Memikul salib – Mengapa?
Dalam tulisan kali ini, kita akan membahas tentang bagaimana rencana Allah untuk umat-Nya menjadi lebih besar dari yohanes pembaptis dapat diwujudkan di dalam diri kita. Kita akan melihat pada makna salib di dalam kehidupan seorang murid. Hal ini dapat ditemukan di Lukas 9:23-25. Jika kita mengaplikasikan firman Tuhan ke dalam hidup kita, kita akan mendapati bahwa Allah benar-benar dapat menjadikan kita lebih besar daripada yohanes pembaptis.
Lukas 9:23-25:
Kata-Nya kepada mereka semua (ucapan ini tidak ditujukan hanya kepada beberapa murid saja, melainkan kepada setiap orang, termasuk kamu dan saya): “Setiap orang yang mau mengikut Aku (sekali lagi, setiap orang), ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari (perhatikan kata “setiap hari”) dan mengikut Aku (ini bukanlah tindakan sesaat saja, melainkan kegiatan sehari-hari, proses yang berkelanjutan). Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?
Dikatakan, “Melainkan engkau memikul salibmu setiap hari…”. Siapa yang berkata keselamatan itu adalah tindakan sekali jadi? Di mana yang perlu kita lakukan hanyalah memikul salib sekali saja, dan mungkin kita nanti dapat membuang salib itu di pinggir jalan, lalu melanjutkan perjalanan tanpa dibebani salib. Sekalipun sudah membuang salib tetapi kita tetap merasa dapat menjadi murid Kristus? Tidak, tidak, tidak!! Dikatakan, “Kecuali jika kamu memikul salibmu setiap hari dan mengikut Aku, kamu tidak dapat menjadi muridKu. Setiap orang yang mau mengikut Aku, itulah jalan yang harus ditempuhnya.”
Mengapa Yesus menetapkan persyaratan seperti ini? Apakah maksud dari keselamatan itu? Apakah supaya kita dapat menyelamatkan diri kita sendiri? Tidak demikian halnya di dalam Alkitab. Di dalam Alkitab tindakan kita menyelamatkan diri kita akan menyebabkan kita kehilangan segalanya. “Barang siapa yang ingin menyelamatkan nyawanya maka dia akan kehilangan nyawanya, akan tetapi barangsiapa yang kehilangan nyawanya demi Aku dan demi Injil, maka Dia akan menyelamatkannya.”
Akan tetapi, bukankah kita sedang mencoba untuk menyelamatkan hidup kita sendiri. Anda sedang berusaha untuk menyelamatkan jiwa kita. Kata ‘jiwa’ merupakan terjemahan dari kata Yunani yang berarti hidup. Dalam tindakan kita menyelamatkan hidup atau jiwa kita, maka kita akan kehilangannya. Akan tetapi banyak orang Kristen yang tidak memahami hal ini. Sehingga banyak orang Kristen yang sama egoisnya dengan orang dunia.
Kita akan membahas tentang hal memikul salib dengan memakai 3 poin.
I. Salib dan Kuasa
A. Kuasa Elisa
Poin pertama adalah mengenai salib dan kuasa – kuasa untuk melakukan pekerjaan Allah. Kita memulai dengan membacakan kutipan dari 2 Raja-raja. Bagian ini merupakan bagian yang membangkitkan rasa penasaran. Ayat-ayat itu berbicara tentang elisa. Peristiwa yang tercatat sangatlah tidak lazim. Apakah arti dari peristiwa ini?
2 Raja-raja 13:20-21:
Poin pertama adalah mengenai salib dan kuasa – kuasa untuk melakukan pekerjaan Allah. Kita memulai dengan membacakan kutipan dari 2 Raja-raja. Bagian ini merupakan bagian yang membangkitkan rasa penasaran. Ayat-ayat itu berbicara tentang elisa. Peristiwa yang tercatat sangatlah tidak lazim. Apakah arti dari peristiwa ini?
2 Raja-raja 13:20-21:
Sesudah itu matilah elisa (sang nabi besar, manusia Allah itu), lalu ia dikuburkan. Adapun gerombolan moab (orang moab, suku yang berdiam di sebelah barat israel; merupakan suku tetangga yang hidup nomaden, orang-orang yang memelihara ternak dan mengembara bersama ternaknya) sering memasuki negeri itu pada pergantian tahun. Pada suatu kali orang sedang menguburkan mayat. Ketika mereka melihat gerombolan datang, dicampakkan merekalah mayat itu ke dalam kubur elisa, lalu pergi. Dan demi mayat itu kena kepada tulang-tulang elisa, maka hiduplah ia kembali dan bangun berdiri.
Ini adalah suatu peristiwa yang sangat menarik. Tanpa mengetahui adat penguburan bangsa isreal akan sangat sulit untuk memahami ayat-ayat ini. Ketika peristiwa ini terjadi elisa sudah lama mati karena yang tersisa di kuburan itu hanyalah tulang-tulangnya. Jika elisa sudah lama dikuburkan lalu bagaimana mungkin kuburnya masih terbuka? Ayat-ayat di sini memberitahu kita bahwa mayat seseorang dilemparkan ke dalam kubur elisa. Perlu diketahui bahwa penguburan di israel dilakukan di dalam gua, tidak seperti kita yang menggunakan lubang galian. Orang israel menguburkan jenazah di dalam gua, biasanya di gua batu karang. Di dalam gua-gua itu terdapat banyak ceruk. Di dalam suatu gua akan ditemukan banyak ruangan yang saling berhubungan. Di sepanjang sisi ruangan itu, akan ditemukan banyak ceruk, tempat di mana mayat-mayat ditempatkan. Terdapat juga gua yang bagian temboknya berbentuk semacam rak di mana mayat dapat dengan begitu saja ditempatkan di atasnya.
Orang-orang ini sedang dalam prosesi penguburan, dan kelihatannya orang yang mati ini bukanlah orang yang penting karena identitasnya tidak diungkapkan. Dia dibawa ke suatu gua tempat penguburan, dan orang-orang menggotongnya ke dalam. Dan saat berada di dalam gua datanglah kabar tentang kedatangan gerombolan moab. Mereka menyadari bahwa jika mereka masuk lebih jauh lagi, maka mereka tidak akan punya cukup waktu untuk menghindari gerombolan moab. Jadi secara tergesa-gesa mereka mencari tempat terdekat dan melemparkan jenazah itu agar mereka dapat dengan segera keluar untuk melarikan diri. Mereka tidak tahu atau telah lupa bahwa itu merupakan tempat di mana mayat elisa dikuburkan. Disebutkan di sana bahwa ketika jenazah ini terkena tulang-tulang elisa, dia langsung hidup dan berdiri! Nah saya tidak tahu hal apa yang lebih menakutkan bagi mereka, apakah gerombolan moab di luar atau orang yang baru bangkit dari kematian ini! Orang-orang yang malang ini harus berhadapan dengan hal yang menakutkan baik di dalam mau pun di luar ruangan. Tentunya melihat orang mati yang bangkit kembali akan lebih menakutkan ketimbang gerombolan moab di luar. Jadi, mereka tidak tahu apakah harus keluar dari gua itu atau terus tinggal di dalam gua! Mereka terjepit di antara dua situasi.
Tetapi mengapa Alkitab mencatat peristiwa ini? Apa tujuannya? Mengapa kita harus mengetahui peristiwa ini? Tentu saja, maksudnya adalah untuk memberitahu kita sesuatu tentang elisa. Seluruh bagian ini berkaitan dengan elisa, seorang manusia Allah yang perkasa. Firman Allah bekerja dengan penuh kuasa dan ajaib di dalam hidup dan pelayanan elisa. Melalui elisa, kehidupan disalurkan setiap saat. Inilah artinya diselamatkan. Yaitu menjadi saluran keselamatan bagi orang lain. Itulah yang terjadi di sepanjang hidup elisa. Dia menyalurkan hidup Allah kepada orang lain, baik secara jasmani mau pun secara rohani. Tapi di waktu itu hamba Allah yang besar ini sudah mati dan telah dikuburkan, dan juga mungkin sudah dilupakan. Akan tetapi Allah memuliakan hamba-Nya ini sekali lagi. Bahkan di dalam kematiannya dia mampu menyalurkan hidup. Bukankah ini hal yang luar biasa? Sesudah mati pun dia masih menyalurkan kehidupan! Inilah poin yang ingin disampaikan oleh Tuhan kepada kita: Setiap hamba Allah yang sejati adalah saluran kehidupan. Dan hal ini diilustrasikan dengan sangat jelas lewat fakta bahwa Allah terus bekerja dengan penuh kuasa melalui hamba-Nya bahkan setelah hamba tersebut sudah meninggal dunia.
Tentu saja hal ini masih terjadi hari ini lewat berbagai macam sarana. Umpamanya, kita membaca sebuah buku dan kerohanian kita sangat dibantu. Penulis buku itu sudah lama mati. Namun, sekalipun dia telah mati, dia tetap berbicara kepada kita melalui lembar-lembar halaman buku yang tidak lebih hidup dari pada tulang-tulang orang mati. Lembaran kertas yang mati di hadapan kita, benda-benda yang mati secara jasmani itu, sedang menyalurkan kehidupan rohani kepada kita. Sekalipun orangnya sudah lama mati, pelayanannya terus saja membagikan berkat. Menurut Paulus, setiap hamba Allah yang sejati, entah di dalam hidup atau pun matinya, terus melayani dan memuliakan Dia (Flp 1:20).
Terdapat hal lain yang perlu diperhatikan. Beberapa pasal sebelum ini di 2 Raja-raja 4:32-37, kita menemukan peristiwa tentang anak laki-laki dari seorang perempuan sunem. Dan di dalam bagian tersebut, Elisa datang ke rumah perempuan Sunem itu, dan membangkitkan anaknya dari kematian. Bagaimana elisa membangkitkan anak tersebut? Elisa merentangkan tubuhnya ke atas mayat anak itu. Dia berada di dalam posisi terentang di atas mayat itu sampai si anak itu hidup kembali. Dengan kontak secara jasmani ini – dengan memberikan dirinya sepenuhnya, menutupi tubuh anak itu sepenuhnya – si anak kemudian hidup kembali.
B. Kuasa Yesus
Tiga kali di dalam Injil, disebutkan bahwa Yesus membangkitkan orang mati. Akan tetapi Yesus tidak merentangkan tubuhnya di atas mayat orang mati tersebut. Dia bahkan tidak harus menyentuh tubuh orang mati itu. Dengan satu perintah, orang mati itu hidup kembali.
Tiga kali di dalam Injil, disebutkan bahwa Yesus membangkitkan orang mati. Akan tetapi Yesus tidak merentangkan tubuhnya di atas mayat orang mati tersebut. Dia bahkan tidak harus menyentuh tubuh orang mati itu. Dengan satu perintah, orang mati itu hidup kembali.
Peristiwa yang pertama tercatat di Lukas 7:14 menceritakan tentang anak laki-laki seorang janda dari nain. Saat itu Yesus sedang berjalan menuju nain dan sedang berlangsung suatu prosesi penguburan. Hati si ibu sangat hancur karena yang meninggal dunia adalah anak lelaki satu-satunya. Ini berarti dia tidak sekadar kehilangan apa yang paling dikasihi dan dekat dengannya, tetapi dia juga akan kehilangan sumber penghidupannya. Di zaman itu tidak ada sistem jaminan sosial. Jika suami atau anak kita meninggal dunia, itu berarti kita tidak akan mempunyai sumber penghasilan. Kita akan jatuh miskin dan mengalami kelaparan, bahkan mungkin harus menjadi pengemis di jalanan. Tetapi saat Yesus menghentikan prosesi penguburan itu dan berkata kepada anak muda yang sudah mati itu, “Bangkitlah,” dan orang yang mati itu bangkit kembali.
Peristiwa kebangkitan yang kedua tercatat di pasal selanjutnya. Di Lukas 8:54 berkisah tentang anak perempuan yairus dibangkitkan. Di dalam peristiwa ini, Yesus memang memegang tangan anak perempuan itu dan memerintahkannya untuk bangun. (Namun tentu saja, sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam kasus yang sebelumnya, Yesus sebenarnya tidak harus menyentuh anak itu.)
Peristiwa yang ketiga dapat dibaca di dalam Yohanes 11. Yesus membangkitkan Lazarus. Sekali lagi, kebangkitan ini dilakukan cukup dengan memberikan satu perintah yang sederhana, tanpa harus melakukan kontak fisik.
C. Para Rasul Lebih Besar dari Yohanes Pembaptis
Di sini kita melihat kuasa Yesus Kristus yang lebih besar daripada Yohanes Pembaptis. Yesus Kristus juga berkata, “Kamu akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar karena Aku pergi kepada Bapa.” (Yoh 14:12-14)
Hal itu memang terjadi di Kisah 5:15. Di dalam kasus ini, sepatah kata pun tidak diucapkan. Bukan saja tanpa kontak fisik, namun sepatah kata pun tidak diucapkan tetapi kuasa yang menyalurkan kehidupan dan kesembuhan dengan nyata terlihat. Kisah 5:15,16 berkaitan dengan Petrus:
"Bahkan mereka membawa orang-orang sakit ke luar, ke jalan raya, dan membaringkannya di atas balai-balai dan tilam, supaya, apabila petrus lewat, setidak-tidaknya bayangannya mengenai salah seorang dari mereka. Dan juga orang banyak dari kota-kota di sekitar yerusalem datang berduyun-duyun serta membawa orang-orang yang sakit dan orang-orang yang diganggu roh jahat. Dan mereka semua disembuhkan"
Kuasa dapat dialami orang banyak hanya melalui bayangan petrus yang berjalan melewati mereka. Yang dibutuhkan hanyalah bayangan petrus. Sepatah kata pun tidak perlu Petrus ucapkan. Petrus tidak menyentuh mereka; dia tidak mengucapkan apa-apa. Bayangannya melintasi mereka dan itu sudah cukup. Hanya dengan bayangannya, kuasa Allah dapat disalurkan melalui hamba-Nya untuk memberikan kehidupan dan kesembuhan! Itulah kebesaran Allah yang bekerja melalui hamba-Nya.
Hal yang sama berlaku pada rasul paulus. Kisah 19:11-12, kita melihat kebesaran yang sama.
Oleh paulus Allah mengadakan mukjizat-mukjizat yang luar biasa, bahkan orang membawa saputangan atau kain yang pernah dipakai oleh Paulus dan meletakkannya atas orang-orang sakit, maka lenyaplah penyakit mereka dan keluarlah roh-roh jahat
Sapu tangan, atau kain yang pernah bersentuhan dengan tubuh paulus, saat disentuhkan kepada orang sakit, atau orang yang dirasuk roh jahat, dan mereka langsung disembuhkan.
Petrus tidak punya kuasa. Paulus tidak punya kuasa. kita tentu ingat ketika petrus menyembuhkan orang yang lumpuh, orang-orang menjadi kagum. Dia berkata, “Mengapa kamu melihat kami seperti itu? Kami tidak punya kuasa apa-apa. Kami tidak menyembuhkan orang ini. Allah yang menyembuhkan dia melalui kami (Kisah 3:12).” Kuasa Allah yang bekerja melalui para rasul. Kata Yesus, “Kamu akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar…” (Yoh 14:12-14) Di dalam pelayanan Yesus Kristus, hal-hal yang seperti itu tidak terjadi, namun sekarang kita melihat hal semacam itu terjadi melalui petrus dan paulus.
Bermegah dalam Salib yang memberi Kuasa
Di manakah rahasia dari kuasa ini? Dari Yesus ke rasul petrus dan ke rasul paulus, dari satu ke yang lain terlihat adanya peningkatan kuasa – pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan menjadi semakin besar! Namun apa yang sudah terjadi, mengapa dari zaman para rasul ke hari ini terjadi penurunan sampai akhirnya kita berada di tingkat kuasa yang paling dasar. Apa yang telah terjadi?
Rahasianya terletak di salib. Paulus memiliki kuasa ini. Mengapa? Karena katanya, “Allah melarang aku bermegah, keselamatanku ada di dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus (our Lord Jesus Christ).” (Gal 6:14) Dia tidak bermegah karena hal-hal yang lain. Paulus tidak menyombongkan ijazah, pengetahuan, kefasihan, keahlian, atau kisah suksesnya yang panjang. Dia tidak berminat pada perkara-perkara semacam itu. Dia hanya bermegah atas satu hal, yaitu salib. Salib Kristus. Di sinilah kita berbeda. Itu sebabnya paulus memiliki kuasa. Dan itu sebabnya gereja tidak memiliki kuasa.
Allah menginginkan kita untuk menjadi saluran kehidupan dan kuasa-Nya. Hidup dan kuasa diberikan kepada kita bukan agar kita merasa puas, bukan supaya kita merasa telah menjadi hebat, namun supaya kita menjadi saluran kehidupan dan kuasa – menyalurkan kuasa yang menyelamatkan dari Allah kepada orang lain. Jika kita tidak bersedia menjadi sekadar suatu saluran, kita tak akan pernah menjadi apa-apa secara rohani. Itulah poinnya.
II. Salib dan Ke'aku'an
Kita masuk ke dalam poin yang kedua. Kata “kuasa”, “selamat” dan “keselamatan” dipakai berulang-ulang. Dan kita berkata, “Sepertinya orang-orang Kristen dimotivasi oleh keegoisan yang kurang-lebih sama saja dengan orang dunia. Maksud saya, kita ingin diselamatkan karena kita ingin masuk ke surga.” Yah, orang dunia pun menginginkan surga di dunia atau di zaman ini, dan kita menginginkan surga di langit, karena surga milik kita lebih permanen ketimbang surga di bumi. Jadi bukankah kita dimotivasi oleh hasrat yang sama yaitu menginginkan surga, entah itu surga di bumi atau pun yang di langit? kita dimotivasi oleh hasrat yang sama yaitu untuk diselamatkan, bukankah yang memotivasi kita itu keegoisan yang sama?
Sampai pada titik tertentu memang terdapat kebenaran di dalam pernyataan tersebut. Saya melihat begitu banyak orang Kristen yang dimotivasi oleh keegoisan yang sama. Mereka tidak peduli pada orang lain. Mereka hanya mementingkan keselamatan dirinya sendiri saja. “Selama aku bisa masuk ke surga, maka aku tidak peduli akan urusanmu. Akan tetapi jika dengan mengurusi keselamatanmu akan membantuku untuk masuk ke surga, oh, aku juga tidak keberatan.” Lalu apa bedanya? Bukankah sama saja egoisnya? Apakah kita tidak dimotivasi oleh hal yang sama? Di sisi lain, haruskah kita berpandangan bahwa adalah lebih baik untuk tidak mempunyai hasrat sama sekali? Atau apakah lebih baik kita menghasratkan nirwana, tempat di mana tidak ada keberadaan dan tidak ada keinginan? Apakah yang ini lebih rohani? Kita perlu memiliki keinginan, mudah-mudahan keinginan yang baik. Namun tampaknya bahkan semua hasrat yang baik pun mengandung unsur egois karena sekalipun kita berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang baik, kita menghendaki hal itu bagi diri kita sendiri. Justru karena ada nilai-nilai kebaikan, maka kita ingin memilikinya. Dan karena kita ingin memilikinya, bukankah itu berarti kita dimotivasi oleh keegoisan?
Pandangan ini memang mengandung kebenaran. Tak diragukan lagi memang ada kebenaran di dalamnya. Jika kita kilas balik dan tanyakan diri kita mengapa kita ingin diselamatkan dulu, pasti alasannya adalah karena kita dimotivasi oleh keinginan untuk memiliki hidup yang kekal. Kita tidak ingin binasa. Kita menginginkan hidup yang kekal. Dan bukankah keinginan untuk hal yang baik, yakni hidup yang kekal, juga dimotivasi oleh keinginan yang egois, untuk menjamin tempat di surga bagi diri kita sendiri? Dengan demikian bukankah hal itu egois? Memang pandangan ini mengandung kebenaran juga.
Kita memang dalam tingkatan tertentu dimotivasi oleh keegoisan saat pertama kali menjadi Kristen. Saya rasa sulit untuk mengingkari hal ini. Namun yang penting adalah: jika kita tetap bertahan di tingkatan tersebut, maka di dalam upaya kita menyelamatkan diri ini, kita justru akan kehilangan keselamatan. Di situlah titik masuknya salib dan keakuan. Semakin saya renungkan hikmat Allah, semakin saya dibuat kagum. Yang dilakukan oleh Allah adalah ini: Apa yang disebutkan di Lukas 9? “Barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya.” Kita lihat, yang luar biasa dari salib adalah ini: Allah mengambil keegoisan kita dan memanfaatkannya untuk menghancurkan keakuan di dalam diri kita. Saya tidak tahu apakah kita bisa memahami kalimat tersebut. Makna sebenarnya tidak serumit kalimatnya. Inilah penjelasannya.
Allah mengambil keegoisan kita dan memakainya untuk menghancurkan ke'aku'an kita – ke'aku'an yang egois itu. Sungguh kita. Bagaimana cara Dia melakukan itu? Yah, karena kita ingin diselamatkan, (maka kita datang kepada Tuhan). Akan tetapi Alkitab berkata, “Kalau kamu ingin diselamatkan, kamu akan kehilangan nyawamu. Hanya dengan kehilangan nyawa itulah kamu dapat diselamatkan.”
Jadi kita mendapati bahwa dalam memenuhi hasrat kita untuk menyelamatkan diri kita, kita harus kehilangan ke'aku'an kita untuk bisa diselamatkan. Oh, hikmat Allah sungguh tak terjangkau! Dia memang luar biasa! Semakin kita pelajari Alkitab, kita mulai memahami hal yang dikatakan oleh Paulus di Roma 11:33, “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah!” Ia tahu bahwa kita ini egois. Ia tahu bahwa kita ini datang pada keselamatan karena dorongan hasrat egois untuk diselamatkan!
Untuk apa kita datang ke pertemuan ibadah? Apakah karena kita ingin menyerahkan diri kita di dalam ibadah itu? Apakah karena kita ingin sumbangkan semua uang kita? Bisa iya bisa tidak. Kita datang ke pertemuan ibadah itu untuk melihat-lihat apakah kita bisa mendapatkan sesuatu dari sana. Motivasi kita tentu saja egois. kita menginginkan sesuatu bagi diri kita. Kita ingin mendapatkan hidup yang kekal. Atau mungkin niatnya tidak seluhur itu, mungkin untuk mendapatkan suami atau istri, atau pacar; tidak hanya sekedar mendapatkan hidup yang kekal. Kita datang dengan motivasi yang egois. Anda mendengarkan penyampaian Injil sambil di dalam hati kita berharap agar orang ini segera mengakhiri khotbahnya, supaya kita bisa segera ngobrol dengan gadis atau pemuda yang kita incar. Awalnya kita berkata, “Oh, khotbah orang ini betul-betul melelahkan. Semoga saja kita bisa segera masuk ke acara ramah tamah.” Tubuh kita ada di sana tetapi pikiran kita tidak tertarik pada Injil. Kita memikirkan gadis atau pemuda yang kita sukai itu. Tetapi minggu demi minggu, Injil mulai mengenai hati kita. Secara berangsur-angsur kita mulai lupa pada tujuan semula kita mengikuti kebaktian. Injil mulai membuat kita terkesan, Firman Allah mulai mempengaruhi kita dan hal ini terus berlangsung. Awalnya kita datang dengan motivasi yang egois, memang benar, tetapi pada akhirnya Allah yang justru mendapatkan kita, bukankah begitu? Allah memanfaatkan ke'aku'an yang egois untuk menghancurkan ke'aku'an kita dan menjadikan kita manusia baru.
Tentu saja ini merupakan suatu proses yang panjang, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa semua itu bisa terjadi dalam 5 menit. Ini adalah suatu proses yang sangat lama akan tetapi pada akhirnya Allah secara perlahan-lahan menangani keegoisan. Berangsur-angsur kita melihat orang yang memulai kehidupan Kristennya secara sangat egois, belajar untuk memberikan dirinya lebih dan lebih lagi. Dan di dalam proses memberi inilah hidup Allah datang kepada kita.
Itulah poin kedua yang ingin saya singgung secara sekilas. Kita memulai dengan alasan yang sangat egois, dan saya pikir setiap orang Kristen yang jujur tidak akan mengingkari hal ini. Akan tetapi Allah di dalam hikmat-Nya memakai salib Kristus, dan melalui proses tersebut – memanfaatkan keegoisan kita – Dia menghancurkan ke'aku'an dan memunculkan kepribadian baru yang seperti Kristus. Saya dahulu adalah orang yang sangat egois, terus terang saja, saya sangatlah egois.
Ketika saya menerima Injil, apakah itu bukan didorong oleh niat yang egois? Tentu saja, tentu saja sangat egois. Saya mencari semacam tuntunan dan makna yang lebih kekal ketimbang mimpi-mimpi sesaat saya di dalam hidup ini. Saya mencari sesuatu yang kekal dan abadi buat diri saya. Tetapi Allah memanfaatkan keegoisan tersebut dan sekarang saya nyaris tidak percaya pada hasilnya. Ketika saya meneliti isi hati saya, saya harus mengakui dengan jujur bahwa Tuhan telah mengubah saya sedemikian rupa, dan apa yang telah Tuhan kerjakan di dalam diri saya sungguh sulit untuk dipercaya. Fakta bahwa saya mampu untuk mengasihi orang lain setulus hati adalah suatu hal yang tak terbayangkan oleh saya. Bagi saya ini merupakan hal yang mustahil, bahkan bukan merupakan hal yang saya inginkan. Siapa yang mau punya hasrat untuk hidup demi orang lain? Lupakan urusan orang lain, diri sendiri ini yang penting. Akan tetapi Allah mengubah kita tahun demi tahun, sehingga kita menjadi benar-benar peduli pada orang lain, kita benar-benar mengasihi orang lain. kita benar-benar bersedia mengorbankan nyawa kita bagi orang lain, mencurahkan diri kita bagi mereka. Dan kita bahkan tidak tahu bagaimana perubahan ini bisa terjadi. Allah di dalam hikmat-Nya, melalui salib Kristus, telah mengerjakan hal ini di dalam hidup saya, dan Dia akan mengerjakannya di dalam hidup kamu juga. Dan hanya dengan cara itulah kita bisa masuk ke jalan penuh kuasa, yaitu poin pembahasan kita yang pertama tadi.
III. Salib dan Keselamatan
Mari kita masuk pada poin yang ketiga dan yang terakhir.
Poin pertama yang telah dibahas adalah salib dan kuasa. Yang kedua adalah salib dan ke'aku'an. Yang ketiga adalah salib dan keselamatan. Apa maknanya? Yesus berkata, “Kamu harus memikul salib-mu setiap hari, kalau kamu ingin menjadi murid-ku.” Yesus meneruskan dengan berkata bahwa itu berarti kita harus kehilangan nyawa kita karena di dalam proses kehilangan nyawa itulah, kita akan memerolehnya. Jika kita mencoba untuk mempertahankannya, itu justru berarti kita malah akan kehilangannya.
Kita akan menggunakan satu pertanyaan untuk memahami seluruh pokok persoalan ini. Kita tahu Kristus telah mati di kayu salib bagi dosa-dosa kita dan telah menggenapi karya penebusan-nya bagi kita semua. Pertanyaan yang timbul adalah jika Yesus telah mati dan penebusan-nya itu sempurna, mengapa saya perlu memikul salib? Mengapa kita perlu memikul salib? Dia sudah memikulnya, jadi apa perlunya saya dan Dia memikul salib? Untuk apa memikul salib bersama-sama? Bukankah sudah cukup dengan berkata, “Terimakasih, Yesus Kristus. Yah, engkau memang sungguh baik. Aku terharu atas kasih-Mu kepadaku. Engkau telah memikul salib-Mu. Aku cukup berterimakasih saja. Yesus telah mati bagi dosa-dosa kita. Haleluyah!”
Jadi persoalannya adalah jika Yesus telah memikul salib, untuk apalagi saya memikul salib? Apakah Yesus saat itu lupa bahwa Dia-lah yang harus memikul salib? Atau, mungkin Dia butuh bantuan dalam urusan memikul salib ini? Mengapa Yesus menyuruh kita untuk mengikuti teladan-Nya? Dia memikul salib di depan, dan Dia menyuruh kita untuk memikul salib juga sambil mengikuti-Nya dari belakang.
Bukankah kita akan bertanya, “Apakah salib-mu saja tidak cukup?” Tetapi kita tahu bahwa keselamatan, salib dan penebusan-Nya sudah genap. Tidak ada yang kurang di dalam penebusan-Nya; Alkitab memberitahu kita bahwa keselamatan-Nya sudah genap (Ibr 1:3,4, 9:12-14).
Jadi, apa perlunya kita memikul salib? Mengapa ada persyaratan seperti ini? Mengapa Yesus tidak berkata, “Baiklah, Aku telah memikul salib; Aku telah melakukan semuanya. Jadi mulai sekarang, kalian hanya perlu bersukaria. Aku telah mengambil alih semua penderitaan; tak ada lagi hal yang tersisa untuk kalian kerjakan. Kalian cukup pergi ke gereja saja, bertepuk tangan, menyanyi haleluyah, menari… …” Lalu kita semua menari-nari; kita bersenang-senang, karena Yesus telah memikul salib, dan itulah karya keselamatan. Inilah Injil yang kita dengar. Bukankah hal ini yang dikatakan banyak para pengkhotbah dan para penginjil kepada kita?
Terdapat dua salib. Satu adalah salib Kristus, dan yang satu lagi adalah salib saya. Atau yang lebih tepat, terdapat banyak salib, satu adalah salib Kristus, dan terdapat juga salib-salib yang lain, yang harus dipikul oleh setiap dari kita. Dan kita bukan saja harus memikulnya tetapi harus memikulnya setiap hari, itulah yang tertulis di ayat-ayat ini. Setiap hari kita bangun tidur, dan kita harus memanggul benda berat ini di pundak kita, dan kita melangkah menuju Kalvari. Menuju Kalvari? Tetapi Yesus sudah sampai di sana. Dia sudah mengerjakan semuanya. Untuk apalagi kita harus ke Kalvari? Yah, saat Anda mengikut Yesus, tentunya kita akan pergi ke tempat di mana Dia pergi. Jika Dia menuju Kalvari, ke mana lagi kita mau pergi kalau bukan ke Kalvari juga? Jika Yesus pergi ke Kalvari, apakah kita boleh pergi bertamasya ke tempat lain? Lalu bagaimana cara kita memahami hal ini?
Makna dari “salib kita”
Apa makna penting dari salib kita? Apakah karena Yesus Kristus memandang bahwa akan lebih baik jika kita menanggung sedikit penderitaan? Atau mungkin Dia khawatir kalau-kalau kita memang akan menjalani hidup kita dengan bertamasya terus menerus, jadi Yesus berkata, “Tidak, tidak, tidak. Aku akan membuatnya jadi sedikit lebih berat buat kalian. Jika kalian mengira akan menikmati hidup yang menyenangkan, Aku akan membebankan salib buat kalian. Ah, itu akan membuat kalian tetap merendah, mencegah kegemukan, mempertahankan bentuk tubuh kalian. Jika tidak, kalian mungkin akan menjadi gendut dan lemah. Setiap hari kalian harus menjalani latihan rohani ini, yaitu pikul salib ini setiap saat.” Itukah alasan Yesus menyuruh kita memikul salib? Karena kita butuh olahraga rohani? Mungkinkah urusan memikul salib ini adalah sebagai suatu latihan rohani? Untuk apa kita memerlukan salib?
Banyak gereja tidak memiliki kuasa karena tidak memahami apa maknanya salib kita. Kita berpikir seperti ini: Kristus telah mati bagi saya, jadi tidak ada lagi hal yang perlu saya lakukan selain dari menyanyi haleluyah. Dan kalau itu masih belum cukup, saya bisa coba mendapatkan pengalaman rohani apakah karunia berbahasa roh atau karunia-karunia yang lainnya. Saya menyinggung hal ini karena terdapat banyak orang Kristen yang menginginkan karunia rohani atas alasan yang sangat egois. Mereka menghendaki suatu pengalaman dan tujuan di baliknya hanyalah supaya mereka dapat bermegah dan berkata, “Aku adalah orang Kristen superior. Sudahkah kamu berbahasa roh? Belum, eh? Ah ha, aku sudah. Kalian tahu, kalian orang-orang yang malang yang hanya masuk jajaran orang Kristen kelas rendahan. Aku termasuk yang kelas tinggi. Aku berbahasa roh. Oh, kamu hanya pernah sekali berbahasa lidah? Ah, kamu sungguh tidak beruntung. Aku berbahasa roh setiap hari.”
Masalahnya adalah, apakah yang mau kita buktikan? Apakah kita sedang berusaha membuktikan bahwa kita adalah orang Kristen kelas atas? Apa motivasi kita? Terdapat juga orang yang mengejar karunia supaya mereka bisa berkata, “Ah, perasaannya sangat menyenangkan sekali.” Nah, jangan salah paham, saya tidak menentang bahasa lidah karena saya pun berbahasa lidah. Jika dipergunakan secara benar, digunakan untuk memperdalam persekutuan kita dengan Tuhan. Memang itulah salah satu manfaatnya jika digunakan dengan benar.
Tetapi kalau kita mengejar bahasa roh sekadar untuk kepuasan egois, hal ini sangat percuma. Itu bukanlah tujuan dari bahasa lidah. Jika masih ada orang yang mengejar karunia bahasa roh untuk tujuan itu maka ia sudah berada di jalan yang salah. Salib diadakan untuk menghancurkan ke'aku'an yang seperti ini. Dan jika ada orang Kristen yang telah bertahun-tahun menjadi Kristen dan masih saja memperlihatkan keegoisan semacam ini berarti dia tidak tahu apa itu keKristenan yang sejati.
Jadi, kita kembali pada pertanyaan yang sama: Mengapa Yesus Kristus menyuruh kita memikul salib? Untuk dapat memahami pertanyaan ini, kita harus memahami makna salib. Salib berkaitan dengan pengorbanan. Kata pengorbanan ini merupakan kata yang jarang dipahami oleh orang Kristen.
"Betapa lebihnya darah Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah yang hidup" Ibr 9:14
"Sebab jika demikian Ia harus berulang-ulang menderita sejak dunia ini dijadikan. Tetapi sekarang Ia hanya satu kali saja menyatakan diri-Nya, pada zaman akhir untuk menghapuskan dosa oleh korban-Nya" Ibr 9:26
Ayat yang pertama berbicara tentang darah, sedangkan yang kedua berbicara tentang pengorbanan-Nya di kayu salib. Salib berarti pengorbanan. Di 1 Kor 15:31, Paulus menerapkan pemahaman pengorbanan ini pada dirinya.
"Saudara-saudara, tiap-tiap hari aku berhadapan dengan maut [I die every day]." 1 Kor 15:31
Pikullah salibmu setiap hari! Paulus dapat berkata, “Aku mati setiap hari (I die every day).” Dengan kalimat itu Paulus sedang menyatakan, “Aku mempertaruhkan nyawaku setiap hari. Aku mati secara rohani. Setiap hari aku berhadapan dengan maut.” Paulus melanjutkan dengan berkata bahwa dia berjuang melawan binatang buas di Efesus dan sebagainya. Nyawanya selalu di bawah ancaman, dia selalu berada dalam keadaan bahaya karena dia masuk dalam pelayanan yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Jadi, salib Yesus Kristus adalah salib pengorbanan. Salib apakah yang kita pikul? Salib pengorbanan juga. Roma 8:36 berbunyi serupa. Rasul paulus berkata: Seperti ada tertulis (dia mengutip dari Mzm 44:22): “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan.” Rom 8:36
Domba-domba sembelihan adalah domba-domba yang dipersiapkan untuk dikorbankan di Bait Allah untuk penebusan dosa. Dia menyatakan hal yang kurang lebih sama di 2 Kor 4:11,12:
"Sebab kami, yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini"
Perhatikan isi ayat 12:
"Maka demikianlah maut giat di dalam diri kami dan hidup giat di dalam kamu"
Perhatikan dengan baik kalimat-kalimat tersebut. Melalui kematian kami, kehidupan datang kepada kita. Kami mati supaya kita dapat hidup. Hal ini mirip dengan apa yang dikerjakan oleh Yesus Kristus. Maut giat di dalam dia supaya hidup giat di dalam kita. Namun, paulus tidak mengatakan hal tersebut dengan mengaitkannya dengan Yesus Kristus melainkan terhadap dirinya dan rekan-rekan sekerjanya – yakni para rasul. Jadi “maut giat di dalam diri kami”, bukan sekadar saya, tetapi “di dalam diri kami, dan hidup giat di dalam kamu.” Berarti setiap saat kita berhadapan dengan maut.
Dapatkah kita memahami bahasa semacam itu? Atau apakah kalimat ini terdengar asing bagi kita? Karena jika kita tidak memahami apa arti menjadi persembahan yang hidup yang Paulus perintahkan kepada setiap orang Kristen (Rom 12:1-2), maka kita tidak akan dapat memahami kalimat tersebut.
Renungkanlah, apa arti kurban itu? Kurban tidak sekedar berarti menyerahkan sesuatu, atau menyerahkan makanan, atau mempersembahkan makanan.
Pengorbanan adalah perkara menyerahkan nyawa untuk orang lain. Apa yang kita serahkan untuk diri kita sendiri menurut Alkitab bukanlah pengorbanan. Menurut Alkitab, pengorbanan selalu ditujukan untuk orang lain. Lihat contoh domba-domba sembelihan, seperti yang dikutip oleh Paulus di sini, “Kami telah dianggap sebagai domba.” Apakah paulus mati bagi dirinya sendiri? Tidak. Paulus hanya berkata, “Maut giat di dalam diri kami supaya hidup giat di dalam kamu. Kami mati untuk kamu.” Itulah artinya. Pikirkanlah tentang domba-domba yang dibawa ke Bait Allah untuk dikorbankan. Apakah menurut kita para domba itu disembelih bagi diri mereka sendiri, atau bagi dosa mereka sendiri, atau demi kebutuhan mereka sendiri? Tentu saja tidak! Setiap domba yang disembelih di Bait Allah menyerahkan nyawanya bagi orang lain. Itulah poin yang harus kita pahami. Suatu penyerahan tidak dapat disebut pengorbanan jika tidak ditujukan untuk orang lain, apakah hal itu dipersembahkan dalam keadaan hidup atau mati.
Memang ada kurban yang hidup, karena kita tentu tahu tentang kambing kurban untuk azazel (scapegoat) yang dilepaskan ke padang gurun. Ia akan dilepas ke padang gurun, mungkin dia akan mati di sana; yang jelas ia tidak disembelih. Entah hidup atau mati, kata paulus, kita selalu jalani hidup ini sebagai korban persembahan. Kita tidak sekadar mati sebagai kurban persembahan, tetapi kita juga menjalani hidup sebagai kurban persembahan.
Jadi Kristus juga tidak mati untuk diri-Nya sendiri. Ketika Yesus berkata bahwa Dia memikul salib-Nya, Dia tidak memikul salib itu bagi diri-Nya sendiri. Dia memikul salib itu bagi kita. Lantas ketika kita memikul salib kita, apakah sebenarnya yang sedang kita lakukan? Kita seringkali dengan bodohnya membayangkan bahwa salib itu kita pikul bagi diri kita sendiri. Jika kita memikul salib itu bagi diri kita sendiri, maka itu berarti salib Kristus tidak cukup bagi kita dan kematian-Nya tidak cukup bagi kita; kita harus mati bagi diri kita sendiri juga? Tidak, tidak, tidak! Kita telah gagal memahami aspek fundamental dari ajaran Yesus.
Ketika Yesus menyuruh kita untuk memikul salib kita setiap hari, hal itu bukanlah bagi kepentingan kita sendiri. Dia memanggil kita untuk bergabung dengan-Nya di dalam pelayanan keselamatan. Apa artinya itu? Artinya adalah: Yesus mati bagi kita, supaya setelah menerima hidup itu kita bisa menyalurkannya kepada orang lain, entah lewat kehidupan atau lewat kematian. Apakah kita mengerti hal yang dimaksudkan oleh Yesus? Jika kita ingin menjadi murid-Nya, hal tersebut harus menjadi karakter kita. Jika tidak, kita tidak akan pernah menjadi murid-Nya.
Itulah yang saya maksudkan sebagai hikmat Allah di dalam poin yang kedua. Bahwa di dalam hasrat untuk memperoleh keselamatan – melalui hasrat yang egois itu – ke'aku'an kita dihancurkan. Bagaimana caranya? Dengan mempersyaratkan bahwa jika kita ingin diselamatkan, maka kita harus menyalurkan keselamatan itu kepada orang lain. Jika kita tidak menyalurkannya kepada orang lain, maka kita sendiri tidak akan diselamatkan juga. Tak ada orang Kristen yang duduk santai di gereja atau di rumahnya, atau di manapun ia berada, yang akan diselamatkan. Dia tidak akan selamat jika dia berpikir bahwa dia diselamatkan hanya dengan menyelamatkan dirinya sendiri.
Itu sebabnya kita dipanggil untuk menjadi terang dunia. Menyalurkan terang dan hidup Allah kepada orang lain. Terang adalah gambaran dari kehidupan di dalam Alkitab. Saya harap kita semua bisa memahami poin ini dengan sangat jelas. Jika kita kira bahwa kita akan diselamatkan dan pergi ke surga hanya dengan percaya kepada Yesus, berarti kita masih belum mengerti ajaran Yesus. Memang benar, keselamatan itu melalui iman. Memang benar bahwa kita menerima keselamatan itu. Memang benar bahwa keselamatan sudah genap bagi kamu dan saya; keselamatan itu bukanlah hasil perjuangan kita. Akan tetapi kita harus menjadi saluran keselamatan itu. Dan jika kita tidak menjadi saluran keselamatan itu, maka kita tidak akan memilikinya.
Di dalam proses menjadi saluran keselamatan itu, kita memberikan diri kita kepada orang lain, sama seperti Yesus telah memberikan diri-Nya kepada kita. Keselamatan bukanlah barang yang bisa kita beli di toko dan dibagikan kepada orang lain. Keselamatan adalah sesuatu yang kita salurkan melalui hidup kita kepada orang lain. Jika kita pikir bahwa keselamatan itu hanya sekadar perkara membuat traktat dan pergi ke jalan-jalan dan berkata, “Hei, sudahkah kamu percaya pada Yesus? Ini ada 4 kaidah rohani. Duduklah supaya aku bisa jelaskan kepadamu. Dengarkan baik-baik karena hidupmu bergantung padanya.” Selanjutnya kita menguliahi dia, kita menjejalkan Injil kepadanya. Dan dia menolaknya dan kita berkata, “Pergilah, kamu tidak layak untuk diselamatkan. Kamu tidak ditakdirkan untuk diselamatkan.” Atau mungkin kita berkata, “Aku bersedih akan keadaanmu. Mungkin pada suatu hari nanti kamu akan tersadar.” Sikap manapun yang kita tunjukkan, itu tetap memperlihatkan bahwa kita belum mengerti bahwa keselamatan itu bukan sekadar perkara membagikan Alkitab. Keselamatan berarti memberikan diri kita. Jika kita tidak memberikan diri kita, berarti kita belum memberi apapun yang layak diberikan. kita harus mencurahkan diri kita bagi orang lain.
kita.
Yesus tidak memberi kita Perjanjian Lama dan berkata, “Bacalah itu. Maka kamu akan selamat.” Kalau begitu, maka dia tidak perlu naik ke kayu salib. Dia menyerahkan nyawa-Nya bagi keselamatan kita. Di sini Yesus Kristus berkata, kamu juga harus melakukan hal yang sama. Kita harus memikul salib dan memberikan diri kita – di kayu salib – bagi orang lain. Hanya dengan kehilangan nyawa kita, bukan dengan kehilangan Alkitab kita. Bukan dengan kehilangan sejumlah uang, tetapi kehilangan nyawa kita.
Terdapat perbedaan arah pemikiran. Kadang-kadang kita bersedia untuk memberikan Alkitab, kita bahkan rela mencetaknya dengan uang kita sendiri. Itu mungkin akan membuat kita kehilangan beberapa puluh ribu, mungkin beberapa ratus ribu, tidak masalah. Namun tidak demikian halnya dengan menyerahkan diri kita, mengorbankan waktu kita, mengorbankan seluruh keberadaan kita, memberi perhatian, memberi kasih kita. Kita bisa saja membagikan Alkitab tanpa memberikan kasih yang nyata. Kita bisa saja memperlakukan mereka sebagai obyek yang perlu diselamatkan, untuk kita daftarkan ke dalam catatan prestasi kita, “Aku telah menyelamatkan 15 orang tahun ini. Apa kamu tahu, aku telah mendapatkan 15 domba.” Tidak ada kasih di dalam urusan tersebut. Kasih berarti memberikan diri kita sepenuhnya kepada orang lain.
Salib dalam Pemuridan – Menjadikan kita Para penyelamat
Camkanlah hal ini dengan baik. Dapat dikatakan: Kita diselamatkan untuk menjadi para penyelamat. “Oh,” kata kamu, “Aku, seorang penyelamat?? Hei bukankah ini penyelewengan makna kata?? Bukankah kata “penyelamat” itu hanya untuk Yesus saja? Bukan aku.” Di dalam Alkitab, kata “saviour(penolong, penyelamat, juruselamat)” diterapkan pada orang-orang biasa seperti kita. Satu contohnya adalah di 2 Raja-raja 13:5. Allah ingin memanggil umat-Nya untuk menjadi para penyelamat. Ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh:
"TUHAN memberikan kepada orang Israel seorang penolong (saviour), sehingga mereka lepas dari tangan Aram dan dapat duduk di kemah-kemah mereka seperti yang sudah-sudah"
Penggunaan kata “saviour (penolong)” di sini dipakai untuk seorang pemimpin israel yang membebaskan mereka dari tangan Aram. Di dalam terjemahan bahasa Inggris kata “saviour” atau “penyelamat” digunakan di dalam ayat ini. Allah memberikan mereka seorang saviour (penyelamat)! Hal yang sama dapat dilihat di dalam ayat 2 Raja-raja 14:27, dan juga di dalam berbagai ayat yang lain di dalam Alkitab.
Tuhan mencari orang-orang yang bisa Dia jadikan penyelamat bagi orang lain. Dalam hal ini, 2 Raja-raja 14:27:
"Tetapi TUHAN tidak mengatakan bahwa Ia akan menghapuskan nama Israel dari kolong langit; jadi Ia menolong (menyelamatkan) mereka dengan perantaraan Yerobeam bin Yoas"
Dia menyelamatkan mereka, benar, tetapi melalui Yerobeam! Yerobeam bukanlah orang dengan kepribadian yang mulia. Dia mengawali dengan baik namun mengakhiri dengan buruk, mirip kebanyakan orang Kristen. Namun Allah pada waktu itu memakainya untuk menyelamatkan israel.
Mereka disuruh untuk menjadi para penyelamat. Allah memanggil kita untuk menjalankan panggilan surgawi yang sama. Paulus menyebut hal ini sebagai panggilan surgawi. Mengapa disebut panggilan surgawi? Artinya bukanlah sekadar memanggil kita ke surga. Panggilan ini disebut sebagai panggilan surgawi karena Dia memanggil kita untuk terlibat di dalam pelayanan yang sama dengan Yesus, yaitu penyelamatan umat manusia. Kita dipanggil untuk memikul salib untuk menjadi juruselamat sama seperti Dia. Hanya dengan cara itulah kita bisa menjadi murid Kristus.
Tetap tekun didalam Firman dan salam Revival!!!
Tuhan Yesus memberkati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar