Rabu, 03 Agustus 2016

Arti Memikul Salib? (Pikul Salib part.2)

Dalam Matius 11:12 kita melihat bahwa Kerajaan Allah datang dengan kuasa. Kita juga melihat bahwa ada sisi lain dari ayat ini yang belum kita bahas, yaitu bahwa karena Kerajaan Allah itu datang dengan kuasa yang besar, maka orang-orang akan memberikan tanggapan yang cukup keras juga. Akan ada sebagian yang mendukung dan sebagian lagi akan menolak. Akan ada tanggapan yang sepenuhnya bertolak belakang.

Kita tidak tahu apa artinya memikul salib kita
Namun hari ini, kita akan melangkah lebih jauh ke dalam perkara memikul salib ini, dan melihat apa makna memikul salib di dalam kehidupan sehari-hari kita. Di Lukas 14:27, Yesus berkata, “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Yesus berkata bahwa jika kita tidak melakukan hal ini, kita tidak dapat menjadi muridnya. Artinya, kita tidak dapat menjadi orang Kristen jika tidak melakukan hal ini. Dan itu juga berarti bahwa kita tidak dapat diselamatkan jika kita tidak mengikut Dia. Jika ada orang yang memberitahu kita hal yang berbeda, maka itu berarti dia sedang menyatakan sesuatu yang berbeda dari yang disampaikan oleh Yesus sendiri.

Namun saya sangat terkejut oleh fakta bahwa orang-orang Kristen sangat pintar mengabaikan pengajaran Yesus. Mereka meniadakan makna dari ajaran ini sehingga pada akhirnya tak terlihat lagi adanya panggilan di dalam perikop ini. Sebagai contoh, kita mungkin berpikir, “Yesus berkata, ‘Pikullah salibmu dan ikutlah Aku,’ ucapan ini bisa saja berarti bahwa kita harus mati bagi Yesus. Akan tetapi karena kita tidak harus mati bagi Yesus saat ini, maka ajaran ini tidak berlaku buat kita sekarang.”
Atau, orang lain mungkin berkata, “Ayat-ayat ini memang memiliki makna menderita bagi Kristus, jadi ia memang berlaku bagi saudara kita di negara-negara tertentu, akan tetapi hal itu sama sekali tidak berlaku buatku. Jadi, selama aku bisa berkata di dalam hatiku bahwa aku bersedia mati bagi Yesus, aku bersedia untuk menderita sekalipun aku belum menderita, maka itu sudah cukup. Aku masih termasuk seorang murid.”

Atau, orang lain mungkin berkata, “Tuntutan ini terlalu tinggi, dan karena tidak bisa dipenuhi, maka hal itu tidak berlaku buatku. Atau, mungkin Yesus tidak benar-benar bermaksud bahwa engkau harus memikul salibmu. Dia sedang menyampaikan sesuatu hal yang lain.” Atau, orang lain mungkin berkata, “Memikul salibmu? Apa maunya? Apakah Yesus mau menyuruhku untuk memikul sebatang kayu dan berkeliaran di jalan?” Demikianlah, di saat kita selesai dengan usaha kita untuk menebak-nebak makna dari perikop ini, kita berakhir dengan tidak melakukan apa-apa sama sekali.
Atau, orang lain mungkin berkata, “Hal ini bisa saja berarti bahwa kita harus menyangkal diri dan mengikut Yesus. Dan menyangkal diri itu artinya sekadar menjadi orang yang lebih rendah hati. Jadi, jika aku menjadi lebih rendah hati setiap harinya, maka itu sudah berarti bahwa aku telah mengikut Yesus.” Namun persoalannya adalah apa arti menjadi lebih rendah hati itu? Apakah itu berarti bahwa kita mengganti sepatu yang berhak tinggi dengan yang berhak rendah sehingga kita terlihat lebih rendah? Lalu apa yang harus dilakukan oleh para lelaki? Apakah mereka harus bertelanjang kaki untuk bisa menjadi sedikit lebih rendah?

Jadi, pada akhrinya, setelah merenungkannya beberapa saat, kita mungkin berkata, “Baiklah, aku bersedia untuk memikul salib, tapi apa arti memikul salib itu?” Banyak orang Kristen yang akhirnya sampai pada kesimpulan, “Tidak ada tuntutan yang harus kupenuhi.”
Dan hal inilah yang perlu untuk kita renungkan hari ini. “Apa yang harus kulakukan jika aku ingin memikul salib?” Tulisan saya tidak akan lengkap jika saya belum menunjukkan kepada kita semua berdasarkan Firman ini tentang hal bagaimana Firman Tuhan ini harus ditaati. Namun seperti yang sudah saya sampaikan, manusia sangatlah pintar dalam hal membelokkan perintah dan ajaran dari Yesus.

Orang-orang Yahudi membelokkan ajaran para rabi
Saya pernah membaca satu artikel tentang Israel. Pembahasannya mengenai agama ortodoks di Israel dan tentang bagaimana cara menerapkan ajaran para rabi di dalam kehidupan modern bangsa Israel. Dan di artikel itu ada sebuah contoh klasik tentang bagaimana cara orang Israel membelokkan makna ajaran. Ada satu ajaran di dalam Perjanjian Lama yang menyebutkan bahwa mereka tidak boleh merebus anak domba di dalam susu induknya. Dan dari sini permasalahannya muncul, ayat itu diartikan bahwa Mereka tidak boleh mencampurkan daging dengan susu. Begitulah pemahaman yang ditarik oleh para rabi. Sejalan dengan berlalunya waktu, para rabi, para pengajar agama bangsa Israel, semakin membuat rumit persoalan ini, mereka berkata bahwa bahkan uap dari daging tidak boleh bercampur dengan uap dari susu.

Artikel ini menyatakan bahwa ajaran tersebut menciptakan permasalahan di rumah sakit-rumah sakit di Israel karena di saat mereka mendorong kereta makanan di antara ranjang para pasien, uap-uap tersebut akan saling bercampur. Ada uap dari daging dan susu panas yang berseliweran di sekitar mereka dan hal ini berarti suatu pelanggaran terhadap Hukum Taurat menurut ajaran para rabi. Jadi, mereka berusaha untuk mencari pemecahan bagaimana cara mencegah uap-uap tersebut agar tidak bercampur? Akan tetapi, sekalipun mereka berhasil mencegah kedua macam uap tersebut agar tidak bercampur, masih tersisa persoalan karena di saat mereka memakan daging dan kemudian minum susu, mereka bisa melanggar Hukum Taurat karena keduanya akan bercampur di dalam perut mereka. Atau, misalnya, jika mereka menikmati sepotong daging panggang lalu mereka mengoleskan sedikit mentega ke atasnya, maka mereka sudah melanggar Hukum Taurat menurut pemahaman para rabi itu. Atau, sekalipun mereka memakan daging tersebut lalu di lain kesempatan mereka memakan mentega secara terpisah, mungkin dioleskan di atas roti, daging dan mentega itu juga akan bercampur di dalam perut mereka, dan itu berarti masalah buat mereka.

Orang Yahudi adalah masyarakat yang sangat cerdas. Jadi, setelah merenungkan persoalan ini, mereka mengembangkan satu jalan untuk mengatasinya. Menurut saya sebenarnya ada satu jalan yang jauh lebih sederhana untuk memecahkan persoalan ini. Jalan yang lebih sederhana itu adalah cukup dengan melihat kembali apa sebenarnya yang dinyatakan di dalam Perjanjian Lama itu bukan malah dibingungkan oleh para rabi itu. Di sana hanya dikatakan, “Janganlah memasak anak domba di dalam susu ibunya.” “Janganlah memasak anak domba di dalam susu ibunya,” ini adalah pernyataan yang sangat sederhana, alasan larangan ini hanya agar bangsa Israel tidak bersikap kejam.
Namun tentu saja, persoalannya kemudian menjadi sangat rumit ketika para ahli teologi selesai mengutak-atiknya. Dan akhirnya, mereka menempatkan diri mereka sendiri ke dalam persoalan yang rumit dan tidak lagi dapat menguraikan Alkitab sebagaimana seharusnya karena mereka harus mentaati ajaran para rabi.

Jadi, bagaimana cara mereka memecahkan persoalan ini? Seperti yang sudah saya katakan, orang Yahudi itu sangat cerdas. Tak ada persoalan yang tidak bisa mereka pecahkan yang sebenarnya dicipta oleh mereka sendiri. Mereka mendapati bahwa para rabi mengajarkan bahwa setiap makanan yang tidak mau dimakan oleh anjing tidak dapat didefinisikan sebagai makanan.
Jika mereka memberikan daging panggang kepada anjing, tentu saja anjing itu akan melahapnya. Akan tetapi orang Yahudi menemukan cara agar anjing tidak mau memakan daging panggang tersebut. Mereka sungguh cerdik. Mereka menemukan bahwa jika mereka meneteskan sedikit minyak cemara pada daging tersebut, maka anjing tidak akan mau menyentuhnya. Akan tetapi, saat mereka memakannya, mereka tidak akan merasakan minyak cemara tersebut, jadi rasa hidangannya tidak terganggu. Dan karena anjing tidak akan mau memakannya, maka daging itu sekarang tidak lagi dapat disebut sebagai makanan! Wah, ini suatu penemuan yang sangat penting! Mereka telah berjuang cukup lama di dalam laboratorium dan tempat pemeliharaan hewan untuk bisa membuat penemuan itu! Sungguh penemuan yang hebat! Mereka tentunya telah mencoba berbagai macam bahan yang bisa membuat anjing menolak daging yang disajikan. Dan karena anjing akan menolaknya, maka daging tersebut sudah tidak diartikan sebagai makanan lagi menurut ajaran pada rabi.
Dengan penemuan ini, segalanya menjadi sangat indah, karena sekarang mereka bisa menikmati daging panggang (dengan meneteskan sedikit minyak cemara ke atasnya), mengolesinya dengan mentega, dan minum segelas susu sesudahnya, dan mereka tidak akan melanggar Hukum Taurat! Malahan, mereka bisa melangkah lebih jauh lagi. Sekarang mereka bisa merebus anak domba di dalam susu induknya, karena menurut definisi para rabi, daging anak domba itu sudah tidak lagi dikategorikan sebagai makanan lagi. Anjing tidak mau memakannya. Saat saya membaca artikel ini, saya teringat tentang ucapan Yesus, “Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu” (Mar 7:13).

Ajaran Yesus dijadikan tidak berlaku demi tradisi dan doktrin-doktrin Kristen kita
Kita bisa saja memandang orang-orang Yahudi itu, lalu merasa bahwa diri kita ini lebih baik dan berpikir, “Kami tidak akan melakukan hal-hal yang tidak masuk akal semacam itu!” Saya khawatir kalau-kalau orang Kristen ternyata juga sama cerdiknya dalam hal ini. Saya pikir kita seharusnya bersikap lebih rendah hati dan menguji kemunafikan kita sendiri. Sangatlah mudah bagi kita untuk berkata, “Tentu saja, orang-orang Yahudi itu kan munafik. Mereka cuma sekumpulan orang-orang munafik!” Kita merasa telah melihat balok yang besar menutupi mata mereka, akan tetapi, masalahnya adalah bahwa balok itu ternyata menempel di mata kita. Demikianlah, sering kali, saat saya mengamati cara orang Kristen berurusan dengan pengajaran dari Yesus, saya melihat bahwa kita ini sama munafiknya dengan orang-orang Yahudi itu.

Yesus berkata, “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Penginjil mana yang mau menyampaikan hal semacam itu? “Oh, mari kita bahas perikop yang lain saja.” Mereka menyatakan kepada kita bahwa hal tersebut tidak berkaitan dengan keselamatan kita. Jika demikian, lalu hal apakah yang berkaitan dengan keselamatan kita? Dan jika ada penginjil yang berkata, “Sangatlah penting bagi kita untuk mentaati firman dari Yesus,” maka mereka akan berkata, “A..ha! Lihat, dia sedang mengajarkan tentang keselamatan oleh perbuatan baik.” Bagi mereka, seolah-olah tidaklah penting apapun yang Yesus katakan. Yang dipandang penting adalah apa yang dikatakan oleh para pengajar, para pendeta atau pun para rabi. Dengan begitu, kita menjadikan ajaran Yesus tidak berlaku demi tradisi dan doktrin-doktrin Kristen kita.

Jadi saya katakan, kita perlu memulai dengan melihat kemunafikan macam apa yang ada di dalam diri kita karena ternyata kita juga tidak menjalankan ajaran Yesus. Ajaran Yesus di dalam Lukas 6:46 menghunjam ke dalam hati saya ketika dia berkata, “Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan?” Bagaimana jawaban Anda jika Yesus bertanya, “Mengapa kamu berseru kepadaku, ‘Tuhan, Tuhan,’ padahal kamu tidak mau melakukannya ketika aku berkata, ‘Pikullah salibmu dan ikutlah aku’? Kamu memanggilku, ‘Tuhan, Tuhan,’ tetapi kamu tidak pernah melakukan kehendakku.”

Atau mungkin, kita berkata, “Saya tidak begitu paham maksudmu, Yesus. Sebab, si penginjil mengatakan bahwa saya tidak perlu memikul salib saya dan mengikut Engkau karena yang perlu saya lakukan hanya sekadar percaya kepadaMu, itu saja. Engkau telah melakukan segalanya dan aku tak usah melakukan apa-apa. Tapi sekarang, Engkau malah menyuruhku untuk memikul salib. Tentunya Engkau tidak benar-benar bermaksud seperti itu, Tuhan. Saya yakin bahwa penginjil itu benar.” Berhati-hatilah, kemunafikan adalah dosa yang paling berbahaya serta paling sering menyelewengkan orang beragama.

Kita lihat bagaimana orang-orang Yahudi selalu saja jatuh pada dosa yang satu ini saat mereka tidak mau bersikap tulus kepada Firman Allah. Mereka memikirkan berbagai macam cara untuk membelokkan arti Firman Allah. Dan jika kita masuk ke dalam Injil, kita juga akan menemukan berbagai macam contoh tentang hal ini. Namun celaka! Saudara-saudaraku, orang-orang Kristen juga melakukan hal yang sama! Dan mereka yang memberitakan ajaran Yesus malah diserang.

Kita harus merenungkan ajaran Yesus dengan hati-hati. Tak seorang pun yang bisa masuk dalam Kerajaan Allah, tak seorang pun yang bisa menemukan keselamatan di dalam Kristus tanpa mentaati ajaranNya. Jadi, saat saya selesai menyampaikan tulisan ini nantinya, saya harap tak seorang pun yang berkata kepada saya, “Saya tidak mengerti apa yang Yesus maksudkan dengan berkata, ‘Pikullah salibmu.’ Maksud saya, para murid saat itu mungkin dapat memahaminya. Pada zaman itu masih ada penyaliban. Sekarang ini, tak ada lagi orang yang disalibkan, jadi hal itu tidak berlaku buat saya.”

Memikul salib itu berarti ‘mengasihi sebagaimana Yesus telah mengasihi kita’
Lantas apa makna dari ucapan ‘pikullah salibmu’ itu? Yesus tidak membiarkan kita dalam keraguan akan makna ucapan tersebut di dalam kehidupan sehari-hari kita. Inilah makna yang Yesus sampaikan di dalam Yohanes 13:34. Bunyinya seperti ini, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.”
Kita mungkin berkata, “Saya tahu ini.” Tapi persoalannya adalah kapankah kita menjalankannya? Apakah kita juga telah menemukan alasan serta pembenaran untuk tidak melakukannya? Perhatikan sekali lagi kata-kata tersebut: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.” Apa yang baru dari perintah ini? Kita akan melihatnya sesaat lagi. Begitu besar perhatian Yesus agar para muridnya dapat memahami ucapannya dengan jelas sehingga dia sampai mengulangi lagi perintah ini dua kali di dalam dua pasal berikutnya.

Lihatlah Yohanes 15:12 di mana Dia membuat salah satu perulangan itu. Di sana Yesus berkata, “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.” Dan di ayat 17, Yesus menyatakannya sekali lagi, “Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain.” Jika kita mengamati hal-hal ini, kita akan berkata, “Apakah hubungan antara ayat-ayat ini dengan hal memikul salib dan mengikut Yesus?” Jawaban atas pertanyaan tersebut juga merupakan jawaban dari pertanyaan tentang apa yang baru dari perintah ini.

Di sana tidak dikatakan, “Kasihilah antara yang satu dengan yang lain.” Padahal, yang ini saja belum kita lakukan. Yang dikatakan justru adalah “Kasihilah seseorang akan yang lain seperti Aku telah mengasihimu.”: hal yang akan saya tekankan adalah tentang hal “seperti Aku telah mengasihi Kamu.” Kita mengikut Yesus di dalam kasihnya; Kita mengasihi seperti Dia telah mengasihi. Artinya, Dia melangkah di depan dan kita mengikut di belakang. Seperti Yesus telah mengasihi kita, demikian pulalah cara kita mengasihi orang lain. Dan kasih di sini tidak diartikan sebagai suatu jenis perasaan atau emosi melainkan di dalam makna salib. Sebagaimana Aku telah mengasihi kamu dan sebagaimana Aku telah pergi ke kayu salib bagimu, maka dengan cara itu pulalah kalian akan saling mengasihi antara satu dengan yang lain, pergi ke kayu salib bagi sesamanya. Sekarang kita bisa melihat hubungan antara saling mengasihi seperti Yesus telah mengasihi dengan memikul salib.

Mengasihi seperti Yesus telah mengasihi kita berarti: mati bagi sesama
Itulah tepatnya firman yang terdapat di 1 Yohanes 3:16. Banyak orang yang tahu 1 Yohanes 3:16 akan tetapi mereka tidak paham ayat ini. Dan sangatlah penting bagi orang Kristen untuk mencamkan ayat yang luar biasa ini, “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.” Penginjil yang dengan setulus hati mengutip bagian pertama dari ayat ini: …bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita, dan berhenti di sana, berarti dia tidak menyampaikan kebenaran yang utuh. Karena rasul Yohanes melanjutkan dengan, jadi kitapun wajib; kata ‘wajib’ menyatakan suatu keharusan. Kita berada di bawah suatu kewajiban untuk menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.

Dengan kata lain, Rasul Yohanes sedang menyatakan hal yang persis sama tentang memikul salib dan mengikut Yesus. Yesus telah menyerahkan nyawanya untuk para saudara-saudara, jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita. Itulah pemuridan. Namun celaka! Kita nyaris tidak tahu apa arti menyerahkan nyawa untuk saudara-saudara kita itu. Menyerahkan waktu dan uang saja kita sudah keberatan, apa lagi sampai menyerahkan nyawa kita. Inilah yang saya maksudkan dengan kemunafikan.

Yesus berkata, “Pikullah salibmu dan ikutlah Aku,” dan itu berarti “seperti Aku telah mengasihi kamu, begitu pulalah kamu harus saling mengasihi.” Di dalam bahasa Yunani, kata ini berarti ‘mengasihi dengan cara yang sama seperti Aku telah mengasihi,’ bukan sekadar, ‘mengasihi karena Aku telah mengasihi.’
‘Mengasihi karena Aku telah mengasihi,’ tidak memberitahu kita tentang bagaimana atau dengan kasih yang seberapa besar kita harus mengasihi. Akan tetapi ‘mengasihi dengan cara yang sama seperti Aku telah mengasihi, memberi kita pemahaman tentang seberapa besar kasih itu. ‘Kasihilah sesama seperti Aku telah mengasihi, ini berarti bahwa karena Yesus telah mati bagi orang lain, maka kita juga akan mati bagi sesama kita.

Ingatlah, tak satupun dari hal ini yang merupakan ucapan pribadi dari saya. Ini adalah apa yang diucapkan oleh Yesus, dan jika kita berpikir bahwa yang perlu kita kerjakan hanyalah menikmati kasih Yesus terhadap kita dan kita tidak harus menyerahkan nyawa kita untuk orang lain, maka kita tidak tahu apa arti pemuridan itu. Kita tidak tahu apa artinya menjadi orang Kristen. Singkatnya, kita tidak tahu apa artinya diselamatkan.

Seperti Aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi,” adalah suatu perintah
Akan tetapi apakah yang kita lihat di tengah gereja-gereja? Yang kita lihat adalah pertengkaran akan hal-hal yang remeh di antara gereja dengan gereja, orang Kristen dengan orang Kristen. Sangat memalukan bagi setiap orang yang mengasihi Allah! Keadaan Gereja sangat menyakitkan hati kita. Buat apa mencari-cari alasan? Setiap orang non-Kristen dapat melihat kita dan berkata, “Kalian hanya sekumpulan orang munafik! Lihat saja cara kalian memperlakukan sesama kalian!” Dan mereka benar. Kita cukup lihat Yohanes 13:34 dan di ayat 35 Yesus berkata, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” Dan mungkin akan ada orang yang berkata kepada saya, “Tak usahlah membahas masalah ini. Kamu akan mempermalukan Gereja jika ada orang non-Kristen yang mendengarkan hal ini.” Saya tidak mempermalukan Gereja. Mereka bisa melihat sendiri bahwa orang Kristen tidak bisa akur dengan orang Kristen lainnya dan mereka saling mengecam. Lalu kita berkata ingin menyerahkan nyawa bagi sesama? Sungguh munafik! Dengan cara apa kita menggenapi ajaran dan perintah Yesus? Bagaimana bisa kita mengaku sebagai seorang murid Kristus? Bagaimana bisa kita menyandang label yang mulia sebagai orang Kristen tetapi sambil mempermalukan nama yang Mulia itu?

Mari kita perhatikan lebih cermat lagi. “Sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi,” adalah suatu perintah; bukan merupakan suatu pilihan bagi kita. Kita boleh memilih apakah ingin menjadi orang Kristen atau tidak, akan tetapi ketika kita menjadi Kristen, kita tidak bisa memilih apakah ingin mengasihi atau tidak. Kita wajib untuk mengasihi; Kita berada di bawah perintah. Dari sini, itu berarti bahwa setiap kegagalan untuk mengasihi merupakan tindakan ketidak taatan dan pemberontakan terhadap Allah yang telah menyampaikan kehendakNya melalui Yesus.
Jika kita ingin mengikut Yesus dan kasihnya, maka kita harus memahami kasihnya dengan lebih baik lagi. Bagaimanakah kasihnya kepada kita? Apakah makna kasih itu?

Mengasihi ‘seperti Aku telah mengasihi kamu’ berarti memiliki belas kasihan
Pertama, kita melihat bahwa kasih bermakna belas kasihan, kepedulian. Kita bisa melihat hal tersebut di berbagai ayat, bahwa Yesus berbelas kasihan pada kita. Sebagai contoh, Matius 9:36 atau Matius 14:14 atau 18:27 dan di dalam banyak lagi referensi. Yesus memiliki belas kasihan yang sangat mencolok. Dia sangat peduli kepada orang-orang. Namun di saat kita bergaul dengan orang-orang Kristen, apakah memiliki rasa kepedulian? Kapankah kita peduli kepada saudara seiman? Seringkali kita bisa melihat dari sikap orang-orang Kristen, bahwa mereka tidak begitu peduli dengan orang lain. Segenap pikiran mereka berkisar pada diri mereka sendiri saja. Bukankah ini merupakan hal yang sangat menyedihkan? Dan yang paling buruk adalah, perilaku ini muncul dalam diri mereka yang menyebut dirinya “murid” atau “orang Kristen”, dua kata yang sebenarnya bermakna sama.

Mengasihi ‘seperti Aku telah mengasihi kamu’ berarti melibatkan diri
Kedua, jika kita peduli, maka apa yang terjadi? Yang terjadi bukan sekadar ucapan saja; peduli berarti kita melibatkan diri. Kita lihat di Ibrani 2:11-14, bahwa Yesus adalah manusia yang sama dengan kita. Ini berarti Dia tahu apa itu persoalan, kesukaran dan dosa-dosa dan turut menanggung persoalan manusia. Lalu bagaimanakah sikap hati orang Kristen? Jika kita berpikir: Persoalanku sendiri saja sudah banyak. Aku tidak mau terlibat dalam persoalan orang lain, apakah kita sudah lupa akan ajaran dari Yesus yang mengatakan, “Sama seperti Aku telah mengasihi kamu, maka kamu juga harus saling mengasihi." Sama seperti Aku sudah melibatkan diri dengan hidup kamu, demikian pula kamu harus saling melibatkan diri dalam kehidupan orang lain”?

Kita harus belajar untuk saling menanggung persoalan satu sama lain. Bisa saja itu berupa persoalan keuangan. Artinya, “Kalau aku melibatkan diri dengannya, maka aku juga harus ikut ambil bagian dalam persoalan keuangannya juga.” Berarti, “Jika dia mengalami persoalan kesehatan, maka aku juga harus melibatkan diriku lewat cara-cara yang bisa membantunya.” Semua ini tidak bersifat pilihan. Ingatlah hal ini, kita berada di bawah perintah. Kita tidak bebas memilih. Kita bebas memilih apakah akan menjadi Kristen atau tidak, apakah kita mau menjadi murid atau tidak. Namun jika kita sudah menjadi Kristen, maka kita tidak bebas memilih dengan cara apa kita akan menjalani kehidupan Kristen itu. Semuanya sudah diperintahkan kepada kita. Artinya, jika kita tidak mau terlibat dengan kehidupan saudara di dekat kita, maka lupakan saja niat menjadi orang Kristen, Selugas itulah perintahnya! Terlibat dengan kehidupan orang lain, bisa membawa berbagai macam persoalan buat kita  itulah alasan mengapa kita tidak mau melibatkan diri dengan kehidupan orang lain.

Mengasihi ‘sama seperti Aku telah mengasihimu’ berarti menjadi miskin untuk menjadikan orang lain kaya
Ketiga, jika kita melibatkan diri dengan orang lain, maka kita menjadi miskin bagi mereka. Di 2 Korintus 8:9, rasul Paulus memberitahu kita bahwa Yesus itu kaya tetapi Dia menjadi miskin demi kita karena kita ini secara rohani miskin, lapar, haus, sakit dan buta. Itulah konsekuensi dari melibatkan diri dengan kita. Mengapakah Yesus mau menanggung kesukaran dengan melibatkan diri dengan kita? Padahal Dia bisa menikmati hidup-Nya sendiri. Mengapakah Dia mau terlibat dengan kita? Karena kasih dan belas kasihan dari Allah yang ada padaNya tidak mengizinkan Dia untuk duduk diam di sana dan menyaksikan kita berada dalam keadaan seperti ini. Jadi, apa yang Yesus lakukan? “Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.” Dan Dia menjadikan kita kaya supaya kita bisa menjadi miskin lagi, sehingga orang lain menjadi kaya oleh kemiskinan kita. Namun banyak orang Kristen yang berkata, “Yesus menjadi miskin supaya aku bisa menjadi kaya. Sekarang aku bisa menikmati hidupku.” Itulah sebabnya mengapa rasul Paulus berkata, “Sebagai orang miskin, namun memperkaya banyak orang; sebagai orang tak bermilik, sekalipun kami memiliki segala sesuatu” (2 Korintus 6:10). Dan Yesus menjadi miskin untuk menjadikan orang lain kaya. Itulah pemuridan; itulah makna mengikut Yesus: sama seperti yang sudah Yesus lakukan, demikianlah kita harus melakukannya. Tapi bagaimana dengan kita? Pernahkah kita bersedia untuk menjadi miskin supaya orang lain menjadi kaya? Itu hal lain yang tidak saya lihat terdapat di tengah gereja, dan hal ini sangat menyedihkan hati saya. Seringkali yang saya lihat dalam sikap jemaat adalah: “Oh, dia bersedia untuk melayani Tuhan tanpa imbalan apa-apa. Haleluyah! Biar saja dia melayani dengan cuma-cuma.” Hal ini membuat saya sangat sedih.

Saya selalu ingat bagaimana seorang pendeta yang bernama Yu dilatih di Liverpool dan berangkat melayani Tuhan. Ia mengesampingkan gelar Master yang dimilikinya di bidang Teknik Elektronika demi mengambil posisi pendeta pembantu di gereja Liverpool. Sebagai pendeta pembantu yang masih dalam pelatihan, gereja menggaji dia 8 pounds per minggu, sebanding dengan $16 per minggu. Dia tidak mengeluh. Dia mengerjakannya dengan penuh sukacita. Malahan, dia merasa bahwa gereja telah menggajinya terlalu besar. Akan tetapi sikap sebagian orang di dalam gereja adalah ini: “Karena dia bersedia bekerja tanpa digaji, mengapa tidak kita biarkan dia bekerja secara gratis?” Seperti itulah sikap hati kebanyakan orang Kristen sekarang ini. “Orang-orang itu merelakan pekerjaannya untuk berlatih melayani Tuhan, itu urusan mereka. Tak ada hubungannya denganku. Itu pilihan mereka.” Mereka bersedia menjadi miskin untuk membuat orang lain menjadi kaya, akan tetapi orang lain hanya bersedia duduk di pinggir lapangan sambil bertepuk-tepuk tangan, dan itu saja. Saya katakan kepada Anda, kalau seperti itu pikiran Anda, berarti Anda tidak tahu apa artinya menjadi seorang murid. Anda tidak tahu apa arti menjadi seorang Kristen. Kita harus mengikut Yesus dalam memikul salib jika kita ingin menjadi murid. Dia menjadi miskin agar orang lain menjadi kaya. Lalu bagaimana dengan kita? Kita juga harus melakukan hal yang sama.

Ketika saya mengamati keadaan di tengah Gereja, hati saya sangat sedih. Yang membuat saya sedih bukanlah karena saya jatuh miskin secara keuangan, melainkan karena saya melihat betapa miskinnya para saudara seiman. Mereka tidak akan sampai ke Kerajaan jika mereka terus berada dalam keadaan ini. Jadi kita harus sangat berhati-hati. Yesus berkata, “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Saya ingatkan kepada kita semua, itu semua adalah ucapan Yesus, bukan ucapan saya. Dan saya menunjukkan kepada kita semua bahwa memang ini maksudNya. Makna di dalam kehidupan sehari-hari adalah, “Sama seperti Aku telah mengasihi kamu, dengan cara itu pula kamu akan saling mengasihi.” Sama dengan itu, saya ingin katakan, mari kita satukan hati dan mendukung pekerjaan gereja dan juga mendukung mereka yang sedang dalam pelatihan. 
Apakah yang kita bersedia lakukan untuk para saudara seiman?

Mengasihi ‘seperti Aku telah mengasihi kamu’ berarti melayani
Hal keempat yang kita lihat adalah ini: Seperti Yesus telah mengasihi kita. Bagaimana cara Dia mengasihi kita? Dia melibatkan diri dengan kita dan kehidupan kita, akan tetapi bahkan lebih dari sekadar terlibat, dia harus merendahkan diri-nya. Karena di dalam melakukan hal itu, Yesus harus menjadi seorang hamba. Pada dasarnya, dia sedang melayani kita. Di dalam pengertian tersebut, seorang dokter yang sedang merawat pasiennya sebenarnya menjadi hamba si pasien itu. Dia melayani pasien itu. Itu adalah tindakan pelayanan. Akan tetapi, di sini, Yesus harus turun ke tingkatan kita. Jika kita jatuh ke dalam lubang, maka jalan satu-satunya untuk menolong kita adalah dengan masuk ke dalam lubang itu. Dia harus merendahkan diriNya dan siap untuk mengotori diriNya untuk dapat menolong kita. Yesus berkata, “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Mar 10:45).

Apakah melayani atau memberi itu merupakan kesia-siaan?
Apakah sikap yang dimiliki oleh orang-orang Kristen? Saling mengasihi itu berarti saling melayani. Namun kadang kala, kita memandang pelayanan sebagai pemborosan waktu. Kita mulai dari para wanita karir. Mereka memandang kegiatan memasak, mencuci pakaian dan sebagainya itu sebagai pemborosan waktu. Oh, semoga semua urusan ini cepat berlalu. Bagi mereka, hal apakah yang bukan merupakan pemborosan waktu? Hal mengejar pengetahuan, mengejar sesuatu bukanlah hal yang memboroskan waktu. Namun, memberi adalah tindakan pemborosan waktu. Dengan demikian, pemahaman semacam ini terus berkembang, bahwa segala tindakan yang berupa tindakan memberi adalah suatu kerugian – kita memboroskan waktu, kita juga memboroskan uang. Akan tetapi, tindakan mengambil bukanlah suatu pemborosan. Kita perlu hal yang baru dan memiliki cara pandang yang baru. Saat kita melayani, kita akan menjadi serupa dengan Krsitus ; itu bukanlah pemborosan waktu. Saat kita melayani orang lain, kita sedang melangkah seperti Yesus.

Begitu banyak wanita zaman sekarang yang berpikir sangatlah penting untuk meraih gelar sarjana, bahkan sampai tingkatan yang tertinggi. Ada seorang teman di Inggris yang bergelar Doktor di bidang Kimia, dan sekarang apakah pekerjaannya? Dia menghabiskan segenap waktunya untuk mengurusi kedua anaknya. Saya bertanya kepada kita semua, mana yang merupakan pemborosan waktu buat dia? Menghabiskan enam tahun belajar untuk meraih gelar Doktor merupakan syarat untuk membesarkan dua anak! Saya yakin kita semua akan berkata, “Yah, tetapi dia masih bisa membanggakan gelar Doktornya.” Lantas apa? Saya ingin berbicara tentang perincian praktisnya. Apa itu pemborosan waktu? Apa yang bisa kita lakukan dengan gelar Doktor di rumah? Akan tetapi seperti itulah mentalitas orang-orang Kristen sekarang ini, yaitu bahwa mereka tetap akan memandang bahwa sekalipun tak ada yang bisa dia kerjakan dengan gelar Doktor di bidang Kimianya itu, setelah membuang sekian tahun, mereka masih memandang hal ini sebagai bukan suatu pemborosan karena, bagaimanapun juga, dia telah memiliki gelar Doktornya itu. Orang bisa memanggilnya dengan sebutan “Dr. Ny. Anu.” Jadi tidak masalah apakah kita tidak tahu bagaimana cara membesarkan anak, tidak tahu bagaimana memandikan bayi atau tidak tahu bagaimana memasak, semua itu tidak penting, selagi kita masih memiliki gelar Doktor. Saya yakin bahwa kita masih akan berpikir waktu enam tahun yang terbuang untuk gelar Doktor itu tidak sia-sia, sekalipun kita tidak akan pernah memanfaatkan gelar itu lagi. Karena siapa tahu? Mungkin di masa tuanya nanti dia bisa memanfaatkan gelar itu. Mungkin dia bisa mengajar di suatu sekolah. Bagi kita, yang penting selalu adalah apa yang bisa kita dapatkan. Apapun pengorbanannya, selama kita bisa mendapatkan sesuatu, maka itu bukan pemborosan. Akan tetapi, apapun yang kita beri, itu adalah pemborosan.

Kita paling serupa dengan Kristus di saat kita merendahkan diri untuk melayani
Dengan demikian, para murid, orang-orang Kristen, harus belajar untuk mengubah cara berpikirnya: saat saya melayani, itulah saat saya paling serupa dengan Kristus. Sangatlah susah untuk mengubah cara berpikir kita, bukankah demikian? Kita sudah diindoktrinasi sejak masa kecil kita bahwa inilah hal yang benar untuk dilakukan. Di Yohanes pasal 13, pasal di mana kita membaca tentang perintah yang baru itu, hal apakah yang Yesus kerjakan di sana? Dia membasuh kaki murid-muridnya. Dan dia melanjutkan dengan berkata, “Lakukanlah hal itu bagi sesamamu.” Yesus ingin mengajar mereka untuk saling melayani karena yang terbesar di dalam Kerajaan Allah adalah dia yang melayani mereka yang lain.

Saya sangat terharu baru-baru ini. Seorang saudara yang terkasih Thomas, menelepon saya pada hari keberangkatan saya kejakarta. Dia berkata, “Oh, kamu masih di lampung.” Dia tidak tahu karena dia sedang sibuk membantu kegiatan KKR digerejanya selama beberapa hari. Saya berkata, “Aku akan berangkat malam ini.” Dia menyahut, “Aku akan datang karena aku tahu bahwa kamu membawa banyak barang bawaan. Kamu membeli begitu banyak buku. Dan kamu harus mengangkat semua itu ke stasiun.” Lalu dia datang dan membantu saya mengangkat barang-barang bawaan itu ke stasiun tanpa peduli keadaannya sendiri yang sedang kelelahan. Dia baru saja pulang tengah malam sebelumnya. Saya berusaha menolak bantuannya dengan menganjurkannya untuk beristirahat saja di rumah, akan tetapi dia bersikeras mau membantu saya dengan mengatakan bahwa melayani adalah suatu kesempatan yang istimewa buatnya. Melayani saudara seiman berarti melayani Tuhan. Inilah makna merendahkan diri, sama seperti Yesus telah merendahkan dirinya dan mengambil rupa seorang hamba (Filipi 2:7-8). Thomas bisa saja berkata, “Aku telah melayani Tuhan selama beberapa hari ini, mengapa aku harus ikut mengangkat koper orang lain?” Akan tetapi dia telah belajar tentang makna pemuridan. Menjadi serupa dengan Kristus berarti melayani, dan untuk melakukan hal itu, kitaa perlu merendahkan diri kita.

Rendahkah hati kita dalam segala hal
Saya juga ingin mengajukan satu poin praktis: sikap ini juga terlihat dari cara kita berbicara satu dengan yang lain. Saat anak-anak muda berkumpul, mereka senang bercanda satu sama lain. Akan tetapi jika canda kita sampai menyinggung hati orang lain, maka ingatlah hal ini: Kita sedang merendahkan orang lain dan meninggikan diri kita. Jika kita berolok-olok tentang kesalahan orang lain, itu bukanlah jiwa Kristus. Sungguh berat rasanya hati saya melihat bagaimana orang-orang Kristen, terutama mereka yang muda menertawakan kekeliruan atau kesalahan orang lain atau mengolok-olok orang lain yang secara tidak langsung meremehkan orang lain dalam rangka meninggikan diri kita sendiri. Saya beritahu kepada kita semua, jiwa Kristus tidak seperti itu. Itu adalah dosa. Jika kita ingin bercanda, tertawailah diri kita sendiri. Tertawalah pada keadaan kita sendiri. Biarlah orang lain tertawa melihat kita. Mengapa harus menjadikan orang lain sebagai sasaran tawa kita? Ini bukanlah jiwa Kristus dan sama sekali tidak lucu, marilah kita hidup sebagai seorang murid dalam setiap perinciannya.

Mengasihi ‘seperti Aku telah mengasihi kamu’ berarti saling mengampuni
Yang kelima, kita lihat bahwa saat Yesus mengasihi kita, apakah yang Dia lakukan? Dia mengampuni kita. Dengan cara itu pula, kita harus saling mengampuni. Demikianlah, rasul Paulus kembali memakai kata ‘sama seperti’, sebagaimana yang kita lihat di dalam kalimat “saling mengasihilah kamu sama seperti Aku telah mengasihi kamu.” Di Kolose 3:13Sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dapatkah kita melihat makna memikul salib dan mengikut Yesus di dalam ayat tersebut? Kadang kala perkara mengampuni ini sangatlah sulit, karena setiap kali kita mengampuni, ada harga yang harus ditanggung dari tindakan itu. Sebagai contoh, ada orang yang datang ke tempat kita lalu memakai piring kita, dan piring itu terjatuh lalu pecah. Dengan mengampuni berarti kita mengorbankan piring kita. Harga pengampunan itu terletak pada harga piring tersebut. Atau, yang lebih buruk lagi, mungkin melibatkan barang yang lebih mahal. Jika kita mengijinkan orang lain memakai mobil kita dan mobil itu bertabrakan, itu bisa berarti kita harus mengampuni lebih besar lagi. Tapi di sini dikatakan bahwa “Sama seperti Dia telah mengampuni.” Dia telah mengampuni kita jauh lebih besar lagi, jadi kita harus mengampuni juga. Ini bukanlah suatu pilihan, kita berada di bawah perintah "Kita harus mengampuni!"

Mengasihi ‘sama seperti Aku telah mengasihi kamu’ berarti berdamai
Di dalam poin yang keenam, kita akan melihat bahwa jika kita setulus hati mengikut Kristus dan memikul salib, maka kita akan berdamai. Kita diberitahu di Efesus 2:16 dan Kolose 1:21 bahwa Kristus datang untuk mendamaikan kita dengan Bapa, bahwa Kristus mendamaikan kita dengan Allah di dalam tubuhNya di kayu salib. Dan jika kita mengasihi sama seperti Kristus mengasihi, maka disebutkan di 2 Korintus 5:18, Allah telah memberi kita pelayanan perdamaian. Demikianlah, pekerjaan yang telah dilakukan oleh Yesus, kita kerjakan juga.

Kembali, saya tidak melihat hal ini terjadi di dalam Gereja. Karena begitu sering, saya melihat orang-orang sangat sembrono di dalam cara mereka berbicara antara satu dengan yang lain. Mereka menggosipkan saudara atau saudari seiman di balik punggung yang bersangkutan. Dan dampak dari tindakan semacam ini adalah tidak adanya perdamaian, yang mendekatkan setiap orang, melainkan pemisahan, memasukkan kesalah-pahaman dan sakit hati di dalam diri orang-orang. Yesus berkata, “Berbahagialah orang yang membawa damai.” Orang ini mendekatkan para saudara seiman. Pikirkan saja, betapa indahnya jemaat yang terbentuk jika setiap orang bekerja saling mendekatkan satu dengan yang lain. Akan tetapi, ada orang yang selalu saja sembrono atau malah sengaja menimbulkan perpecahan dan kesalah-pahaman di antara saudara-saudara seiman. Ini adalah dosa di hadapan Tuhan. Tugas kita adalah mendamaikan. Paulus berkata bahwa Allah telah memberi kita pelayanan pendamaian, menyatukan para saudara seiman, dan orang-orang non-Kristen dengan Allah.

Mengasihi ‘sama seperti Aku telah mengasihi kamu’ berarti menyerahkan nyawa kita untuk para saudara seiman
Hanya jika kita telah melakukan semua ini baru kita bisa sampai kepada poin yang ketujuh dan yang terakhir di mana kita secara nyata benar-benar menyerahkan nyawa kita untuk saudara dan saudari seiman seperti yang telah Yesus lakukan untuk kita. Hanya dengan cara itu baru kita bisa memenuhi ajaran Yesus di dalam Yohanes 15:13 di mana Dia berkata, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Kasih yang terbesar adalah dengan menyerahkan nyawa bagi sahabat-sahabat kita. Akan tetapi, seperti yang kita lihat di 1 Yohanes 3:16, hal ini adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap orang Kristen kepada orang lain. Akan tetapi, jika kita bahkan tidak peduli akan hal belas kasihan dan kepedulian pada saudara seiman, maka kita tidak akan mau terlibat di dalam kesulitan orang itu. Kita tidak akan bersedia membantu dia secara keuangan; kita tidak akan bersedia merendahkan diri kita untuk melayani; kita akan berkata, “Mengapa harus aku?” Kalau begitu, lalu mengapa Yesus harus melayani kita? Mengapa Yesus harus menyelamatkan kita? Karena Dia telah melakukan semua ini kepada saya, maka saya berada dalam kewajiban untuk melakukannya juga kepada orang lain.

Dan selanjutnya, kita tidak akan mau mengampuni saudara seiman. Sungguh mengherankan melihat betapa orang-orang Kristen masih menyimpan kejengkelannya kepada orang lain sampai bertahun-tahun. Dan mereka sangat sensitif: “Ada orang yang menjelek-jelekkan aku, aku sekarang ini sedang marah besar.” Dan mereka memiliki daya ingat seperti gajah – kita diberitahu bahwa gajah tidak pernah lupa. Sangat mengerikan melihat betapa mudahnya orang Kristen saling tersinggung antara satu dengan yang lain. Kita seperti landak yang berdekatan. Saya selalu bertanya-tanya bagaimana cara landak saling berdekatan. Mereka semua dipenuhi oleh duri, saling menusuk ke sana kemari.
Bagaimana bisa kita ini menjadi murid Kristus? Orang Kristen macam apakah kita ini? Jika kita tidak bisa mengampuni, bagaimana mungkin kita berbicara tentang perdamaian? Demikianlah, saat kita sampai pada poin terakhir tentang menyerahkan nyawa, saya nyaris berpikir bahwa hal ini tidak ada gunanya untuk dibicarakan mengingat keadaan Gereja seperti sekarang ini.

Jaminan keselamatan yang alkitabiah: mengasihi saudara seiman sama seperti Aku telah mengasihi kamu
Sekarang kita telah melihat ketujuh makna tentang “mengasihi sama seperti Aku telah mengasihi kamu“, kita telah melihat bagaimana Kristus mengasihi kita. Jika kita menyebut diri kita Kristen, bisakah kita mengukur diri kita berdasarkan ketujuh poin ini? Dan saya juga harus terus bertanya kepada diri saya, “Bisakah saya memenuhi patokan tersebut?” agar jangan sampai saya menyampaikan hal ini kepada orang lain dan selanjutnya malah menjadi orang munafik yang paling besar. Jika kita ingin menjadi seorang murid, janganlah ada seorang dari kita yang berkata, “Aku tidak tahu apa arti memikul salib itu.” Sekarang kita sudah tahu artinya. Jadi, tak seorangpun yang punya alasan dengan berkata bahwa dia tidak tahu apa arti menjadi seorang murid.

Bagaimana kita tahu bahwa kita ini murid? Tanda sejati dari seorang murid ada di 1 Yohanes 3:14, rasul Yohanes menyatakan hal ini, “Kita tahu, bahwa kita sudah berpindah dari dalam maut ke dalam hidup, yaitu karena kita mengasihi saudara kita.”

Sungguh menggelikan bahwa di zaman sekarang ini, kita mendengar begitu banyak orang yang berbicara tentang jaminan. Mengapa orang-orang itu tidak mengutip ayat ini dalam menjelaskan jaminan keselamatan? Yohanes sedang memberitahu kita tentang bagaimana cara memastikan jaminan itu. Kita akan tahu apakah kita telah berpindah dari maut ke dalam hidup, apakah kita selamat atau tidak, dengan cara mengetahui apakah kita mengasihi saudara seiman atau tidak. Dengan cara itu kita bisa melihatnya. Namun sekarang ini, kita maunya berbicara tentang jaminan keselamatan yang tidak menimbulkan pengorbanan apa-apa. Banyak dari antara orang yang menyatakan bahwa mereka memiliki jaminan keselamatan atau mengira bahwa mereka memiliki jaminan tersebut tidak menunjukkan hal-hal yang meneguhkan jaminan itu. Sekilas saja sudah terlihat bahwa mereka tidak memiliki jaminan yang alkitabiah. Banyak dari antara orang-orang ini yang mengira bahwa mereka telah diselamatkan, padahal mereka jauh dari keselamatan itu.

Mengapa hanya orang yang mengasihi saudara-saudara seiman yang memiliki jaminan keselamatan itu? Karena jika kita mengasihi saudara seiman, maka hal itu menunjukkan bahwa kita memiliki Roh Kudus. Kasih Allah dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus. Jika kita ingin tahu apakah kita memiliki kepenuhan Roh Kudus, inilah titik awalnya karena buah Roh adalah kasih. Orang yang berkata bahwa dia memiliki Roh Kudus tetapi tidak mengasihi adalah seorang pembohong. Saya berdoa kiranya Allah berbicara ke dalam hati kita.

Hari ini, fokus saya adalah apakah kita memahami semua hal ini. Atau lebih jauh lagi, yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita mengerjakannya. Dan jika kita berkata bahwa kita mengetahuinya tetapi kita tidak mengerjakannya, maka kesalahan kita sangatlah besar karena kita sendiri telah tahu apa yang akan terjadi sebagai akibat dari kesalahan itu. Selanjutnya, mari kita, dengan kasih karunia Allah, menyadari betapa lemahnya diri kita ini dan berkata, “Allah Bapa di surga, dengan kasih karuniaMu, aku akan memikul salib dan mengikut Engkau. Aku akan mengasihi sama seperti Engkau telah mengasihiku melalui Yesus, AnakMu.” Dengan begitu maka kita semua akan ditransformasi, dan semua dimulai dari kita.

Tetap tekun didalam Firman Tuhan dan Salam Revival!!!
Tuhan Yesus memberkati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar