Jumat, 22 Juli 2016

Salib Kita dengan Salib Kristus (pikul salib part.1)

Shalom sahabatku, hari ini kita membahas Matius 10:34-36, dan melihat apa yang Yesus maksudkan ketika dia berkata, “Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.” Kita telah melihat bahwa pedang yang dimaksud itu adalah salib, bahwa  Yesus datang membawa salib ke dunia.

Apa hubungan salib kita dengan salib Kristus?

Di Matius 10:37 berkata, “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku” ini berkaitan dengan hal kelayakan. Di pesan ini kita akan membahas ayat 38-39, “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku. Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.”

Kita tentu tau mengenai keajaiban dari salib Kristus. Kita melihat bahwa, hanya melalui salib Kristus dan juga darah yang mengalir di salib itu, maka kita bisa memperoleh keselamatan kita. Akan tetapi bagaimana karya keselamatan ini bisa menjadi efektif di dalam hidup kita? Salib Kristus sungguh ajaib dan darahnya dapat menghapus dosa. Akan tetapi bagaimana salib itu bisa menyelamatkan kita?

Jika salib Kristus menyelamatkan kita, lalu mengapa Yesus berkata, “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:27)? Bagaimana cara untuk memadukan kedua hal tersebut? Salib Kristuskah yang menyelamatkan kita, atau kita juga harus memikul salib kita? Dia tidak berkata, “Kamu boleh memikul atau tidak memikul salibmu, sesuka hatimulah, asal kamu percaya pada-ku, maka tak ada masalah.”Yesus berulangkali berkata, “Jika, dan hanya jika, kamu memikul salibmu, baru kamu bisa menjadi milikku sebagai murid-ku.” Kata Yesus, “Barangsiapa” (ini berarti ayat ini ditujukan kepada semua orang), “tidak memikul salibnya, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Kita sebelumnya juga sudah melihat bahwa kata “murid” tidak mengacu hanya pada orang-orang yang terpilih di tengah Gereja. (Kata murid menunjuk kepada semua orang Kristen di dalam Alkitab. Sebelum mereka disebut sebagai “orang Kristen”, mereka disebut sebagai “murid-murid.” Dan baru belakangan di antiokhia para murid itu disebut sebagai “orang Kristen” oleh orang dunia.) Nah, jika demikian halnya, berarti kita terjepit di antara salib Kristus dan salib yang harus kita pikul. Dimanakah harusnya kita berdiri?

Di jaman ini, pada umumnya kita diberitahu bahwa salib Kristus, dan hanya salib Kristus saja, yang menyelamatkan kita. Jika memang begitu, maka kita tidak memerlukan lagi ajaran Yesus yang menyuruh kita untuk memikul salib. Tidak heran jika banyak penginjil jaman sekarang yang tidak tahu harus berbuat apa dengan ayat-ayat ini. Kita diberitahu bahwa kita diselamatkan hanya oleh kematian Kristus saja. Hanya salib Kristus saja yang penting. Lantas apa gunanya berbicara tentang hal memikul salib? Apa perlunya berbicara tentang hal memikul salib jika yang menyelamatkan kita adalah salib-Nya? Jika salib Kristus saja yang menyelamatkan kita, mengapa saya harus memikul kita?

Jika saya menanyakan hal ini kepada sahabat sekalian, bagaimana jawaban sahabat? Jika kita disuruh untuk memikul salib kita dan mengikut Yesus, apakah itu berarti bahwa usaha kita memikul salib kita itu yang menyelamatkan kita? Lalu apakah kita ini diselamatkan oleh kasih karunia atau oleh usaha kita dalam memikul salib kita? Oleh yang manakah kita diselamatkan?

Sahabat perhatikan, kita tidak diberikan pilihan untuk tidak memikul salib, karena kita baru bisa menjadi milik Yesus jika kita memikul salib. Dan kalau kita baru bisa menjadi milik Yesus dengan memikul salib, berarti kesimpulannya adalah bahwa kita baru diselamatkan kalau memikul salib. Jadi bagaimana menjawab persoalan ini? Apakah kita diselamatkan oleh salib Kristus atau oleh karena memikul salib kita? Atau apakah kita diselamatkan oleh keduanya, yaitu oleh kasih karunia dan oleh karena kita memikul salib kita? Atau apakah kasih karunia itu tidak utuh sebelum kita menambahkan usaha kita ke dalamnya? Tetapi bagaimana kasih karunia itu pantas disebut sebagai kasih karunia jika kita menambahkan usaha kita sendiri ke dalamnya?

Pertanyaan ini sangat sulit, bukankah begitu? Bagaimana cara kita menjawabnya? Tidak pernahkah pertanyaan ini terlintas di benak kita saat membaca Alkitab? Dan jika memang pernah terlintas, lalu apa jawaban kita? Atau apakah kita malah menghindari pertanyaan ini?

Di jaman ini, kita diberitahu bahwa kasih karunia adalah pemberian cuma-cuma dari Allah di mana Kita tidak perlu mengupayakan apa-apa untuk itu. Akan tetapi jika kita tidak melakukan apa-apa dan tidak memberi apa-apa, bagaimana mungkin kita diminta untuk memikul salib juga? Karena memikul salib berarti memberi segala-galanya. Karena memikul salib berarti memberi segenap kehidupan kita untuk mati di kayu salib.

Pada jaman itu, orang tidak menjadikan salib sebagai perhiasan mereka. Mereka juga tidak memikul salib untuk berolah raga. Jadi apa yang kita kerjakan saat sedang memikul salib? Kita sedang memikul alat yang akan mengeksekusi kita. Lalu apakah kita ini diselamatkan oleh kematian Yesus atau kematian kita? Jika kita harus memikul salib kita, maka itu berarti kematian kita. Jadi, apakah kita diselamatkan oleh kematian Kristus dan juga kematian kita?

Betapa dangkalnya pemikiran orang Kristen di jaman sekarang ini! Mengapa pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang keselamatan itu tidak diperhatikan? Demi keselamatan kekal kita, bukankah kita berhak untuk mengetahui apa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu? Bukankah seharusnya sudah menjadi tanggung jawab para pendeta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut? Bukankah seharusnya mereka memberitahu umat tentang apa maksud Yesus membuat persyaratan ini bagi keselamatan kita? Lalu apakah jawabannya? Bagaimana kita akan memahami persoalan ini? Saya hampir saja tergoda untuk berhenti pada pertanyaan ini dan membiarkan sahabat sekalian bergumul dengan pertanyaan ini, agar setelah bersusah payah menggumuli pertanyaan ini, sahabat nanti akan chat/email ke sini dan berkata, “Nah, apakah jawabannya?”

Dan sekarang ini, saya akan meninggalkan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada sahabat sekalian, sementara saya meneruskan dengan pembahasan selanjutnya.

Tiga kata yang berkaitan dengan hal memikul salib

Pertama-tama, saya ingin meluruskan makna dari ajaran Yesus ketika dia berkata, “Kalau kamu tidak memikul salibmu, kamu tidak dapat menjadi murid-Ku.” Kita melihat bahwa Yesus memakai tiga kata yang berbeda sehubungan dengan hal memikul salib ini.

1. Mengambil, mendapatkan, menerima salib (to take hold of, to receive, to accept)

Pertama, di Matius 10:38, kata Yunani yang digunakan adalah kata yang umumnya berarti ‘mengambil’ (lambano: mengambil salib). Kata ini menunjuk pada memegang salib atau mengambil salib, belum memikulnya. Di dalam bahasa Inggris, kata ini diterjemahkan secara tepat dengan kata take (mengambil). Makna kata itu memang sekadar ‘mengambil’. Jika saya memberi kamu sesuatu, kamu cuma perlu mengambilnya. Ini adalah kata bahasa Yunani yang lazim dipakai untuk makna ‘mengambil’. Jadi kata pertama yang Yesus gunakan adalah, “Kita perlu mengambil salib.” Dan cukup benar pula jika kata ini diartikan mendapatkan, atau menerimanya. Saat kita mengambil salib, itu adalah langkah pertama yang kita ambil.

2. Menaikkan, mengangkat salib

Beberapa pasal kemudian, di Matius 16:24, Yesus menggunakan kata yang lain lagi. Kata yang dipakai di sini adalah ‘mengangkat’ salib. Kata ini di dalam bahasa Yunani, airo tidak sekadar bermakna mengambil sebagaimana kata lambano di Matius 10:38, tetapi kata ini berarti mengangkat, menaikkan salib ke pundak. Perhatikan bahwa sebelum Kita mengangkatnya, kita harus mengambilnya dulu. Jadi kita melihat adanya perkembangan. Perkembangan ini adalah, setelah kita mengambil salib itu, kita mengangkatnya, yaitu, menaikkannya di pundak kita. Kata airo ini juga dipakai di dalam Matius 27:32. Di ayat ini Simon dari Kirene dipaksa oleh pasukan roma untuk membawa salib Yesus. Pasukan Roma menahan dan menyuruh Simon untuk mengangkat salib Yesus, karena Yesus sudah terlalu lemah untuk memikul salibnya setelah dipukuli dan menderita semalaman. Jadi kita melihat adanya perkembangan dari ‘mengambil’ menjadi ‘mengangkat’.

3. Memikul salib (to endure) 

Masih kata ketiga yang dipakai dalam hal memikul salib ini, yaitu di Lukas 14:27. Di sana, kata yang dipakai adalah ‘memikul’ salib (bastazo). Di sana, Yesus berkata, “Barangsiapa tidak memikul salibnya…” Ini adalah langkah yang lebih maju lagi. Pertama kita sekadar mengambilnya, dan bukan cuma itu saja. Akan tetapi kita harus mengambil langkah lanjutannya, yaitu menaikkan salib itu ke pundak kita. Dan sekarang Lukas 14:27 berbicara tentang menanggung penderitaan salib. Kata yunani yang berbeda digunakan di sini. Dan kata ini mengandung makna penderitaan.

Di Matius 20:12, kata ‘bastazo’ yang sama dipakai dalam “kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung (ini sama dengan memikul beban, menderita) panas terik matahari”. Juga di Matius 8:17 kata ini dipakai untuk mengungkapkan fakta bahwa Kristus menanggung, yaitu, tidak sekadar membebankan penyakit kita ke pundak-Nya, namun Dia menanggung penyakit kita baik secara rohani maupun jasmani.

Kini kita bisa melihat adanya perkembangan pemikiran. Terdapat perkembangan di dalam ajaran Yesus tentang hal memikul salib. Lalu bagaimana kita akan memahaminya? Di sini, Yesus berkata, “Untuk menjadi muridku, kita harus mengambil tiga langkah.” Langkah pertama adalah mengambil salib. Dan yang kedua adalah menaikkannya ke pundakmu. Dan yang ketiga adalah pergi ke Kalvari sebagaimana yang telah dilakukan oleh Yesus. Sungguh amat indahnya karena kata yang ketiga itu juga dipakai untuk menyatakan apa yang dilakukan oleh Yesus di Yohanes 19:17Sambil memikul (ini kata yang ketiga) salib-Nya Ia pergi ke luar ke tempat yang bernama tempat tengkorak, dalam bahasa ibrani: Golgota, yaitu ke Kalvari. Jadi di sini kita bisa melihat apa yang menjadi syarat untuk menjadi milik Yesus. Bagaimana cara kita untuk dapat memahaminya?

Pada tahapan yang manakah kita menjadi seorang murid?

Lalu pada tahapan manakah kita menjadi seorang murid? Di tahap yang pertama atau yang ketiga? Apakah kita menjadi murid Kristus hanya setelah kita menderita bersama dengan dia? Tidak.

Pada tahap mengambil salib, syarat pemuridan sudah terpenuhi. Kita, paling tidak harus memiliki kesediaan untuk mengambil, untuk menerima salib dengan niat untuk pergi menyusuri jalan menuju Kalvari. Untuk saat ini, kita telah mengambil salib itu; kita telah menerima salib itu. Kita sedang dalam perjalanan menuju kematian. Kita sedang dalam perjalanan menuju kehilangan hidup kita.

Kedua, mengangkat salib itu menunjukkan bahwa kita bersedia untuk menjadikan salib itu sebagai milik kita. Kita berada di jalan keselamatan di saat kita bersedia untuk menjadikan salib sebagai milik kita, untuk memeluk alat yang akan mengeksekusi Kita. Di titik ini, kita mungkin berkata, “Wah, berat sekali!” Dan kita bisa melihat mengapa tidak banyak penginjil yang mau menyampaikan hal ini.

Bukankah lebih mudah untuk berkata, “Kita tidak perlu melakukan apapun. Semuanya gratis!”? Oh, ini mudah sekali! Seandainya saja saya diberi kesempatan untuk menjadi penjual obralan. Cuci gudang: “Cukup dengan tiga ribu rupiah sahabat bisa mendapatkan semuanya!”

Tapi saya ingin bertanya, apakah dengan cara itu berarti saya setia pada ajaran Tuhan saya? Apakah saya bisa setia pada Firman Tuhan? Saya lebih suka dikutuk oleh dunia, saya tak peduli dunia mau berkata apa pun tentang saya akan tetapi saya harus setia kepada kepada Tuhan. Jadi, kita melihat di dalam poin yang kedua bahwa kita harus bersedia untuk menjadikan salib itu sebagai milik kita jika kita ingin menjadi milik Yesus. Itu artinya bahwa kita harus bersedia kehilangan nyawa kita.

Apa arti kehilangan nyawa itu, akan kita lihat sebentar lagi.

Yang ketiga, menanggung penderitaan salib berarti menunjukkan bahwa kita bersedia mengalami salib di dalam hidup kita. Sungguh enak jika kita bisa diselamatkan cukup dengan percaya bahwa Yesus telah menanggung penderitaan; kita tidak perlu menderita apa-apa. Sekali selamat tetap selamat hanya cukup Dia yang menderita. Hebat sekali! Selama Yesus yang menderita, maka saya tak punya penderitaan untuk ditanggung. Pengabaran keselamatan semacam itu sungguh menyenangkan hati. Bukankah pengabaran semacam itu yang sering kita dengar? “Yesus telah menanggung semua penderitaan bagi dosa-dosa kita, jadi kita tidak perlu menderita apa-apa lagi. Oh, enak sekali!” Namun saya harap kamu masih ingat dengan pertanyaan-pertanyaan yang saya sampaikan kepada kamu di bagian awal tadi. Jika memang demikian halnya, lalu mengapa kita juga dituntut untuk menderita?

Bagaimana kalau kita anggap ayat-ayat ini tidak pernah ada di dalam Alkitab? Bagaimana kalau kita lupakan bahwa Yesus pernah mengajarkan hal ini, dan berulangkali mengajarkan hal ini, sehingga membuat kita merasa tidak enak? Tentunya akan terasa lebih nyaman. Sungguh tidak mengenakkan untuk mendengar pembahasan di mana Yesus kemudian berkata, “Jika kamu tidak bersedia mengalami salib dalam pengalaman keseharianmu, maka kamu tidak bisa menjadi murid-Ku.”

Salib tidak boleh sekadar menjadi sesuatu yang harus ditanggung oleh Yesus, tetapi salib juga harus menjadi milik kita sepenuhnya di dalam hati kita.

Lalu bagaimana tepatnya cara kita mengalami penderitaan salib? Jika kita menerima ejekan karena kita adalah orang Kristen, tidakkah kita sedang menderita bagi Kristus? Dia juga dihina. Jika keluarga kita menolak kita karena kita adalah orang Kristen, tidakkah kita sedang mengalami salib di dalam hidup kita? Kita telah mengambil satu langkah maju yang kecil untuk mengalami salib. Saat kita bersaksi pada orang lain demi Kristus dan mereka menolak kita, dan menghina kita, bukankah kita mulai mengalami apa yang Yesus derita? Akan tetapi salib itu berkelanjutan. Masih ada banyak sekali hal yang menanti kita di depan. Saat, demi Kristus, kita melepaskan pekerjaan kita, profesi kita, untuk pergi dan melayani Allah, dan orang-orang mengejek kita. Atau kita mengalami kerugian keuangan yang sangat besar, tidakkah kita sedang mengalami apa yang Yesus derita ketika dia membalikkan punggungnya dari dunia?

Yesus berpaling dari dunia

Jika sahabat perhatikan seperti apa pribadi Yesus itu, saya pikir tak akan menjadi perkara yang sulit bagi Yesus untuk menjadi Raja Israel atau sekalian menjadi Raja dunia. Yesus bisa memimpin kumpulan orang banyak. Kemana pun Yesus pergi, berduyun-duyun orang mengikuti Dia dalam jumlah ribuan. Jika Yesus ingin memimpin sebuah pemberontakan, tidak akan ada masalah. Dia akan segera memiliki pasukan besar yang mendukungnya! Jika sahabat pelajari sungguh-sungguh sosok yang bernama Yesus ini, Dia bisa saja mengambil apa pun yang Dia kehendaki di dunia ini. Dengan satu kata saja, Dia bisa langsung menguasai Yerusalem. Dia bisa saja memimpin ribuan orang bergerak menuju Yerusalem sambil berseru, “Diberkatilah Dia yang datang di dalam nama Allah!” Dan Yesus cukup berkata, “Cabutlah pedangmu! Kita akan mengambil alih Yerusalem!” Maka orang-orang itu akan menyerbu dengan penuh semangat! Mereka menunggu Yesus mengeluarkan perintah itu!

Kecemerlangan otak Yesus sangatlah luar biasa. Kita menghabiskan sebagian besar hidup kita hanya untuk bisa memahami sedikit saja dari kedalaman pemikiranNya. Perhatikanlah kehebatan pikiranNya ketika Dia ditanyai oleh orang-orang Farisi, “Haruskah kita membayar pajak kepada kaisar atau tidak?” Dengan satu jawaban yang menusuk, Yesus memecahkan persoalan. Apakah jawaban yang akan kita berikan atas pertanyaan semacam itu? Kita mungkin hanya bisa bergumam sambil menggaruk-garuk kepala kebingungan. Saya tidak yakin apakah saya bisa menjawab jika dijebak dalam situasi seperti itu. Yesus cukup menatap mereka dan memberi satu jawaban, dan mereka terdiam. Mereka bahkan tidak tahu harus berkata apa setelah itu. Kecemerlangan otaknya sungguh mengagumkan!

Orang-orang berkata, “Belum pernah ada orang yang berbicara seperti Yesus ini!” Mereka terpesona pada kuasa yang muncul dari kata-kataNya. Ketika para pemimpin bangsa mengirimkan pasukan untuk menangkap Dia, apa yang terjadi pada para anggota pasukan ini? Mereka kembali dengan tangan kosong. Mereka dikirim untuk menangkap Yesus, tetapi apa yang justru mereka lakukan? Mereka malah ikut berdiri menonton Dia berkhotbah dan lupa pada tujuan kedatangan mereka. Jadi, kita bisa melihat bagaimana kuasa dan kecemerlanganYesus.

Akan tetapi Yesus tidak menginginkan dunia. Yesus bisa saja menaklukkan dunia di bawah kakiNya karena pada masa itu tidak ada seorangpun yang sanggup menyaingiNya. Jika sahabat teliti sejarah di zaman itu, ada begitu banyak orang-orang kecil yang menjadi raja-raja dan pemimpin-pemimpin dari berbagai bangsa. Orang seperti Yesus jelas akan segera mendominasi seluruh panggung jika Dia menghendakiNya, akan tetapi Yesus tidak menghendaki dunia.

Pada saat pencobaan, si jelek sudah menawarkan dunia kepadaNya. Yesus tidak menginginkan itu. Lalu apa yang Dia inginkan? Dia menginginkan salib! Sahabat bisa saja berkata, “Hal ini tidak masuk akal!” Orang yang bisa saja memiliki seluruh dunia ternyata hanya meminta satu hal: untuk mendapatkan salib. Dia yang bisa saja menguasai seluruh kehidupan di dunia ini tetapi malah yang Dia kehendaki adalah untuk bisa kehilangan nyawaNya.

Jangan lupa pada wibawa Sosok ini. Ketika Yesus berdiri di hadapan pilatus, gubernur pemerintah roma, orang paling berkuasa di Israel pada masa itu, tetapi Yesus malah membuat pilatus terlihat seperti seorang anak kecil. Jika kita teliti suasana saat Yesus diadili, kita akan bingung sebenarnya siapa yang sedang mengadili siapa. Tampaknya, seolah-olah, justru pilatus yang sedang mengajukan permohonan bagi pembebasan nyawa Yesus. Dan ketika Yesus berdiri di hadapan raja herodes, Dia mengabaikan herodes seolah-olah raja ini bukan orang penting, karena di dalam sekali pandang saja, Yesus dapat melihat ke dalam hati herodes dan tahu bahwa Dia tidak perlu membuang-buang waktu dengan orang macam ini. Satu-satunya jalan untuk menolong orang itu adalah dengan membawanya ke tingkatan yang layak baginya – dengan memecahkan gelembung kecongkakannya.

Di sini kita bisa melihat, jika kita mengamati Yesus, kita akan terpesona pada keagungan-Nya. Dia yang bisa saja menguasai dunia, malah berpaling dari dunia.

Jadi, jika kita berpaling dari dunia, sebenarnya apakah yang sedang kita lakukan? Kita sedang belajar untuk memahami apa arti memikul salib. Kita sedang belajar untuk mengalami apa yang pernah Yesus alami. Yesus, sesungguhnya, bukanlah orang yang bodoh karena berpaling dari dunia. Dia mencari perkara yang kekal. Kita yang telah berpaling dari dunia juga sedang mencari perkara yang kekal. Demikianlah, sekarang kita mengerti makna dari mengalami salib lewat cara ini.

Banyak yang telah berpaling dari dunia

Seperti yang Paulus katakan, “Aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sebagai sampah.” Jika sahabat pelajari surat yang ditulis orang ini, yaitu Paulus – orang yang juga bisa mendapatkan dunia, dan betapa dia sebenarnya telah mendapatkannya – Sahabat akan segera menyadari bahwa kita sedang berhadapan dengan orang yang punya pemikiran yang hebat. Di sepanjang sejarah, orang-orang menggambarkan Paulus sebagai orang yang jenius. Jika kita pernah mencoba untuk mempelajari tulisan-tulisan Paulus, kita akan tahu betapa sulitnya menggapai ketangkasan dan kecemerlangan pikirannya. Dia adalah orang yang juga bisa mendapatkan dunia tetapi memilih salib.

Saat saya mempelajari sejarah Gereja, saya melihat ada banyak orang yang memiliki kemampuan dan prestasi sangat dahsyat. Belum lagi jika kita teruskan sampai dengan abad ke-20, di abad ini kita melihat orang dengan prestasi seperti John Sung yang juga bisa saja mendapatkan dunia akan tetapi malah memilih salib.

Walau tidak penting, ada juga beberapa orang yang mengatakan hal yang sama kepada saya, “Kalau kamu terjun ke dunia, kamu pasti akan menjadi orang penting. Kalau kamu tetap di Gereja, kamu tidak menjadi apa-apa.” Bagi saya, dengan segala kerendahan yang ada pada saya, saya juga puas dengan memilih salib, memeluk salib, mengambilnya, menaikkannya ke atas pundak saya, dan belajar sedikit tentang apa arti penderitaan serta mengalami salib di dalam hidup saya. Namun, tentu saja ini bukan untuk bermegah.

Sahabat sekalian tidak perlu melihat Paulus atau John Sung, yang membuat orang-orang berkata, “Wah! Mereka sungguh hebat!” Kita sendiri, apakah yang sedang kita kerjakan? Kita sebenarnya sedang melakukan apa yang Yesus perintahkan kepada kita untuk dikerjakan jika kita berhasrat untuk memperoleh hidup yang kekal. Dan kita melakukan hal ini cukup dengan menyerahkan diri kita kepada Yesus.

Banyak orang Komunis yang kehilangan segalanya demi perjuangan mereka

Yah, kita harus mengakui bahwa kita semua lemah. Saya juga mengakui bahwa kadang kala, di saat-saat saya sedang merenungkan persoalan-persoalan, saya merasa putus asa. Ketika saya membaca kisah-kisah di masa perang, misalnya pada waktu para prajurit menyerbu kubu pertahanan musuh, kadang kala mereka sampai bertengkar mengenai siapa yang berhak mendapat kesempatan istimewa meletakkan bahan peledak di kubu musuh. Bagi mereka, adalah suatu kehormatan untuk mengorbankan diri. Saat saya membaca kisah-kisah tersebut, saya merasa malu dengan kehidupan orang Kristen. Jika ada pekerjaan yang harus dilaksanakan, dan kalau pekerjaan itu melibatkan penderitaan yang harus ditanggung, maka orang-orang Kristen selalu berusaha untuk menjadi yang paling terakhir berangkat. “Kamu dulu yang berangkat.”

Berapa banyak orang komunis yang bergabung ke partai dengan mengorbankan keluarga, pekerjaan dan harta mereka? Mereka korbankan segalanya demi partai mereka. Namun sekarang ini, ada juga orang Kristen yang memandang sebagai hal yang tidak masuk akal jika mereka harus mengorbankan pekerjaan mereka demi Kristus, apalagi jika sampai mengorbankan nyawa mereka. Orang-orang komunis ini sepertinya dengan enteng dapat melepaskan semua hal itu. Mereka seolah-olah memiliki semangat yang lebih dekat dengan Paulus, ketimbang orang-orang Kristen zaman ini. Mereka menanggung kehilangan segala-galanya dan memandang semua itu sebagai sampah.

Saya pikir orang-orang Kristen perlu membaca catatan kisah Long March, perjalanan sejauh 8,000 mil yang ditempuh oleh pasukan komunis. Dan itu bukanlah suatu perjalanan tamasya di mana kita bisa memanggul ransel di punggung kita, tetapi suatu perjalanan panjang melintasi pegunungan dan sungai-sungai, melintasi salju dan es, menghadapi udara panas dan dingin! Dari seluruh pasukan yang berangkat, hanya sedikit yang tiba di propinsi Yan An. Sebagian besar tewas di tengah jalan, entah karena pertempuran, kedinginan, penyakit atau pun kelaparan. Akan tetapi adakah terdengar suara keluhan? Bacalah buku tentang The Long March itu. Air mata sahabat akan menetes dan rasa malu akan memenuhi hati kita dan kita mulai berpikir, “Orang Kristen macam apakah aku ini?” Orang-orang itu meninggalkan istri-istri, anak-anak, orang-orang yang mereka kasihi, rumah, kekayaan, segala-galanya, untuk memperjuangkan idealisme mereka dan mereka sampai kehilangan nyawa di sana.

Adakah prajurit yang tidak perlu berkorban?

Dan di manakah orang-orang Kristen sekarang ini? Yang kita lihat di dalam Gereja sekarang ini, adalah orang-orang Kristen yang memburu tempat bagi mereka di Surga secara gratis! Mereka sangat terusik dengan orang-orang yang memberitahu mereka bahwa ada pengorbanan yang harus dilakukan untuk bisa masuk ke dalam kerajaan. Ketika Garibaldi memimpin pasukannya menuju pertempuran, ada seorang muda yang bertanya kepadanya, “Jika aku bergabung dengan pasukanmu, apakah yang akan kau tawarkan buatku?” Garibaldi menjawab, “Aku menawarkan keringat, darah dan air mata buatmu. Kamu mau ikut aku? Itulah yang akan kau dapatkan.” Jawaban yang berbeda dengan yang biasanya terdengar dari mulut para penginjil zaman sekarang. “Ikutlah Tuhan, maka kamu akan mendapatkan damai sejahtera dan sukacita.” Memang tidak salah kita akan memperoleh damai sejahtera dan sukacita, namun pertama-tama, yang ada adalah darah, keringat dan air mata. Hanya setelah melewati itu baru kita bisa memperoleh damai sejahtera. Tak heran jika Garibaldi memperoleh kemenangan dengan pasukan yang dipimpinnya. Saya tidak pernah melupakan peristiwa tersebut setiap kali saya mempelajari tentang ajaran Tuhan mengenai salib.

Dengan demikian, apakah makna dari pengajaran Yesus ini? Berdasarkan otoritas dari ajaran Tuhan, jika kita pikir bahwa perjalanan kita ke Surga itu tidak memerlukan pengorbanan apapun, maka dengarlah ucapan saya, sahabat tidak akan pernah sampai ke sana. Inilah hal yang Yesus sampaikan kepada kita melalui ayat-ayat ini. Punyakah kita telinga untuk mendengar? Sebagaimana yang sudah saya sampaikan sebelumnya, saya hanya akan memberitakan ajaran Tuhan dan jika tak seorang pun yang mau membaca blog ini, tak jadi masalah buat saya karena memang itulah firman Tuhan dan saya akan menyampaikan secara apa adanya. Tuhan membangkitkan prajurit bagi salib. Orang-orang semacam itulah yang Tuhan kirimkan untuk menjangkau dunia.


Kelayakan kita datang lewat penderitaan bersama Kristus

Demikianlah, kita melihat bahwa poin yang ketiga adalah mengalami salib Kristus (Hal yang sudah pernah kita bahas sebelumnya). Ketika Yesus berkata, “Jika kamu tidak memikul dan mengalami salibmu itu, kamu tidak dapat menjadi muridku. Berarti kamu tidak mengerti apa yang ku maksudkan.” Yesus ingin kita tahu apa yang sedang Dia bicarakan. Berapa banyak orang Kristen yang tahu apa yang Yesus maksudkan? Kita tidak menderita apa-apa! Kita tidak tahu apa makna salib! Jika suatu hari nanti kita berangkat ke negara dimana orang Kristen dianiaya, kita akan mendapati bahwa ternyata bukan kita yang memberitakan Injil ke sana, tetapi justru para saudara di sana yang menginjili kita. Jika kita mendengarkan mereka menguraikan isi Alkitab, mata kita akan mulai terbuka. Kita akan tertanya-tanya, “Bagaimana mungkin dia memiliki pemahaman seperti itu tentang Firman Allah? Dia tak pernah masuk sekolah teologia, tapi lihat cara dia menguraikan isi Alkitab!” Dibandingkan dengan mereka saya bukan apa-apa. Mereka dapat mengungkapkan isi Alkitab kepada kita sedemikian rupa sehingga mata kita akan terbelalak keheranan. Mereka sangat memahami ajaran Yesus karena mereka hidup di dalamnya. 

Tahukah sahabat mengapa mereka mengerti apa yang dibicarakan oleh Yesus? Karena mereka telah belajar di kampus pengalaman. Dan tahukah sahabat apa itu pengalaman? Pengalaman adalah penderitaan bersama dengan Kristus. Jika sahabat telah pernah mengalami sedikit penderitaan bersama Kristus, maka sahabat akan mulai memberitakan Injil.

Jika kita ingin memberitakan Injil, maka belajarlah di sekolah penderitaan bersama Kristus. Jika kita belum memanggul dan mengalami salib, maka kita tidak memiliki kelayakan untuk memberitakan Injil. Para saudara di negara yang menganiaya orang Kristen, mereka  mungkin tidak sepandai orang yang memiliki gelar Master di bidang teologi ini tapi mereka sudah banyak menderita. Mereka juga mungkin tidak sebaik orang yang memiliki gelar Master ini. Kepribadian mereka juga mungkin tidak seramah orang yang memiliki gelar Master ini. Mereka bisa saja memiliki kepribadian yang kasar akan tetapi mereka memiliki kasih yang murni. Jika kita berada dalam masalah, maka kita boleh yakin bahwa mereka tidak akan pernah mengecewakan kita. Namun ketika mereka berbicara dengan kita mungkin tutur katanya kurang halus atau bisa juga kurang sopan. Lagi pula, dia belum pernah belajar di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Saat dia menyatakan isi hatinya, mungkin dia menyatakannya secara keras dan kasar karena dia tidak tahu bagaimana mengungkapkan isi hati secara halus dan menyenangkan. Jadi, dari sudut pandang dunia, dia tidak lebih baik daripada orang dunia yang lain. Hanya ada satu hal yang membuatnya berbeda. Salib di dalam hidupnya itulah yang membuat perbedaan.

Itulah tepatnya hal yang dikatakan oleh Paulus, “Hal yang tadinya ku-pandang sebagai keuntungan, sekarang ku-pandang sebagai kerugian. Mereka telah menjadi penghambat buatku.” Dia tidak mau mengenakan jubah indah. Yang dia inginkan adalah salib di pundaknya, bukannya jubah mewah. Akan tetapi orang-orang Kristen berkata, “Ini terlalu ekstrim! Kamu bisa memiliki keduanya! Mengenakan jubah dan sekaligus memikul salib ke mana-mana.” Khususnya jika kita memakai salib yang berbentuk indah, dari bahan emas, yang bisa kita gantungkan di leher kita.

Pelatihan sejati yang kita jalani adalah di dalam keseharian kita, di mana kita belajar untuk memikul salib, di mana kita belajar untuk menanggung tekanan yang diberikan oleh dunia, di mana kita belajar untuk berpaling dari dunia, dan tidak mempedulikan apakah dunia akan menentang kita, di mana kita belajar bahwa Allah bisa mengubah suara perut yang keroncongan menjadi suara musik rohani.

Tanpa sekolah salib itu, maka kita tidak akan bisa memberitakan Injil. Kita tidak akan memiliki Injil untuk disampaikan. Kita tidak akan memperoleh pemahaman akan makna salib karena kita tidak pernah mengalaminya. Kita tidak akan tahu apa yang Yesus maksudkan jika kita tidak pernah belajar di sekolah salib itu. Jadi, ini semua bukan karena kita ini lebih unggul dari orang lain. Yang lebih tepat adalah, justru karena kita ini lebih buruk dari orang lain sehingga kita lebih perlu belajar tentang makna salib di dalam pengalaman hidup kita.

Tetapi apakah salib suatu realitas di dalam hidup kita? Apakah salib itu sesuatu yang kita pahami secara nyata di dalam hidup kita? Jika kita belum mengalami salib, maka Dia tidak akan berarti apa-apa bagi kita. Sudah berapa kali kita mendengarkan penginjil yang mengkhotbahkan tentang salib? Apa makna salib buat kita? Tak ada artinya sebelum kita menjadikannya sebagai milik kita, setelah itu barulah kita bisa memahaminya dengan sepenuhnya. Prinsip rohani yang terdapat di sini adalah: jika kita ingin memperoleh makna dari kehidupan rohani, kita harus bersedia menjadikan salib sebagai milik kita.

Arti dari memikul salib: kehilangan hidup Anda di dalam dunia

Memikul salib sebagaimana yang diucapkan oleh Yesus di ayat 39 berarti kehilangan hidup kita di dalam dunia ini. Saya sudah kehilangan kenyamanan hidup saya di dalam dunia ini. Saya berketetapan, dengan kasih karunia Allah, untuk mempertahankan kejernihan visi saya, saya sudah menaruh tangan saya di atas bajak, saya tidak akan menatap ke belakang lagi, bertekad untuk maju terus, di jalan salib. Untuk apa? Supaya saya memperoleh Kristus! Supaya saya bisa memiliki Kristus! Seperti yang dikatakan oleh Paulus, “Untuk kedapatan berada di dalam Dia.”

Di Matius 10:39 Yesus berkata, “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.” Apa maknanya? Secara prinsip sangatlah sederhana. Kit tidak akan pernah memperoleh sesuatu secara gratis. Jika ada orang yang memberitahu kita bahwa kita pasti akan memperoleh hidup yang kekal tanpa pengorbanan apa pun, jangan percaya sepatah pun kata mereka karena di dalam kehidupan rohani, kita tak akan pernah memperoleh sesuatu tanpa perlu mengorbankan sesuatu.

Di Lukas 14:25-33, yang sudah kita baca sehubungan dengan hal memikul salib, Yesus berkata, “Sebelum kamu menjadi seorang murid, hitunglah dulu ongkosnya. Berapa besar pengorbanan yang harus kau lakukan?” Yesus tidak pernah memancing kita untuk masuk ke dalam Kerajaan dengan mulut manis yang berisi  kepalsuan, dan saya bersyukur akan hal itu. Dia berkata, “Hitung dulu berapa besar pengorbanan untuk menjadi muridku, untuk menjadi milikku.” Demikianlah, ayat ini menyatakan hal yang tepat sama dengan kata-kata yang berbeda. Apakah kita ingin mendapatkan hal yang rohani? Kita tidak akan pernah memperoleh hidup itu kalau kita tidak melepaskan hidup kita. Itulah prinsip dalam kehidupan rohani. Dengan demikian kit akan menyadari bahwa semakin kita kehilangan, maka semakin pula kita mendapatkannya. Semakin kita kehilangan hal-hal duniawi, semakin kita mendapatkan hal-hal di dalam hidup yang kekal. Ini adalah hal yang sangat indah. Saya minta sahabat renungkan baik-baik ajaranYesus ini. Bacalah sendiri. Saya tidak ingin memasukkan pemikiran saya sendiri. Pemikiran saya peribadi tidak ada nilainya. Yang saya inginkan adalah agar sahabat renungkan firman Allah karena firman-Nya adalah firman dari hidup yang kekal.

Kita diselamatkan oleh salib Kristus tetapi kita harus memikul salib juga

Sebagai penutup, mari kita renungkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada awal tadi. Sudahkah sahabat temukan jawabannya? Setelah merenungkan ajaran Yesus, lantas apakah kita ini diselamatkan oleh salibnya atau oleh salib kita? Kita melihat bahwa kita harus memikul salib kita.

Jadi, apakah saya yang mendapatkan hidup yang kekal itu dengan memikul salib saya? Dengan kehilangan hidup saya, maka saya memperoleh hidup yang kekal? Lalu apakah jawaban yang muncul di benak kita? “Barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku akan meraihnya?” Yesus tidak berkata begitu. Dia tidak berkata bahwa kita akan meraihnya. Barangsiapa kehilangan nyawanya karena aku akan memperolehnya dengan cara bagaimana? Di sinilah keindahan dari ajaran Yesus. Tidak ada kata yang salah. Jika kita perhatikan dan cermati ajaran Yesus, kita akan mendapati bahwa yang dikatakan adalah, “Barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menemukan (find) hidup yang kekal.

“Menemukan”: berarti menerima sesuatu yang tidak bisa kita raih sendiri

Perhatikan kata “menemukan”, misalnya, di dalam perumpamaan tentang harta yang terpendam. Orang tersebut menggali di ladang dan dia menemukannya. Apakah orang itu mendapatkan harta itu sebagai hasil usahanya? Ketika dia menemukan harta karun itu di ladang, nilai dari harta karun itu jauh melampaui segenap kekayaannya. Dia tidak bisa membelinya, tetapi dia bisa menemukannya. Harta itu diberikan kepadanya. Artinya, dia tak akan pernah dapat membelinya, tetapi dia menemukannya. Menemukan harta itu adalah ungkapan lain yang menyatakan bahwa dia telah mendapatkan sesuatu yang tidak akan dapat ia dapatkan lewat usahanya sendiri.

Sekarang pertimbangkanlah pertanyaan ini: Apakah hidup yang kekal itu sesuatu yang bisa kita capai? Kita tak akan pernah bisa mencapainya. Kita tak akan pernah bisa meraih hidup kekal dari Allah. Berapa harga yang bisa kita tetapkan bagi hidup kekal itu supaya kita bisa meraihnya? Bisakah kita beli hidup yang kekal itu dengan 1 milyar? Bisakah kita beli hidup yang kekal itu dengan 10 milyar? Kita tak akan bisa membeli hidup yang kekal itu sekalipun kita berpenghasilan 100 milyar! Hidup yang kekal itu tak ternilai. Itu adalah hidup Allah. Jika Allah Bapa tidak memberikannya kepada kita, maka kita tidak akan pernah bisa memilikinya karena hidup itu adalah milik Alllah. Tentu saja, hidup yang kekal itu bisa kita miliki. Kita hanya menerimanya sebagai karunia dari Allah melalui salib Kristus.

Makna salib kita: sarana untuk kita memenuhi persyaratan Allah bagi hidup kekal

Lalu, apa maksud dari pembicaraan tentang salib itu? Salib kita merupakan syarat untuk menerima hidup yang kekal. Salib bukan sarana untuk memperoleh hasil, melainkan sarana untuk memenuhi persyaratan. Saat sahabat merenungkan persyaratan yang diberikan, sahabat akan melihat sungguh luar biasa hikmat Yesus!

Kita mungkin bertanya, “Mengapa Yesus membuat persyaratan ini? Mengapa dia menginginkan hal ini dari kita?” Karena hanya dengan jalan itu maka kita bisa benar-benar diselamatkan. Jika salib tidak masuk ke dalam hidup kita, maka kita akan kembali lagi ke dalam dosa, dan itu pasti. Alasan mengapa Yesus ingin agar kita mengalami salib di dalam hidup kita adalah untuk menghancurkan dasar pijakan dosa di dalam kehidupan kita. Itulah makna dari firman yang luar biasa, yang diucapkan oleh rasul Petrus di dalam suratnya, barangsiapa telah menderita penderitaan badani, ia telah berhenti berbuat dosa (1 Petrus 4:1).

Tidaklah mengherankan bahwa jika jika menanyakan hal ini pada orang-orang yang hanya mempelajari teologi, mereka bingung. Mereka tidak tahu apa maknanya. Akan tetapi jika kita tanyakan hal ini pada orang Kristen yang lugu namun yang telah dianiaya karena imannya, maka dia akan segera menjelaskannya kepada kita. Sungguh mendalam pengertiannya. Kita akan tahu apa artinya jika kita sudah menderita. Kita akan memahami Alkitab, bukan dari sekadar membaca tafsirannya. Kita jalani dalam hidup kita dan kita akan tahu apa artinya. Orang-orang yang bergantung pada buku-buku tafsiran sangat kesulitan untuk memahami Alkitab. Akan tetapi bila kita jalani dalam hidup kita dengan memikul salib, maka makna Alkaitab sangatlah jelas, sangat mudah dipahami. Sekarang kita mengerti mengapa Yesus menetapkan persyaratan ini. Hikmatnya sungguh sempurna.

Kita mungkin berkata, “Mengapa tidak diberikan secara gratis saja? Tanpa persyaratan apapun? Bukankah itu yang biasanya dikhotbahkan.” Dan para pengkhotbah itu merasa bahwa mereka sudah lebih pandai daripada Allah. Mereka hanya mengutip satu ayat: karunia Allah adalah pemberian gratis. Keselamatan adalah karunia dari Allah. Hal itu memang sepenuhnya benar akan tetapi hanya menyentuh separuh dari kebenarannya, karena karunia gratis itu diberikan lengkap dengan persyaratannya. Jika saya ingin memberi sahabat sebuah senjata api, tentunya sangat tidak bertanggung jawab jika saya tidak memastikan bahwa sahabat adalah orang yang layak untuk menggunakan senjata api. Saya perlu memastikan bahwa sahabat adalah orang yang memenuhi persyaratan, baru setelah itu saya memberi sahabat senjata api tersebut secara gratis. 

Atau contoh lainnya: jika saya adalah orang yang sangat kaya, dan sahabat tidak punya uang sama sekali. Kalau saya ingin memberi kamu uang 1 juta, dan saya berkata, “Ini uang 1 juta. Ambillah. Ini hadiah untukmu. Kamu tidak akan pernah mampu mendapatkannya, tetapi sekarang aku memberikannya buatmu,” apakah sahabat sekalian berpikir bahwa saya tidak akan menetapkan persyaratan? Kalau begitu, mengapa saya tidak menutup mata dan secara membabi-buta memberikan uang 1 juta kepada siapa saja. Saya perlu memastikan apa yang akan sahabat lakukan dengan uang yang 1 juta itu, apa akan digunakannya secara benar, bukan untuk membeli narkoba atau bom. 

Jadi karunia itu gratis akan tetapi ada persyaratan yang terkait dengan itu. Apakah ketentuan semacam itu bukan sesuatu yang kita harapkan dari Allah?

Bolehkah saya berkata kepada sahabat sekalian, “Kamu bisa mendapatkan hidup yang kekal sesuka hatimu! Mari dapatkanlah hidup yang kekal! Dan kamu boleh melanjutkan hidup di dalam dosa dan tidak akan ada masalah. Kamu boleh meneruskan dosa-dosamu dan hidup yang kekal itu tetap menjadi milikmu.”? 

Tidak, Allah tidak akan pernah melakukan hal semacam ini. Karunia dari Allah adalah hidup yang kekal. Dia berkata, “Aku berikan padamu sebagai karunia, tetapi Aku mau memastikan bahwa kamu tidak kembali lagi ke dalam dosa yang sebelumnya telah membunuhmu.” Hanya dengan memiliki salib di dalam hidup kita maka karunia yang kekal dari Allah akan tetap menjadi milik kita dan tidak akan hancur, atau tercemar, atau rusak oleh kita.

Namun karena para penginjil tidak menyampaikan hal ini, lihatlah apa yang terjadi. Begitu banyak orang yang datang kepada Tuhan, seperti yang sudah pernah saya sebutkan, dan dalam kurun waktu satu tahun kemudian, 70% dari mereka meninggalkan Gereja. Dalam waktu dua tahun, mereka yang telah berkomitmen itu, atau yang seharusnya telah menjadi Kristen dalam beberapa KKR, di manakah mereka berada setelah itu? Periksalah daftar yang ada dan lihat berapa banyak yang masih Kristen setelah satu tahun? Namun para penginjil itu mengira bahwa mereka lebih cerdik ketimbang Allah, dengan cara memberitakan karunia gratisnya tanpa menyampaikan persyaratannya. Dari 100 orang yang mengaku telah datang kepada Kristus dalam sebuah KKR, dalam waktu tiga tahun setelahnya, Anda akan mendapati bahwa hanya tertinggal sekitar 4% jika Anda memberitakan Injil dengan cara tidak menyebutkan persyaratannya.

Persyaratan dari Allah bagi hidup kekal yang gratis

Jadi, saya harap sahabat sekalian sekarang mengerti jawaban atas pertanyaan yang saya sampaikan di bagian awal tadi. Dan sahabat akan melihat hikmat Allah. Allah memberi hidup yang kekal secara gratis kepada kita, namun kita harus memenuhi persyaratanyang ditetapkan. Kita harus berpaling dari dosa. Kita harus berpaling dari dunia yang ingin menarik Kita kembali ke dalam dosa. Inilah pengajaranYesus Kristus. Bukankah hal ini menyatakan hikmat Allah yang sempurna?

Dan terakhir, saya bertanya kepada sahabat, sudahkah kita memenuhi persyaratannya? Allah bersedia untuk memberikan hidup kekal-Nya secara gratis tetapi apakah kita sudah memenuhi persyaratannya, sekalipun kita mengklaim diri kita sebagai seorang Kristen? Dan apakah kita di dalam memikul salib itu sudah mengambil langkah yang pertama, kemudian melanjutkan ke langkah yang kedua dan yang ketiga?


Salam Revival!!!

Tuhan Yesus memberkati

1 komentar: