus kita pahami. Suatu penyerahan tidak dapat disebut pengorbanan jika tidak ditujukan untuk orang lain, apakah hal itu dipersembahkan dalam keadaan hidup atau mati.
Memang ada kurban yang hidup, karena kita tentu tahu tentang kambing kurban untuk azazel (scapegoat) yang dilepaskan ke padang gurun. Ia akan dilepas ke padang gurun, mungkin dia akan mati di sana; yang jelas ia tidak disembelih. Entah hidup atau mati, kata paulus, kita selalu jalani hidup ini sebagai korban persembahan. Kita tidak sekadar mati sebagai kurban persembahan, tetapi kita juga menjalani hidup sebagai kurban persembahan.

Jadi Kristus juga tidak mati untuk diri-Nya sendiri. Ketika Yesus berkata bahwa Dia memikul salib-Nya, Dia tidak memikul salib itu bagi diri-Nya sendiri. Dia memikul salib itu bagi kita. Lantas ketika kita memikul salib kita, apakah sebenarnya yang sedang kita lakukan? Kita seringkali dengan bodohnya membayangkan bahwa salib itu kita pikul bagi diri kita sendiri. Jika kita memikul salib itu bagi diri kita sendiri, maka itu berarti salib Kristus tidak cukup bagi kita dan kematian-Nya tidak cukup bagi kita; kita harus mati bagi diri kita sendiri juga? Tidak, tidak, tidak! Kita telah gagal memahami aspek fundamental dari ajaran Yesus.

Ketika Yesus menyuruh kita untuk memikul salib kita setiap hari, hal itu bukanlah bagi kepentingan kita sendiri. Dia memanggil kita untuk bergabung dengan-Nya di dalam pelayanan keselamatan. Apa artinya itu? Artinya adalah: Yesus mati bagi kita, supaya setelah menerima hidup itu kita bisa menyalurkannya kepada orang lain, entah lewat kehidupan atau lewat kematian. Apakah kita mengerti hal yang dimaksudkan oleh Yesus? Jika kita ingin menjadi murid-Nya, hal tersebut harus menjadi karakter kita. Jika tidak, kita tidak akan pernah menjadi murid-Nya.

Itulah yang saya maksudkan sebagai hikmat Allah di dalam poin yang kedua. Bahwa di dalam hasrat untuk memperoleh keselamatan – melalui hasrat yang egois itu – ke'aku'an kita dihancurkan. Bagaimana caranya? Dengan mempersyaratkan bahwa jika kita ingin diselamatkan, maka kita harus menyalurkan keselamatan itu kepada orang lain. Jika kita tidak menyalurkannya kepada orang lain, maka kita sendiri tidak akan diselamatkan juga. Tak ada orang Kristen yang duduk santai di gereja atau di rumahnya, atau di manapun ia berada, yang akan diselamatkan. Dia tidak akan selamat jika dia berpikir bahwa dia diselamatkan hanya dengan menyelamatkan dirinya sendiri.
Itu sebabnya kita dipanggil untuk menjadi terang dunia. Menyalurkan terang dan hidup Allah kepada orang lain. Terang adalah gambaran dari kehidupan di dalam Alkitab. Saya harap kita semua bisa memahami poin ini dengan sangat jelas. Jika kita kira bahwa kita akan diselamatkan dan pergi ke surga hanya dengan percaya kepada Yesus, berarti kita masih belum mengerti ajaran Yesus. Memang benar, keselamatan itu melalui iman. Memang benar bahwa kita menerima keselamatan itu. Memang benar bahwa keselamatan sudah genap bagi kamu dan saya; keselamatan itu bukanlah hasil perjuangan kita. Akan tetapi kita harus menjadi saluran keselamatan itu. Dan jika kita tidak menjadi saluran keselamatan itu, maka kita tidak akan memilikinya.

Di dalam proses menjadi saluran keselamatan itu, kita memberikan diri kita kepada orang lain, sama seperti Yesus telah memberikan diri-Nya kepada kita. Keselamatan bukanlah barang yang bisa kita beli di toko dan dibagikan kepada orang lain. Keselamatan adalah sesuatu yang kita salurkan melalui hidup kita kepada orang lain. Jika kita pikir bahwa keselamatan itu hanya sekadar perkara membuat traktat dan pergi ke jalan-jalan dan berkata, “Hei, sudahkah kamu percaya pada Yesus? Ini ada 4 kaidah rohani. Duduklah supaya aku bisa jelaskan kepadamu. Dengarkan baik-baik karena hidupmu bergantung padanya.” Selanjutnya kita menguliahi dia, kita menjejalkan Injil kepadanya. Dan dia menolaknya dan kita berkata, “Pergilah, kamu tidak layak untuk diselamatkan. Kamu tidak ditakdirkan untuk diselamatkan.” Atau mungkin kita berkata, “Aku bersedih akan keadaanmu. Mungkin pada suatu hari nanti kamu akan tersadar.” Sikap manapun yang kita tunjukkan, itu tetap memperlihatkan bahwa kita belum mengerti bahwa keselamatan itu bukan sekadar perkara membagikan Alkitab. Keselamatan berarti memberikan diri kita. Jika kita tidak memberikan diri kita, berarti kita belum memberi apapun yang layak diberikan. kita harus mencurahkan diri kita bagi orang lain.
kita.

Yesus tidak memberi kita Perjanjian Lama dan berkata, “Bacalah itu. Maka kamu akan selamat.” Kalau begitu, maka dia tidak perlu naik ke kayu salib. Dia menyerahkan nyawa-Nya bagi keselamatan kita. Di sini Yesus Kristus berkata, kamu juga harus melakukan hal yang sama. Kita harus memikul salib dan memberikan diri kita – di kayu salib – bagi orang lain. Hanya dengan kehilangan nyawa kita, bukan dengan kehilangan Alkitab kita. Bukan dengan kehilangan sejumlah uang, tetapi kehilangan nyawa kita.

Terdapat perbedaan arah pemikiran. Kadang-kadang kita bersedia untuk memberikan Alkitab, kita bahkan rela mencetaknya dengan uang kita sendiri. Itu mungkin akan membuat kita kehilangan beberapa puluh ribu, mungkin beberapa ratus ribu, tidak masalah. Namun tidak demikian halnya dengan menyerahkan diri kita, mengorbankan waktu kita, mengorbankan seluruh keberadaan kita, memberi perhatian, memberi kasih kita. Kita bisa saja membagikan Alkitab tanpa memberikan kasih yang nyata. Kita bisa saja memperlakukan mereka sebagai obyek yang perlu diselamatkan, untuk kita daftarkan ke dalam catatan prestasi kita, “Aku telah menyelamatkan 15 orang tahun ini. Apa kamu tahu, aku telah mendapatkan 15 domba.” Tidak ada kasih di dalam urusan tersebut. Kasih berarti memberikan diri kita sepenuhnya kepada orang lain.

Salib dalam Pemuridan – Menjadikan kita Para penyelamat
Camkanlah hal ini dengan baik. Dapat dikatakan: Kita diselamatkan untuk menjadi para penyelamat. “Oh,” kata kamu, “Aku, seorang penyelamat?? Hei bukankah ini penyelewengan makna kata?? Bukankah kata “penyelamat” itu hanya untuk Yesus saja? Bukan aku.” Di dalam Alkitab, kata “saviour(penolong, penyelamat, juruselamat)” diterapkan pada orang-orang biasa seperti kita. Satu contohnya adalah di 2 Raja-raja 13:5. Allah ingin memanggil umat-Nya untuk menjadi para penyelamat. Ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh:

"TUHAN memberikan kepada orang Israel seorang penolong (saviour), sehingga mereka lepas dari tangan Aram dan dapat duduk di kemah-kemah mereka seperti yang sudah-sudah"
Penggunaan kata “saviour (penolong)” di sini dipakai untuk seorang pemimpin israel yang membebaskan mereka dari tangan Aram. Di dalam terjemahan bahasa Inggris kata “saviour” atau “penyelamat” digunakan di dalam ayat ini. Allah memberikan mereka seorang saviour (penyelamat)! Hal yang sama dapat dilihat di dalam ayat 2 Raja-raja 14:27, dan juga di dalam berbagai ayat yang lain di dalam Alkitab.

Tuhan mencari orang-orang yang bisa Dia jadikan penyelamat bagi orang lain. Dalam hal ini, 2 Raja-raja 14:27:
"Tetapi TUHAN tidak mengatakan bahwa Ia akan menghapuskan nama Israel dari kolong langit; jadi Ia menolong (menyelamatkan) mereka dengan perantaraan Yerobeam bin Yoas"

Dia menyelamatkan mereka, benar, tetapi melalui Yerobeam! Yerobeam bukanlah orang dengan kepribadian yang mulia. Dia mengawali dengan baik namun mengakhiri dengan buruk, mirip kebanyakan orang Kristen. Namun Allah pada waktu itu memakainya untuk menyelamatkan israel.

Mereka disuruh untuk menjadi para penyelamat. Allah memanggil kita untuk menjalankan panggilan surgawi yang sama. Paulus menyebut hal ini sebagai panggilan surgawi. Mengapa disebut panggilan surgawi? Artinya bukanlah sekadar memanggil kita ke surga. Panggilan ini disebut sebagai panggilan surgawi karena Dia memanggil kita untuk terlibat di dalam pelayanan yang sama dengan Yesus, yaitu penyelamatan umat manusia. Kita dipanggil untuk memikul salib untuk menjadi juruselamat sama seperti Dia. Hanya dengan cara itulah kita bisa menjadi murid Kristus.

Tetap tekun didalam Firman dan salam Revival!!!
Tuhan Yesus memberkati

Kamis, 04 Agustus 2016

Spirit of Elijah

Maleaki 4:5-6 
“Ingatlah kepada taurat yang telah Kuperintahkan kepada musa, hamba-Ku, di gunung horeb untuk disampaikan kepada seluruh Israel, yakni ketetapan-ketetapan dan hukum-hukum. Sesungguhnya Aku akan mengutus nabi elia kepadamu menjelang datangnya hari TUHAN yang besar dan dahsyat itu. Maka ia akan membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-anak kepada bapa-bapanya supaya jangan Aku datang memukul bumi sehingga musnah.”

Nabi elia adalah salah satu nabi besar bangsa israel yang selama hidupnya selalu dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa ajaib yang membuat bangsa Israel menyadari bahwa Allah nenek moyang mereka adalah Allah yang dahsyat yang dapat melakukan apa saja untuk memproteksi bangsa ini dari kebinasaan dan membawa kembali bangsa ini kepada suatu hubungan yang harmonis dengan Tuhan. Ditengah-tengah kehidupan bangsa israel yang gampang dipengaruhi oleh kebijakan raja termasuk gaya hidup ibadah bangsa ini, ketika raja mereka takut dengan Tuhan maka bangsa ini akan takut kepada Tuhan dan ketaatan beribadah merekapun akan tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Melalui nabi elia bangsa ini kembali kepada Allah, ada pemulihan besar-besaran terjadi sehingga rencana Tuhan sejak awal tetap berjalan dengan baik yaitu menikmati janji-janjiNya.

Nabi elia yang dimaksud pada ayat tersebut bukanlah Elia secara fisik tetapi secara spiritual (roh). Di akhir jaman ini Tuhan akan mencurahkan roh atau urapan elia yang akan membawa pemulihan hubungan dan membawa pertobatan sejati bagi umat Tuhan. Tuhan sedang mencurahkan roh-urapan elia ini ke tengah umatNya, dan urapan ini merupakan urapan prophetic yang akan membawa pemulihan hubungan dan pembaharuan pikiran dan sikap hati. (Lukas 1:17), di mana umat Tuhan diberi kesempatan untuk menata kembali kehidupan spiritualnya agar menjadi umat yang selalu berada di hati Tuhan.

Dampak dari pemulihan tersebut akan menjadikan umat Tuhan memiliki kehidupan yang diberkati dengan kualitas terbaik dari berkat-berkat yang disediakan Tuhan; sukacita terbaik, karir terbaik, kesuksesan terbaik, hubungan terbaik antar anggota keluarga, kepercayaan terbaik, kesehatan terbaik, dan lain-lain.

Semangat elia dipastikan berasal dari Roh Allah yang ada di dalam roh nabi elia yang selalu menginginkan suatu restorasi mutlak dalam kehidupan pemulihan hubungan dengan Bapa di sorga. Nabi elia hidup pada jaman raja ahab. Raja ahab mempunyai isteri yang bernama izebel. Mereka memerintah dengan sangat jahat dan Tuhan sangat murka terhadap kejahatan yang mereka perbuat. Akibat kebijakan dan gaya hidup pemerintahan pasangan raja-ratu tersebut bangsa Israel semakin jauh dengan Tuhan bahkan bangsa ini melupakan Allah nenek moyang mereka dengan cara memalingkan kepercayaan mereka dan memutuskan untuk menyembah dewa baal. Sepanjang pemerintahan raja ahab, pengaruh istrinya izebel sangat kuat dan mendominasi setiap keputusan raja.

Izebel secara fisik memang sudah mati tetapi roh yang di belakangnya masih ada sampai sekarang. Roh izebel melambangkan roh ketamakan dan di dalam roh tersebut terdapat roh pemberontakan, percabulan, penggoda dan penyesatan ( Wahyu 2:20-Jemaat Tiatira ). Roh izebel sedang masuk dalam gereja akhir-akhir ini, dan roh izebel berada di belakang pemberontakan kaum muda, kenakalan remaja, kerusuhan, sihir, pornografi, dan dosa-dosa lainnya.

Untuk mengalahkan dan mengusir roh izebel maka kita membutuhkan roh-urapan elia. Roh keberanian-roh kenabian (profetik) otoritas dari yang Maha Tinggi, yaitu otoritas dari Allah Roh Kudus. Nabi maleakhi menulis bahwa sebelum hari Tuhan tiba, Tuhan akan melakukan pemulihan hubungan dan pertobatan besar-besaran kepada umat-Nya, hal tersebut digambarkan kembali dengan mengutus elia.

Oleh sebab itu mengapa roh elia itu begitu penting dalam pelayan dan pertumbuhan rohani kita. Tuhan ingin selalu membenahi kehidupan gereja-rumah Tuhan agar tidak binasa.

Roh Elia (roh=spirit=semangat=kekuatan=pembahruan) melambangkan beberapa hal :

1. Roh Elia melambangkan api pemurnian
Pada jaman raja ahab orang israel menyembah baal. Banyak nabi Tuhan yang dibunuh melalui perintah izebel.
Kemudian elia menantang para nabi baal untuk mendatangkan api untuk membakar mezbah korban bakaran tetapi api tersebut tidak pernah muncul (Raja-Raja 18:26-29), tetapi ketika elia berseruh dan berdoa maka kepada Tuhan, maka api dari surga datang dengan tiba-tiba membakar habis korban yang diatas mezbah. (1 Raja-Raja 18:30-38).

Api pemurnian dari Tuhan sedang datang untuk memurnikan umat Tuhan. Kita akan melihat mana pelayan Tuhan yang asli atau bukan. Tuhan akan memurnikan umatnya dengan api pemurnian. Tidak ada revival tanpa pemurnian. Pemurnian diperlukan agar kebangunan rohani yang dicurahkan akan menjadi kebangunan rohani yang sejati (kebangunan rohani yang memberi dampak dan berlangsung terus menerus)

2. Roh Elia melambangkan doa puasa 40 hari.
Setelah merasa terintimidasi dengan ancaman izebel, elia pun lari ke padang gurun dan ia ingin mati (1 Raja-Raja 19:1-4). Tetapi malaikat Tuhan datang dan memberi kekuatan kepadanya. Setelah makan dan minum dari makanan yang diberikan malaikat tersebut maka elia mampu berjalan selama 40 hari 40 malam tanpa makan dengan kata lain puasa. (1 Raja-Raja 19:5-8). Spirit elia di bangkitkan dan tetap bertahan sampai mencapai tujuan.

Doa puasa yang benar dan mengandalkan kekuatan Tuhan akan mendatangkan hujan revival yang dahsyat yang diikuti dengan sign and wonder dari Tuhan. Kesembuhan Ilahi dari segala macam penyakit, pelepasan dari ikatan kuasa setan, pemulihan hubungan antar anggota keluarga, pertobatan dari pola pikir dan sikap hati yang tidak benar, penuaian jiwa-jiwa baru yang mengaku Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat satu-satunya, dan lain-lain.

3. Roh Elia melambangkan hujan/kebangunan rohani.
Setelah selama tiga tahun lebih tidak hujan dan kekeringan terjadi menyebabkan kemiskinan bagi bangsa israel, maka elia berseruh dan berdoa kepada Allah yang Dahsyat dan hujanpun turun. Setiap revival selalu dimulai dengan doa yang sungguh-sungguh kepada Tuhan dengan pimpinan Roh Kudus dan pemulihan hubungan kepada Tuhan. Dengan roh yang dimiliki nabi elia maka gereja Tuhan akan membawa hujan revival besaran-besaran. 

4. Roh Elia melambangkan pembapaan generasi.
Elia memberikan urapan dua kali lipat kepada elisa, itu menunjukkan bahwa urapan Tuhan yang dahsyat akan terjadi bagi gereja Tuhan. Oleh sebab itu pembapaan generasi sangat dibutuhkan oleh gereja Tuhan, spirit elia harus diwariskan bagi gereja Tuhan agar revival terjadi terus menerus.

Gereja Tuhan harus menghasilkan generasi yang dapat melanjutkan semangat revival kepada generasi berikutnya. Mari kita mempersiapkan suatu generasi baru dalam pelayanan agar mujizat tetap terjadi. Revival tidak akan bertahan lama bila tidak diikuti oleh pembapaan generasi. Generasi yang berikutnya perlu menerima urapan dua kali lipat dari generasi sebelumnya. Banyak kegerakan rohani yang mengalami kegagalan dalam hal regenerasi sehingga kebangunan rohani tersebut tidak bertahan lama bahkan berhenti. Saya percaya saat ini Tuhan sedang mencurahkan roh/urapan elia ke tengah umatNya khususnya di Indonesia. Urapan prophetic sedang dicurahkan untuk menghancurkan pekerjaan si jelek atas bangsa ini. Roh elia adalah spirit rekonsialiasi-pemulihan hubungan dengan Bapa di Sorga.

Maleakhi 4:5-6 menyatakan bahwa pelayanan elia adalah pelayanan pembapaan. Dan seperti diketahui bahwa musuh dari nabi elia dalam PL adalah seorang wanita yang bernama izebel, istri dari raja ahab. Dalam Alkitab dikatakan ada dua roh yang terus menyerang umat Allah yaitu: Roh Izebel dan Roh Babel. Gereja Tuhan harus waspada…

Jika pelayanan elia adalah pelayanan pembapaan, maka roh izebel adalah roh yang:
1. Membunuh potensi pembapaan.
Nama raja ahab sebenarnya adalah Kasih. Namun Izebel telah membunuh hal tersebut.
2. Membunuh potensi kenabian.
Di dalam gereja dibutuhkan roh kenabian-keberanian untuk menyatakan kehendak Tuhan melalui kebenaran firman Tuhan.

Jika dua hal ini terjadi maka akan terjadi penyalah gunaan dalam kekuasaan atau yang dikenal sebagai sihir dalam gereja. Roh izebel adalah roh sihir yang dapat membalikkan kepercayan orang kepada berhala-berhala baru yaitu kekuasaan, keserakahan, ketamakan. Akibat dari bapa yang tidak berfungsi ini adalah munculnya generasi yang menyembah berhala dan memberontak terhadapTuhan. Dan ketika hal itu terjadi maka roh izebel dan roh babel akan mewarnai kehidupan manusia,

Dari kisah elia kita mendapatkan bahwa pelayanan elia sebenarnya adalah suatu pelayanan rekonsiliasi (Pendamaian). Tujuan utama pelayanan elia bukan hanya mengalahkan berhala-berhala namun untuk mengembalikan atau mendamaikan Israel kepada Tuhan dan Gereja dengan Tuhan..

Untuk melakukan hal tersebut maka elia mendirikan mezbah. Mezbah melambangkan 3 hal yang harus kita lakukan untuk mengadakan pelayanan rekonsiliasi (pemulihan) antara generasi kita dengan Tuhan :

1. Doa
Tanpa doa tidak mungkin kita dapat membawa generasi kita kepada Tuhan. Doa membuat kita mempunyai perspektif dan hati Tuhan terhadap generasi kita. Doa membawa kuasa rohani yang diperlukan untuk pelayanan tersebut.

2. Pengorbanan
Semangat memberikan yang terbaik bagi kemuliaan Tuhan akan membuat hati-Nya disenangkan. Berkorban dengan hati yang tulus akan mendatangkan kebaikan dan mujizat. Karakter dan kebiasaan buruk harus dikorbankan agar kehidupan ini semakin berharga di mata Tuhan. Membakar dan mematikan sifat kedagingan akan membuat Roh Kudus bebas merestorasi kehidupan spiritual seseorang.

3. Kekudusan
Firman Tuhan berkata bahwa tanpa kekudusan, orang tidak akan berkenan kepada Tuhan. Untuk menjadi kudus dibutuhkan proses pemurnian secara rohani terus menerus, karena ibadah yang sejati adalah apabila kita mempersembahkan hidup yang kudus dan berkenan kepadaTuhan (Roma 12:1).

Menjelang hari Tuhan yang semakin dekat, setiap hari kehidupan kita harus di warnai dengan semangat baru untuk selalu berkenan kepada Tuhan Berjalan dalam urapan Tuhan akan membuat hidup kita terpelihara dari hal-hal yang sesat.

Tetap tekun di dalam Firman Tuhan dan Salam Revival!!!
Tuhan Yesus memberkati

Rabu, 03 Agustus 2016

Arti Memikul Salib? (Pikul Salib part.2)

Dalam Matius 11:12 kita melihat bahwa Kerajaan Allah datang dengan kuasa. Kita juga melihat bahwa ada sisi lain dari ayat ini yang belum kita bahas, yaitu bahwa karena Kerajaan Allah itu datang dengan kuasa yang besar, maka orang-orang akan memberikan tanggapan yang cukup keras juga. Akan ada sebagian yang mendukung dan sebagian lagi akan menolak. Akan ada tanggapan yang sepenuhnya bertolak belakang.

Kita tidak tahu apa artinya memikul salib kita
Namun hari ini, kita akan melangkah lebih jauh ke dalam perkara memikul salib ini, dan melihat apa makna memikul salib di dalam kehidupan sehari-hari kita. Di Lukas 14:27, Yesus berkata, “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Yesus berkata bahwa jika kita tidak melakukan hal ini, kita tidak dapat menjadi muridnya. Artinya, kita tidak dapat menjadi orang Kristen jika tidak melakukan hal ini. Dan itu juga berarti bahwa kita tidak dapat diselamatkan jika kita tidak mengikut Dia. Jika ada orang yang memberitahu kita hal yang berbeda, maka itu berarti dia sedang menyatakan sesuatu yang berbeda dari yang disampaikan oleh Yesus sendiri.

Namun saya sangat terkejut oleh fakta bahwa orang-orang Kristen sangat pintar mengabaikan pengajaran Yesus. Mereka meniadakan makna dari ajaran ini sehingga pada akhirnya tak terlihat lagi adanya panggilan di dalam perikop ini. Sebagai contoh, kita mungkin berpikir, “Yesus berkata, ‘Pikullah salibmu dan ikutlah Aku,’ ucapan ini bisa saja berarti bahwa kita harus mati bagi Yesus. Akan tetapi karena kita tidak harus mati bagi Yesus saat ini, maka ajaran ini tidak berlaku buat kita sekarang.”
Atau, orang lain mungkin berkata, “Ayat-ayat ini memang memiliki makna menderita bagi Kristus, jadi ia memang berlaku bagi saudara kita di negara-negara tertentu, akan tetapi hal itu sama sekali tidak berlaku buatku. Jadi, selama aku bisa berkata di dalam hatiku bahwa aku bersedia mati bagi Yesus, aku bersedia untuk menderita sekalipun aku belum menderita, maka itu sudah cukup. Aku masih termasuk seorang murid.”

Atau, orang lain mungkin berkata, “Tuntutan ini terlalu tinggi, dan karena tidak bisa dipenuhi, maka hal itu tidak berlaku buatku. Atau, mungkin Yesus tidak benar-benar bermaksud bahwa engkau harus memikul salibmu. Dia sedang menyampaikan sesuatu hal yang lain.” Atau, orang lain mungkin berkata, “Memikul salibmu? Apa maunya? Apakah Yesus mau menyuruhku untuk memikul sebatang kayu dan berkeliaran di jalan?” Demikianlah, di saat kita selesai dengan usaha kita untuk menebak-nebak makna dari perikop ini, kita berakhir dengan tidak melakukan apa-apa sama sekali.
Atau, orang lain mungkin berkata, “Hal ini bisa saja berarti bahwa kita harus menyangkal diri dan mengikut Yesus. Dan menyangkal diri itu artinya sekadar menjadi orang yang lebih rendah hati. Jadi, jika aku menjadi lebih rendah hati setiap harinya, maka itu sudah berarti bahwa aku telah mengikut Yesus.” Namun persoalannya adalah apa arti menjadi lebih rendah hati itu? Apakah itu berarti bahwa kita mengganti sepatu yang berhak tinggi dengan yang berhak rendah sehingga kita terlihat lebih rendah? Lalu apa yang harus dilakukan oleh para lelaki? Apakah mereka harus bertelanjang kaki untuk bisa menjadi sedikit lebih rendah?

Jadi, pada akhrinya, setelah merenungkannya beberapa saat, kita mungkin berkata, “Baiklah, aku bersedia untuk memikul salib, tapi apa arti memikul salib itu?” Banyak orang Kristen yang akhirnya sampai pada kesimpulan, “Tidak ada tuntutan yang harus kupenuhi.”
Dan hal inilah yang perlu untuk kita renungkan hari ini. “Apa yang harus kulakukan jika aku ingin memikul salib?” Tulisan saya tidak akan lengkap jika saya belum menunjukkan kepada kita semua berdasarkan Firman ini tentang hal bagaimana Firman Tuhan ini harus ditaati. Namun seperti yang sudah saya sampaikan, manusia sangatlah pintar dalam hal membelokkan perintah dan ajaran dari Yesus.

Orang-orang Yahudi membelokkan ajaran para rabi
Saya pernah membaca satu artikel tentang Israel. Pembahasannya mengenai agama ortodoks di Israel dan tentang bagaimana cara menerapkan ajaran para rabi di dalam kehidupan modern bangsa Israel. Dan di artikel itu ada sebuah contoh klasik tentang bagaimana cara orang Israel membelokkan makna ajaran. Ada satu ajaran di dalam Perjanjian Lama yang menyebutkan bahwa mereka tidak boleh merebus anak domba di dalam susu induknya. Dan dari sini permasalahannya muncul, ayat itu diartikan bahwa Mereka tidak boleh mencampurkan daging dengan susu. Begitulah pemahaman yang ditarik oleh para rabi. Sejalan dengan berlalunya waktu, para rabi, para pengajar agama bangsa Israel, semakin membuat rumit persoalan ini, mereka berkata bahwa bahkan uap dari daging tidak boleh bercampur dengan uap dari susu.

Artikel ini menyatakan bahwa ajaran tersebut menciptakan permasalahan di rumah sakit-rumah sakit di Israel karena di saat mereka mendorong kereta makanan di antara ranjang para pasien, uap-uap tersebut akan saling bercampur. Ada uap dari daging dan susu panas yang berseliweran di sekitar mereka dan hal ini berarti suatu pelanggaran terhadap Hukum Taurat menurut ajaran para rabi. Jadi, mereka berusaha untuk mencari pemecahan bagaimana cara mencegah uap-uap tersebut agar tidak bercampur? Akan tetapi, sekalipun mereka berhasil mencegah kedua macam uap tersebut agar tidak bercampur, masih tersisa persoalan karena di saat mereka memakan daging dan kemudian minum susu, mereka bisa melanggar Hukum Taurat karena keduanya akan bercampur di dalam perut mereka. Atau, misalnya, jika mereka menikmati sepotong daging panggang lalu mereka mengoleskan sedikit mentega ke atasnya, maka mereka sudah melanggar Hukum Taurat menurut pemahaman para rabi itu. Atau, sekalipun mereka memakan daging tersebut lalu di lain kesempatan mereka memakan mentega secara terpisah, mungkin dioleskan di atas roti, daging dan mentega itu juga akan bercampur di dalam perut mereka, dan itu berarti masalah buat mereka.

Orang Yahudi adalah masyarakat yang sangat cerdas. Jadi, setelah merenungkan persoalan ini, mereka mengembangkan satu jalan untuk mengatasinya. Menurut saya sebenarnya ada satu jalan yang jauh lebih sederhana untuk memecahkan persoalan ini. Jalan yang lebih sederhana itu adalah cukup dengan melihat kembali apa sebenarnya yang dinyatakan di dalam Perjanjian Lama itu bukan malah dibingungkan oleh para rabi itu. Di sana hanya dikatakan, “Janganlah memasak anak domba di dalam susu ibunya.” “Janganlah memasak anak domba di dalam susu ibunya,” ini adalah pernyataan yang sangat sederhana, alasan larangan ini hanya agar bangsa Israel tidak bersikap kejam.
Namun tentu saja, persoalannya kemudian menjadi sangat rumit ketika para ahli teologi selesai mengutak-atiknya. Dan akhirnya, mereka menempatkan diri mereka sendiri ke dalam persoalan yang rumit dan tidak lagi dapat menguraikan Alkitab sebagaimana seharusnya karena mereka harus mentaati ajaran para rabi.

Jadi, bagaimana cara mereka memecahkan persoalan ini? Seperti yang sudah saya katakan, orang Yahudi itu sangat cerdas. Tak ada persoalan yang tidak bisa mereka pecahkan yang sebenarnya dicipta oleh mereka sendiri. Mereka mendapati bahwa para rabi mengajarkan bahwa setiap makanan yang tidak mau dimakan oleh anjing tidak dapat didefinisikan sebagai makanan.
Jika mereka memberikan daging panggang kepada anjing, tentu saja anjing itu akan melahapnya. Akan tetapi orang Yahudi menemukan cara agar anjing tidak mau memakan daging panggang tersebut. Mereka sungguh cerdik. Mereka menemukan bahwa jika mereka meneteskan sedikit minyak cemara pada daging tersebut, maka anjing tidak akan mau menyentuhnya. Akan tetapi, saat mereka memakannya, mereka tidak akan merasakan minyak cemara tersebut, jadi rasa hidangannya tidak terganggu. Dan karena anjing tidak akan mau memakannya, maka daging itu sekarang tidak lagi dapat disebut sebagai makanan! Wah, ini suatu penemuan yang sangat penting! Mereka telah berjuang cukup lama di dalam laboratorium dan tempat pemeliharaan hewan untuk bisa membuat penemuan itu! Sungguh penemuan yang hebat! Mereka tentunya telah mencoba berbagai macam bahan yang bisa membuat anjing menolak daging yang disajikan. Dan karena anjing akan menolaknya, maka daging tersebut sudah tidak diartikan sebagai makanan lagi menurut ajaran pada rabi.
Dengan penemuan ini, segalanya menjadi sangat indah, karena sekarang mereka bisa menikmati daging panggang (dengan meneteskan sedikit minyak cemara ke atasnya), mengolesinya dengan mentega, dan minum segelas susu sesudahnya, dan mereka tidak akan melanggar Hukum Taurat! Malahan, mereka bisa melangkah lebih jauh lagi. Sekarang mereka bisa merebus anak domba di dalam susu induknya, karena menurut definisi para rabi, daging anak domba itu sudah tidak lagi dikategorikan sebagai makanan lagi. Anjing tidak mau memakannya. Saat saya membaca artikel ini, saya teringat tentang ucapan Yesus, “Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu” (Mar 7:13).

Ajaran Yesus dijadikan tidak berlaku demi tradisi dan doktrin-doktrin Kristen kita
Kita bisa saja memandang orang-orang Yahudi itu, lalu merasa bahwa diri kita ini lebih baik dan berpikir, “Kami tidak akan melakukan hal-hal yang tidak masuk akal semacam itu!” Saya khawatir kalau-kalau orang Kristen ternyata juga sama cerdiknya dalam hal ini. Saya pikir kita seharusnya bersikap lebih rendah hati dan menguji kemunafikan kita sendiri. Sangatlah mudah bagi kita untuk berkata, “Tentu saja, orang-orang Yahudi itu kan munafik. Mereka cuma sekumpulan orang-orang munafik!” Kita merasa telah melihat balok yang besar menutupi mata mereka, akan tetapi, masalahnya adalah bahwa balok itu ternyata menempel di mata kita. Demikianlah, sering kali, saat saya mengamati cara orang Kristen berurusan dengan pengajaran dari Yesus, saya melihat bahwa kita ini sama munafiknya dengan orang-orang Yahudi itu.

Yesus berkata, “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Penginjil mana yang mau menyampaikan hal semacam itu? “Oh, mari kita bahas perikop yang lain saja.” Mereka menyatakan kepada kita bahwa hal tersebut tidak berkaitan dengan keselamatan kita. Jika demikian, lalu hal apakah yang berkaitan dengan keselamatan kita? Dan jika ada penginjil yang berkata, “Sangatlah penting bagi kita untuk mentaati firman dari Yesus,” maka mereka akan berkata, “A..ha! Lihat, dia sedang mengajarkan tentang keselamatan oleh perbuatan baik.” Bagi mereka, seolah-olah tidaklah penting apapun yang Yesus katakan. Yang dipandang penting adalah apa yang dikatakan oleh para pengajar, para pendeta atau pun para rabi. Dengan begitu, kita menjadikan ajaran Yesus tidak berlaku demi tradisi dan doktrin-doktrin Kristen kita.

Jadi saya katakan, kita perlu memulai dengan melihat kemunafikan macam apa yang ada di dalam diri kita karena ternyata kita juga tidak menjalankan ajaran Yesus. Ajaran Yesus di dalam Lukas 6:46 menghunjam ke dalam hati saya ketika dia berkata, “Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan?” Bagaimana jawaban Anda jika Yesus bertanya, “Mengapa kamu berseru kepadaku, ‘Tuhan, Tuhan,’ padahal kamu tidak mau melakukannya ketika aku berkata, ‘Pikullah salibmu dan ikutlah aku’? Kamu memanggilku, ‘Tuhan, Tuhan,’ tetapi kamu tidak pernah melakukan kehendakku.”

Atau mungkin, kita berkata, “Saya tidak begitu paham maksudmu, Yesus. Sebab, si penginjil mengatakan bahwa saya tidak perlu memikul salib saya dan mengikut Engkau karena yang perlu saya lakukan hanya sekadar percaya kepadaMu, itu saja. Engkau telah melakukan segalanya dan aku tak usah melakukan apa-apa. Tapi sekarang, Engkau malah menyuruhku untuk memikul salib. Tentunya Engkau tidak benar-benar bermaksud seperti itu, Tuhan. Saya yakin bahwa penginjil itu benar.” Berhati-hatilah, kemunafikan adalah dosa yang paling berbahaya serta paling sering menyelewengkan orang beragama.

Kita lihat bagaimana orang-orang Yahudi selalu saja jatuh pada dosa yang satu ini saat mereka tidak mau bersikap tulus kepada Firman Allah. Mereka memikirkan berbagai macam cara untuk membelokkan arti Firman Allah. Dan jika kita masuk ke dalam Injil, kita juga akan menemukan berbagai macam contoh tentang hal ini. Namun celaka! Saudara-saudaraku, orang-orang Kristen juga melakukan hal yang sama! Dan mereka yang memberitakan ajaran Yesus malah diserang.

Kita harus merenungkan ajaran Yesus dengan hati-hati. Tak seorang pun yang bisa masuk dalam Kerajaan Allah, tak seorang pun yang bisa menemukan keselamatan di dalam Kristus tanpa mentaati ajaranNya. Jadi, saat saya selesai menyampaikan tulisan ini nantinya, saya harap tak seorang pun yang berkata kepada saya, “Saya tidak mengerti apa yang Yesus maksudkan dengan berkata, ‘Pikullah salibmu.’ Maksud saya, para murid saat itu mungkin dapat memahaminya. Pada zaman itu masih ada penyaliban. Sekarang ini, tak ada lagi orang yang disalibkan, jadi hal itu tidak berlaku buat saya.”

Memikul salib itu berarti ‘mengasihi sebagaimana Yesus telah mengasihi kita’
Lantas apa makna dari ucapan ‘pikullah salibmu’ itu? Yesus tidak membiarkan kita dalam keraguan akan makna ucapan tersebut di dalam kehidupan sehari-hari kita. Inilah makna yang Yesus sampaikan di dalam Yohanes 13:34. Bunyinya seperti ini, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.”
Kita mungkin berkata, “Saya tahu ini.” Tapi persoalannya adalah kapankah kita menjalankannya? Apakah kita juga telah menemukan alasan serta pembenaran untuk tidak melakukannya? Perhatikan sekali lagi kata-kata tersebut: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.” Apa yang baru dari perintah ini? Kita akan melihatnya sesaat lagi. Begitu besar perhatian Yesus agar para muridnya dapat memahami ucapannya dengan jelas sehingga dia sampai mengulangi lagi perintah ini dua kali di dalam dua pasal berikutnya.

Lihatlah Yohanes 15:12 di mana Dia membuat salah satu perulangan itu. Di sana Yesus berkata, “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.” Dan di ayat 17, Yesus menyatakannya sekali lagi, “Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain.” Jika kita mengamati hal-hal ini, kita akan berkata, “Apakah hubungan antara ayat-ayat ini dengan hal memikul salib dan mengikut Yesus?” Jawaban atas pertanyaan tersebut juga merupakan jawaban dari pertanyaan tentang apa yang baru dari perintah ini.

Di sana tidak dikatakan, “Kasihilah antara yang satu dengan yang lain.” Padahal, yang ini saja belum kita lakukan. Yang dikatakan justru adalah “Kasihilah seseorang akan yang lain seperti Aku telah mengasihimu.”: hal yang akan saya tekankan adalah tentang hal “seperti Aku telah mengasihi Kamu.” Kita mengikut Yesus di dalam kasihnya; Kita mengasihi seperti Dia telah mengasihi. Artinya, Dia melangkah di depan dan kita mengikut di belakang. Seperti Yesus telah mengasihi kita, demikian pulalah cara kita mengasihi orang lain. Dan kasih di sini tidak diartikan sebagai suatu jenis perasaan atau emosi melainkan di dalam makna salib. Sebagaimana Aku telah mengasihi kamu dan sebagaimana Aku telah pergi ke kayu salib bagimu, maka dengan cara itu pulalah kalian akan saling mengasihi antara satu dengan yang lain, pergi ke kayu salib bagi sesamanya. Sekarang kita bisa melihat hubungan antara saling mengasihi seperti Yesus telah mengasihi dengan memikul salib.

Mengasihi seperti Yesus telah mengasihi kita berarti: mati bagi sesama
Itulah tepatnya firman yang terdapat di 1 Yohanes 3:16. Banyak orang yang tahu 1 Yohanes 3:16 akan tetapi mereka tidak paham ayat ini. Dan sangatlah penting bagi orang Kristen untuk mencamkan ayat yang luar biasa ini, “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.” Penginjil yang dengan setulus hati mengutip bagian pertama dari ayat ini: …bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita, dan berhenti di sana, berarti dia tidak menyampaikan kebenaran yang utuh. Karena rasul Yohanes melanjutkan dengan, jadi kitapun wajib; kata ‘wajib’ menyatakan suatu keharusan. Kita berada di bawah suatu kewajiban untuk menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.

Dengan kata lain, Rasul Yohanes sedang menyatakan hal yang persis sama tentang memikul salib dan mengikut Yesus. Yesus telah menyerahkan nyawanya untuk para saudara-saudara, jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita. Itulah pemuridan. Namun celaka! Kita nyaris tidak tahu apa arti menyerahkan nyawa untuk saudara-saudara kita itu. Menyerahkan waktu dan uang saja kita sudah keberatan, apa lagi sampai menyerahkan nyawa kita. Inilah yang saya maksudkan dengan kemunafikan.

Yesus berkata, “Pikullah salibmu dan ikutlah Aku,” dan itu berarti “seperti Aku telah mengasihi kamu, begitu pulalah kamu harus saling mengasihi.” Di dalam bahasa Yunani, kata ini berarti ‘mengasihi dengan cara yang sama seperti Aku telah mengasihi,’ bukan sekadar, ‘mengasihi karena Aku telah mengasihi.’
‘Mengasihi karena Aku telah mengasihi,’ tidak memberitahu kita tentang bagaimana atau dengan kasih yang seberapa besar kita harus mengasihi. Akan tetapi ‘mengasihi dengan cara yang sama seperti Aku telah mengasihi, memberi kita pemahaman tentang seberapa besar kasih itu. ‘Kasihilah sesama seperti Aku telah mengasihi, ini berarti bahwa karena Yesus telah mati bagi orang lain, maka kita juga akan mati bagi sesama kita.

Ingatlah, tak satupun dari hal ini yang merupakan ucapan pribadi dari saya. Ini adalah apa yang diucapkan oleh Yesus, dan jika kita berpikir bahwa yang perlu kita kerjakan hanyalah menikmati kasih Yesus terhadap kita dan kita tidak harus menyerahkan nyawa kita untuk orang lain, maka kita tidak tahu apa arti pemuridan itu. Kita tidak tahu apa artinya menjadi orang Kristen. Singkatnya, kita tidak tahu apa artinya diselamatkan.

Seperti Aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi,” adalah suatu perintah
Akan tetapi apakah yang kita lihat di tengah gereja-gereja? Yang kita lihat adalah pertengkaran akan hal-hal yang remeh di antara gereja dengan gereja, orang Kristen dengan orang Kristen. Sangat memalukan bagi setiap orang yang mengasihi Allah! Keadaan Gereja sangat menyakitkan hati kita. Buat apa mencari-cari alasan? Setiap orang non-Kristen dapat melihat kita dan berkata, “Kalian hanya sekumpulan orang munafik! Lihat saja cara kalian memperlakukan sesama kalian!” Dan mereka benar. Kita cukup lihat Yohanes 13:34 dan di ayat 35 Yesus berkata, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” Dan mungkin akan ada orang yang berkata kepada saya, “Tak usahlah membahas masalah ini. Kamu akan mempermalukan Gereja jika ada orang non-Kristen yang mendengarkan hal ini.” Saya tidak mempermalukan Gereja. Mereka bisa melihat sendiri bahwa orang Kristen tidak bisa akur dengan orang Kristen lainnya dan mereka saling mengecam. Lalu kita berkata ingin menyerahkan nyawa bagi sesama? Sungguh munafik! Dengan cara apa kita menggenapi ajaran dan perintah Yesus? Bagaimana bisa kita mengaku sebagai seorang murid Kristus? Bagaimana bisa kita menyandang label yang mulia sebagai orang Kristen tetapi sambil mempermalukan nama yang Mulia itu?

Mari kita perhatikan lebih cermat lagi. “Sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi,” adalah suatu perintah; bukan merupakan suatu pilihan bagi kita. Kita boleh memilih apakah ingin menjadi orang Kristen atau tidak, akan tetapi ketika kita menjadi Kristen, kita tidak bisa memilih apakah ingin mengasihi atau tidak. Kita wajib untuk mengasihi; Kita berada di bawah perintah. Dari sini, itu berarti bahwa setiap kegagalan untuk mengasihi merupakan tindakan ketidak taatan dan pemberontakan terhadap Allah yang telah menyampaikan kehendakNya melalui Yesus.
Jika kita ingin mengikut Yesus dan kasihnya, maka kita harus memahami kasihnya dengan lebih baik lagi. Bagaimanakah kasihnya kepada kita? Apakah makna kasih itu?

Mengasihi ‘seperti Aku telah mengasihi kamu’ berarti memiliki belas kasihan
Pertama, kita melihat bahwa kasih bermakna belas kasihan, kepedulian. Kita bisa melihat hal tersebut di berbagai ayat, bahwa Yesus berbelas kasihan pada kita. Sebagai contoh, Matius 9:36 atau Matius 14:14 atau 18:27 dan di dalam banyak lagi referensi. Yesus memiliki belas kasihan yang sangat mencolok. Dia sangat peduli kepada orang-orang. Namun di saat kita bergaul dengan orang-orang Kristen, apakah memiliki rasa kepedulian? Kapankah kita peduli kepada saudara seiman? Seringkali kita bisa melihat dari sikap orang-orang Kristen, bahwa mereka tidak begitu peduli dengan orang lain. Segenap pikiran mereka berkisar pada diri mereka sendiri saja. Bukankah ini merupakan hal yang sangat menyedihkan? Dan yang paling buruk adalah, perilaku ini muncul dalam diri mereka yang menyebut dirinya “murid” atau “orang Kristen”, dua kata yang sebenarnya bermakna sama.

Mengasihi ‘seperti Aku telah mengasihi kamu’ berarti melibatkan diri
Kedua, jika kita peduli, maka apa yang terjadi? Yang terjadi bukan sekadar ucapan saja; peduli berarti kita melibatkan diri. Kita lihat di Ibrani 2:11-14, bahwa Yesus adalah manusia yang sama dengan kita. Ini berarti Dia tahu apa itu persoalan, kesukaran dan dosa-dosa dan turut menanggung persoalan manusia. Lalu bagaimanakah sikap hati orang Kristen? Jika kita berpikir: Persoalanku sendiri saja sudah banyak. Aku tidak mau terlibat dalam persoalan orang lain, apakah kita sudah lupa akan ajaran dari Yesus yang mengatakan, “Sama seperti Aku telah mengasihi kamu, maka kamu juga harus saling mengasihi." Sama seperti Aku sudah melibatkan diri dengan hidup kamu, demikian pula kamu harus saling melibatkan diri dalam kehidupan orang lain”?

Kita harus belajar untuk saling menanggung persoalan satu sama lain. Bisa saja itu berupa persoalan keuangan. Artinya, “Kalau aku melibatkan diri dengannya, maka aku juga harus ikut ambil bagian dalam persoalan keuangannya juga.” Berarti, “Jika dia mengalami persoalan kesehatan, maka aku juga harus melibatkan diriku lewat cara-cara yang bisa membantunya.” Semua ini tidak bersifat pilihan. Ingatlah hal ini, kita berada di bawah perintah. Kita tidak bebas memilih. Kita bebas memilih apakah akan menjadi Kristen atau tidak, apakah kita mau menjadi murid atau tidak. Namun jika kita sudah menjadi Kristen, maka kita tidak bebas memilih dengan cara apa kita akan menjalani kehidupan Kristen itu. Semuanya sudah diperintahkan kepada kita. Artinya, jika kita tidak mau terlibat dengan kehidupan saudara di dekat kita, maka lupakan saja niat menjadi orang Kristen, Selugas itulah perintahnya! Terlibat dengan kehidupan orang lain, bisa membawa berbagai macam persoalan buat kita  itulah alasan mengapa kita tidak mau melibatkan diri dengan kehidupan orang lain.

Mengasihi ‘sama seperti Aku telah mengasihimu’ berarti menjadi miskin untuk menjadikan orang lain kaya
Ketiga, jika kita melibatkan diri dengan orang lain, maka kita menjadi miskin bagi mereka. Di 2 Korintus 8:9, rasul Paulus memberitahu kita bahwa Yesus itu kaya tetapi Dia menjadi miskin demi kita karena kita ini secara rohani miskin, lapar, haus, sakit dan buta. Itulah konsekuensi dari melibatkan diri dengan kita. Mengapakah Yesus mau menanggung kesukaran dengan melibatkan diri dengan kita? Padahal Dia bisa menikmati hidup-Nya sendiri. Mengapakah Dia mau terlibat dengan kita? Karena kasih dan belas kasihan dari Allah yang ada padaNya tidak mengizinkan Dia untuk duduk diam di sana dan menyaksikan kita berada dalam keadaan seperti ini. Jadi, apa yang Yesus lakukan? “Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.” Dan Dia menjadikan kita kaya supaya kita bisa menjadi miskin lagi, sehingga orang lain menjadi kaya oleh kemiskinan kita. Namun banyak orang Kristen yang berkata, “Yesus menjadi miskin supaya aku bisa menjadi kaya. Sekarang aku bisa menikmati hidupku.” Itulah sebabnya mengapa rasul Paulus berkata, “Sebagai orang miskin, namun memperkaya banyak orang; sebagai orang tak bermilik, sekalipun kami memiliki segala sesuatu” (2 Korintus 6:10). Dan Yesus menjadi miskin untuk menjadikan orang lain kaya. Itulah pemuridan; itulah makna mengikut Yesus: sama seperti yang sudah Yesus lakukan, demikianlah kita harus melakukannya. Tapi bagaimana dengan kita? Pernahkah kita bersedia untuk menjadi miskin supaya orang lain menjadi kaya? Itu hal lain yang tidak saya lihat terdapat di tengah gereja, dan hal ini sangat menyedihkan hati saya. Seringkali yang saya lihat dalam sikap jemaat adalah: “Oh, dia bersedia untuk melayani Tuhan tanpa imbalan apa-apa. Haleluyah! Biar saja dia melayani dengan cuma-cuma.” Hal ini membuat saya sangat sedih.

Saya selalu ingat bagaimana seorang pendeta yang bernama Yu dilatih di Liverpool dan berangkat melayani Tuhan. Ia mengesampingkan gelar Master yang dimilikinya di bidang Teknik Elektronika demi mengambil posisi pendeta pembantu di gereja Liverpool. Sebagai pendeta pembantu yang masih dalam pelatihan, gereja menggaji dia 8 pounds per minggu, sebanding dengan $16 per minggu. Dia tidak mengeluh. Dia mengerjakannya dengan penuh sukacita. Malahan, dia merasa bahwa gereja telah menggajinya terlalu besar. Akan tetapi sikap sebagian orang di dalam gereja adalah ini: “Karena dia bersedia bekerja tanpa digaji, mengapa tidak kita biarkan dia bekerja secara gratis?” Seperti itulah sikap hati kebanyakan orang Kristen sekarang ini. “Orang-orang itu merelakan pekerjaannya untuk berlatih melayani Tuhan, itu urusan mereka. Tak ada hubungannya denganku. Itu pilihan mereka.” Mereka bersedia menjadi miskin untuk membuat orang lain menjadi kaya, akan tetapi orang lain hanya bersedia duduk di pinggir lapangan sambil bertepuk-tepuk tangan, dan itu saja. Saya katakan kepada Anda, kalau seperti itu pikiran Anda, berarti Anda tidak tahu apa artinya menjadi seorang murid. Anda tidak tahu apa arti menjadi seorang Kristen. Kita harus mengikut Yesus dalam memikul salib jika kita ingin menjadi murid. Dia menjadi miskin agar orang lain menjadi kaya. Lalu bagaimana dengan kita? Kita juga harus melakukan hal yang sama.

Ketika saya mengamati keadaan di tengah Gereja, hati saya sangat sedih. Yang membuat saya sedih bukanlah karena saya jatuh miskin secara keuangan, melainkan karena saya melihat betapa miskinnya para saudara seiman. Mereka tidak akan sampai ke Kerajaan jika mereka terus berada dalam keadaan ini. Jadi kita harus sangat berhati-hati. Yesus berkata, “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Saya ingatkan kepada kita semua, itu semua adalah ucapan Yesus, bukan ucapan saya. Dan saya menunjukkan kepada kita semua bahwa memang ini maksudNya. Makna di dalam kehidupan sehari-hari adalah, “Sama seperti Aku telah mengasihi kamu, dengan cara itu pula kamu akan saling mengasihi.” Sama dengan itu, saya ingin katakan, mari kita satukan hati dan mendukung pekerjaan gereja dan juga mendukung mereka yang sedang dalam pelatihan. 
Apakah yang kita bersedia lakukan untuk para saudara seiman?

Mengasihi ‘seperti Aku telah mengasihi kamu’ berarti melayani
Hal keempat yang kita lihat adalah ini: Seperti Yesus telah mengasihi kita. Bagaimana cara Dia mengasihi kita? Dia melibatkan diri dengan kita dan kehidupan kita, akan tetapi bahkan lebih dari sekadar terlibat, dia harus merendahkan diri-nya. Karena di dalam melakukan hal itu, Yesus harus menjadi seorang hamba. Pada dasarnya, dia sedang melayani kita. Di dalam pengertian tersebut, seorang dokter yang sedang merawat pasiennya sebenarnya menjadi hamba si pasien itu. Dia melayani pasien itu. Itu adalah tindakan pelayanan. Akan tetapi, di sini, Yesus harus turun ke tingkatan kita. Jika kita jatuh ke dalam lubang, maka jalan satu-satunya untuk menolong kita adalah dengan masuk ke dalam lubang itu. Dia harus merendahkan diriNya dan siap untuk mengotori diriNya untuk dapat menolong kita. Yesus berkata, “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Mar 10:45).

Apakah melayani atau memberi itu merupakan kesia-siaan?
Apakah sikap yang dimiliki oleh orang-orang Kristen? Saling mengasihi itu berarti saling melayani. Namun kadang kala, kita memandang pelayanan sebagai pemborosan waktu. Kita mulai dari para wanita karir. Mereka memandang kegiatan memasak, mencuci pakaian dan sebagainya itu sebagai pemborosan waktu. Oh, semoga semua urusan ini cepat berlalu. Bagi mereka, hal apakah yang bukan merupakan pemborosan waktu? Hal mengejar pengetahuan, mengejar sesuatu bukanlah hal yang memboroskan waktu. Namun, memberi adalah tindakan pemborosan waktu. Dengan demikian, pemahaman semacam ini terus berkembang, bahwa segala tindakan yang berupa tindakan memberi adalah suatu kerugian – kita memboroskan waktu, kita juga memboroskan uang. Akan tetapi, tindakan mengambil bukanlah suatu pemborosan. Kita perlu hal yang baru dan memiliki cara pandang yang baru. Saat kita melayani, kita akan menjadi serupa dengan Krsitus ; itu bukanlah pemborosan waktu. Saat kita melayani orang lain, kita sedang melangkah seperti Yesus.

Begitu banyak wanita zaman sekarang yang berpikir sangatlah penting untuk meraih gelar sarjana, bahkan sampai tingkatan yang tertinggi. Ada seorang teman di Inggris yang bergelar Doktor di bidang Kimia, dan sekarang apakah pekerjaannya? Dia menghabiskan segenap waktunya untuk mengurusi kedua anaknya. Saya bertanya kepada kita semua, mana yang merupakan pemborosan waktu buat dia? Menghabiskan enam tahun belajar untuk meraih gelar Doktor merupakan syarat untuk membesarkan dua anak! Saya yakin kita semua akan berkata, “Yah, tetapi dia masih bisa membanggakan gelar Doktornya.” Lantas apa? Saya ingin berbicara tentang perincian praktisnya. Apa itu pemborosan waktu? Apa yang bisa kita lakukan dengan gelar Doktor di rumah? Akan tetapi seperti itulah mentalitas orang-orang Kristen sekarang ini, yaitu bahwa mereka tetap akan memandang bahwa sekalipun tak ada yang bisa dia kerjakan dengan gelar Doktor di bidang Kimianya itu, setelah membuang sekian tahun, mereka masih memandang hal ini sebagai bukan suatu pemborosan karena, bagaimanapun juga, dia telah memiliki gelar Doktornya itu. Orang bisa memanggilnya dengan sebutan “Dr. Ny. Anu.” Jadi tidak masalah apakah kita tidak tahu bagaimana cara membesarkan anak, tidak tahu bagaimana memandikan bayi atau tidak tahu bagaimana memasak, semua itu tidak penting, selagi kita masih memiliki gelar Doktor. Saya yakin bahwa kita masih akan berpikir waktu enam tahun yang terbuang untuk gelar Doktor itu tidak sia-sia, sekalipun kita tidak akan pernah memanfaatkan gelar itu lagi. Karena siapa tahu? Mungkin di masa tuanya nanti dia bisa memanfaatkan gelar itu. Mungkin dia bisa mengajar di suatu sekolah. Bagi kita, yang penting selalu adalah apa yang bisa kita dapatkan. Apapun pengorbanannya, selama kita bisa mendapatkan sesuatu, maka itu bukan pemborosan. Akan tetapi, apapun yang kita beri, itu adalah pemborosan.

Kita paling serupa dengan Kristus di saat kita merendahkan diri untuk melayani
Dengan demikian, para murid, orang-orang Kristen, harus belajar untuk mengubah cara berpikirnya: saat saya melayani, itulah saat saya paling serupa dengan Kristus. Sangatlah susah untuk mengubah cara berpikir kita, bukankah demikian? Kita sudah diindoktrinasi sejak masa kecil kita bahwa inilah hal yang benar untuk dilakukan. Di Yohanes pasal 13, pasal di mana kita membaca tentang perintah yang baru itu, hal apakah yang Yesus kerjakan di sana? Dia membasuh kaki murid-muridnya. Dan dia melanjutkan dengan berkata, “Lakukanlah hal itu bagi sesamamu.” Yesus ingin mengajar mereka untuk saling melayani karena yang terbesar di dalam Kerajaan Allah adalah dia yang melayani mereka yang lain.

Saya sangat terharu baru-baru ini. Seorang saudara yang terkasih Thomas, menelepon saya pada hari keberangkatan saya kejakarta. Dia berkata, “Oh, kamu masih di lampung.” Dia tidak tahu karena dia sedang sibuk membantu kegiatan KKR digerejanya selama beberapa hari. Saya berkata, “Aku akan berangkat malam ini.” Dia menyahut, “Aku akan datang karena aku tahu bahwa kamu membawa banyak barang bawaan. Kamu membeli begitu banyak buku. Dan kamu harus mengangkat semua itu ke stasiun.” Lalu dia datang dan membantu saya mengangkat barang-barang bawaan itu ke stasiun tanpa peduli keadaannya sendiri yang sedang kelelahan. Dia baru saja pulang tengah malam sebelumnya. Saya berusaha menolak bantuannya dengan menganjurkannya untuk beristirahat saja di rumah, akan tetapi dia bersikeras mau membantu saya dengan mengatakan bahwa melayani adalah suatu kesempatan yang istimewa buatnya. Melayani saudara seiman berarti melayani Tuhan. Inilah makna merendahkan diri, sama seperti Yesus telah merendahkan dirinya dan mengambil rupa seorang hamba (Filipi 2:7-8). Thomas bisa saja berkata, “Aku telah melayani Tuhan selama beberapa hari ini, mengapa aku harus ikut mengangkat koper orang lain?” Akan tetapi dia telah belajar tentang makna pemuridan. Menjadi serupa dengan Kristus berarti melayani, dan untuk melakukan hal itu, kitaa perlu merendahkan diri kita.

Rendahkah hati kita dalam segala hal
Saya juga ingin mengajukan satu poin praktis: sikap ini juga terlihat dari cara kita berbicara satu dengan yang lain. Saat anak-anak muda berkumpul, mereka senang bercanda satu sama lain. Akan tetapi jika canda kita sampai menyinggung hati orang lain, maka ingatlah hal ini: Kita sedang merendahkan orang lain dan meninggikan diri kita. Jika kita berolok-olok tentang kesalahan orang lain, itu bukanlah jiwa Kristus. Sungguh berat rasanya hati saya melihat bagaimana orang-orang Kristen, terutama mereka yang muda menertawakan kekeliruan atau kesalahan orang lain atau mengolok-olok orang lain yang secara tidak langsung meremehkan orang lain dalam rangka meninggikan diri kita sendiri. Saya beritahu kepada kita semua, jiwa Kristus tidak seperti itu. Itu adalah dosa. Jika kita ingin bercanda, tertawailah diri kita sendiri. Tertawalah pada keadaan kita sendiri. Biarlah orang lain tertawa melihat kita. Mengapa harus menjadikan orang lain sebagai sasaran tawa kita? Ini bukanlah jiwa Kristus dan sama sekali tidak lucu, marilah kita hidup sebagai seorang murid dalam setiap perinciannya.

Mengasihi ‘seperti Aku telah mengasihi kamu’ berarti saling mengampuni
Yang kelima, kita lihat bahwa saat Yesus mengasihi kita, apakah yang Dia lakukan? Dia mengampuni kita. Dengan cara itu pula, kita harus saling mengampuni. Demikianlah, rasul Paulus kembali memakai kata ‘sama seperti’, sebagaimana yang kita lihat di dalam kalimat “saling mengasihilah kamu sama seperti Aku telah mengasihi kamu.” Di Kolose 3:13Sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dapatkah kita melihat makna memikul salib dan mengikut Yesus di dalam ayat tersebut? Kadang kala perkara mengampuni ini sangatlah sulit, karena setiap kali kita mengampuni, ada harga yang harus ditanggung dari tindakan itu. Sebagai contoh, ada orang yang datang ke tempat kita lalu memakai piring kita, dan piring itu terjatuh lalu pecah. Dengan mengampuni berarti kita mengorbankan piring kita. Harga pengampunan itu terletak pada harga piring tersebut. Atau, yang lebih buruk lagi, mungkin melibatkan barang yang lebih mahal. Jika kita mengijinkan orang lain memakai mobil kita dan mobil itu bertabrakan, itu bisa berarti kita harus mengampuni lebih besar lagi. Tapi di sini dikatakan bahwa “Sama seperti Dia telah mengampuni.” Dia telah mengampuni kita jauh lebih besar lagi, jadi kita harus mengampuni juga. Ini bukanlah suatu pilihan, kita berada di bawah perintah "Kita harus mengampuni!"

Mengasihi ‘sama seperti Aku telah mengasihi kamu’ berarti berdamai
Di dalam poin yang keenam, kita akan melihat bahwa jika kita setulus hati mengikut Kristus dan memikul salib, maka kita akan berdamai. Kita diberitahu di Efesus 2:16 dan Kolose 1:21 bahwa Kristus datang untuk mendamaikan kita dengan Bapa, bahwa Kristus mendamaikan kita dengan Allah di dalam tubuhNya di kayu salib. Dan jika kita mengasihi sama seperti Kristus mengasihi, maka disebutkan di 2 Korintus 5:18, Allah telah memberi kita pelayanan perdamaian. Demikianlah, pekerjaan yang telah dilakukan oleh Yesus, kita kerjakan juga.

Kembali, saya tidak melihat hal ini terjadi di dalam Gereja. Karena begitu sering, saya melihat orang-orang sangat sembrono di dalam cara mereka berbicara antara satu dengan yang lain. Mereka menggosipkan saudara atau saudari seiman di balik punggung yang bersangkutan. Dan dampak dari tindakan semacam ini adalah tidak adanya perdamaian, yang mendekatkan setiap orang, melainkan pemisahan, memasukkan kesalah-pahaman dan sakit hati di dalam diri orang-orang. Yesus berkata, “Berbahagialah orang yang membawa damai.” Orang ini mendekatkan para saudara seiman. Pikirkan saja, betapa indahnya jemaat yang terbentuk jika setiap orang bekerja saling mendekatkan satu dengan yang lain. Akan tetapi, ada orang yang selalu saja sembrono atau malah sengaja menimbulkan perpecahan dan kesalah-pahaman di antara saudara-saudara seiman. Ini adalah dosa di hadapan Tuhan. Tugas kita adalah mendamaikan. Paulus berkata bahwa Allah telah memberi kita pelayanan pendamaian, menyatukan para saudara seiman, dan orang-orang non-Kristen dengan Allah.

Mengasihi ‘sama seperti Aku telah mengasihi kamu’ berarti menyerahkan nyawa kita untuk para saudara seiman
Hanya jika kita telah melakukan semua ini baru kita bisa sampai kepada poin yang ketujuh dan yang terakhir di mana kita secara nyata benar-benar menyerahkan nyawa kita untuk saudara dan saudari seiman seperti yang telah Yesus lakukan untuk kita. Hanya dengan cara itu baru kita bisa memenuhi ajaran Yesus di dalam Yohanes 15:13 di mana Dia berkata, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Kasih yang terbesar adalah dengan menyerahkan nyawa bagi sahabat-sahabat kita. Akan tetapi, seperti yang kita lihat di 1 Yohanes 3:16, hal ini adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap orang Kristen kepada orang lain. Akan tetapi, jika kita bahkan tidak peduli akan hal belas kasihan dan kepedulian pada saudara seiman, maka kita tidak akan mau terlibat di dalam kesulitan orang itu. Kita tidak akan bersedia membantu dia secara keuangan; kita tidak akan bersedia merendahkan diri kita untuk melayani; kita akan berkata, “Mengapa harus aku?” Kalau begitu, lalu mengapa Yesus harus melayani kita? Mengapa Yesus harus menyelamatkan kita? Karena Dia telah melakukan semua ini kepada saya, maka saya berada dalam kewajiban untuk melakukannya juga kepada orang lain.

Dan selanjutnya, kita tidak akan mau mengampuni saudara seiman. Sungguh mengherankan melihat betapa orang-orang Kristen masih menyimpan kejengkelannya kepada orang lain sampai bertahun-tahun. Dan mereka sangat sensitif: “Ada orang yang menjelek-jelekkan aku, aku sekarang ini sedang marah besar.” Dan mereka memiliki daya ingat seperti gajah – kita diberitahu bahwa gajah tidak pernah lupa. Sangat mengerikan melihat betapa mudahnya orang Kristen saling tersinggung antara satu dengan yang lain. Kita seperti landak yang berdekatan. Saya selalu bertanya-tanya bagaimana cara landak saling berdekatan. Mereka semua dipenuhi oleh duri, saling menusuk ke sana kemari.
Bagaimana bisa kita ini menjadi murid Kristus? Orang Kristen macam apakah kita ini? Jika kita tidak bisa mengampuni, bagaimana mungkin kita berbicara tentang perdamaian? Demikianlah, saat kita sampai pada poin terakhir tentang menyerahkan nyawa, saya nyaris berpikir bahwa hal ini tidak ada gunanya untuk dibicarakan mengingat keadaan Gereja seperti sekarang ini.

Jaminan keselamatan yang alkitabiah: mengasihi saudara seiman sama seperti Aku telah mengasihi kamu
Sekarang kita telah melihat ketujuh makna tentang “mengasihi sama seperti Aku telah mengasihi kamu“, kita telah melihat bagaimana Kristus mengasihi kita. Jika kita menyebut diri kita Kristen, bisakah kita mengukur diri kita berdasarkan ketujuh poin ini? Dan saya juga harus terus bertanya kepada diri saya, “Bisakah saya memenuhi patokan tersebut?” agar jangan sampai saya menyampaikan hal ini kepada orang lain dan selanjutnya malah menjadi orang munafik yang paling besar. Jika kita ingin menjadi seorang murid, janganlah ada seorang dari kita yang berkata, “Aku tidak tahu apa arti memikul salib itu.” Sekarang kita sudah tahu artinya. Jadi, tak seorangpun yang punya alasan dengan berkata bahwa dia tidak tahu apa arti menjadi seorang murid.

Bagaimana kita tahu bahwa kita ini murid? Tanda sejati dari seorang murid ada di 1 Yohanes 3:14, rasul Yohanes menyatakan hal ini, “Kita tahu, bahwa kita sudah berpindah dari dalam maut ke dalam hidup, yaitu karena kita mengasihi saudara kita.”

Sungguh menggelikan bahwa di zaman sekarang ini, kita mendengar begitu banyak orang yang berbicara tentang jaminan. Mengapa orang-orang itu tidak mengutip ayat ini dalam menjelaskan jaminan keselamatan? Yohanes sedang memberitahu kita tentang bagaimana cara memastikan jaminan itu. Kita akan tahu apakah kita telah berpindah dari maut ke dalam hidup, apakah kita selamat atau tidak, dengan cara mengetahui apakah kita mengasihi saudara seiman atau tidak. Dengan cara itu kita bisa melihatnya. Namun sekarang ini, kita maunya berbicara tentang jaminan keselamatan yang tidak menimbulkan pengorbanan apa-apa. Banyak dari antara orang yang menyatakan bahwa mereka memiliki jaminan keselamatan atau mengira bahwa mereka memiliki jaminan tersebut tidak menunjukkan hal-hal yang meneguhkan jaminan itu. Sekilas saja sudah terlihat bahwa mereka tidak memiliki jaminan yang alkitabiah. Banyak dari antara orang-orang ini yang mengira bahwa mereka telah diselamatkan, padahal mereka jauh dari keselamatan itu.

Mengapa hanya orang yang mengasihi saudara-saudara seiman yang memiliki jaminan keselamatan itu? Karena jika kita mengasihi saudara seiman, maka hal itu menunjukkan bahwa kita memiliki Roh Kudus. Kasih Allah dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus. Jika kita ingin tahu apakah kita memiliki kepenuhan Roh Kudus, inilah titik awalnya karena buah Roh adalah kasih. Orang yang berkata bahwa dia memiliki Roh Kudus tetapi tidak mengasihi adalah seorang pembohong. Saya berdoa kiranya Allah berbicara ke dalam hati kita.

Hari ini, fokus saya adalah apakah kita memahami semua hal ini. Atau lebih jauh lagi, yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita mengerjakannya. Dan jika kita berkata bahwa kita mengetahuinya tetapi kita tidak mengerjakannya, maka kesalahan kita sangatlah besar karena kita sendiri telah tahu apa yang akan terjadi sebagai akibat dari kesalahan itu. Selanjutnya, mari kita, dengan kasih karunia Allah, menyadari betapa lemahnya diri kita ini dan berkata, “Allah Bapa di surga, dengan kasih karuniaMu, aku akan memikul salib dan mengikut Engkau. Aku akan mengasihi sama seperti Engkau telah mengasihiku melalui Yesus, AnakMu.” Dengan begitu maka kita semua akan ditransformasi, dan semua dimulai dari kita.

Tetap tekun didalam Firman Tuhan dan Salam Revival!!!
Tuhan Yesus memberkati