Saat saya merenungkan unsur yang diperlukan untuk menerapkan ajaran Alkitab tentang pemuridan, saya mendapatkan tentang api, “Satu-satunya hal yang Kuinginkan dari umat-Ku adalah api.”
Api? Itulah hal yang kita butuhkan. Allah berkali-kali dilambangkan sebagai api. Bukan hanya api melainkan api yang melalap. Api memiliki makna yang sangat luas. Api bisa bermanfaat sekaligus juga berbahaya. Kita tidak bisa memasak tanpa adanya api dan di musim dingin, tanpa api kita akan kedinginan. Sekarang listrik telah menggantikan api, tetapi sekalipun kita tidak melihat sebuah lampu sedang terbakar, tetapi ada sesuatu yang sedang terbakar di dalamnya. Suatu proses pembakaran sedang terjadi karena nyala lampu didukung oleh energi dan daya yang dihasilkan oleh suatu proses pembakaran.
Khotbah sering disampaikan untuk membuat kita merasa enak. Kita senang dengan janji-janji dan hal yang baik-baik yang bisa kita dapatkan dari Allah. Namun kita jarang mendapatkan semua itu karena kehendak kita tidak selaras dengan kehendak Allah. Kita senang berkata bahwa Allah itu kasih dan hal ini memang mutlak benar. Allah adalah kasih. Namun kita tidak tahu bagaimana mengartikan pengungkapan diri-Nya sebagai api. Api membuat kita ketakutan karena kita mempertimbangkan segi bahayanya, seperti api yang membakar rumah. Api memberikan bayangan tentang hal-hal yang menakutkan dan berbahaya.
“Sebab TUHAN, Allahmu, adalah api yang menghanguskan, Allah yang cemburu.” Ulangan 4:24
“Allah yang cemburu.” Kecemburuan memang berkaitan dengan kasih. Itu sebabnya api juga adalah lambang dari kasih. Api cinta yang membara akan membakar kita dari dalam. Itu sebabnya mengapa api, dalam pengertian ini, bermakna semangat yang berapi-api, semangat yang sejati.
Api diungkapkan lewat Kasih dan Kepedulian
Jika kita tidak memiliki api di dalam hidup kita, maka kita tidak akan punya kaitan apa-apa dengan Allah. Kita tidak akan punya hubungan dengan Allah. Di dalam Keluaran 24:17; Yesaya 33:14 dan 30:27; Ibrani 12:29 menyatakan hal yang sama seperti di kitab Ulangan. “Allah kita adalah api yang menghanguskan.”
Jadi, konsep Allah sebagai api tidak sekadar kita temui di PL, tetapi juga di PB. Gambaran api memberitahu kita bahwa Allah adalah Allah kasih, Allah yang cemburu. Jika kita mengasihi seseorang, maka kita juga memiliki rasa cemburu atas dirinya. Jika kita tidak mengasihi seseorang, maka kita tidak akan memiliki rasa cemburu dan kita tidak akan peduli terhadap orang itu. Namun Allah peduli, sangat luar biasa kepedulian-Nya pada hal-hal yang kecil. Berulang kali saya merasa sangat terharu pada kasih-Nya yang tak terkatakan pada saya.
Api sebagai ungkapan Kekudusan
Api mencerminkan kasih Allah yang membakar. Kasih manusia sangatlah lemah dan kita hanya bisa berkata, “Aku suka ini,” atau, “Aku suka itu.” Jarang ada yang berani berbicara tentang kasih dalam pengertian yang alkitabiah, karena kasih yang satu itu memang benar-benar kasih yang berapi-api yang mendorong seseorang untuk mengasihi dan mempedulikan orang lain. Sangat sedikit di antara kita yang memiliki kasih seperti itu karena memang kita bukan orang yang intens, kita tidak terbakar oleh kasih. Akan tetapi ada aspek lainnya lagi, api menggambarkan kasih dan juga kekudusan. Dua aspek kepribadian Allah yang tak terpisahkan, kasih dan kudus. Api bersifat membersihkan, Api membakar segala sesuatu, dan di dalam pengertian itulah api disebut bersifat menyucikan. Saya pernah tidak sabar untuk menusuk bisul di tangan saya. Apa yang saya lakukan untuk itu? Saya gunakan sebatang jarum, lalu saya sterilkan. Bagaimana saya mensterilkan jarum itu? Saya memanaskan dengan api sampai jarum itu terlihat membara, dan saya tinggal menusukkannya ke bisul itu, dan cairan yang terdapat di dalam bisul itu akan mengalir keluar. Api itu membantu mensterilkan jarum itu.
Itu sebabnya gambaran Allah sebagai api menjadi sangat indah, utuh dan sempurna, karena mengungkapkan karakter Allah secara lengkap dari segi kasih dan kekudusan. Kita sulit memahami keduanya dalam satu kesatuan. Kekudusan bagi kita adalah sesuatu yang dingin, steril, murni, tetapi tidak berkaitan dengan kasih. Di sinilah persoalannya, ada banyak orang yang membayangkan Allah sebagai pribadi yang kudus, menakutkan, mengerikan, pribadi yang sangat hebat tetapi tidak mengasihi. Di sisi lain, ada yang hanya membayangkan Allah sebagai kasih, dan sama sekali mengabaikan sisi kekudusan-Nya. Akibatnya gambaran kasih kita menjadi sangat tidak berimbang.
Api sebagai Ungkapan Kekuatan dan Kuasa
Ungkapan tentang kuasa Allah juga adalah salah satu sisi yang diperlihatkan lewat kasih-Nya. Kekuatan yang diperlihatkan oleh api sangatlah hebat, api bisa melalap habis hutan yang luas atau gedung yang besar dalam waktu singkat. Api memiliki kekuatan yang sangat besar, jadi dari api kita bisa melihat satu lagi karakter Allah, yaitu kuasa-Nya.
Kita harus membayangkan Allah sebagai api yang menghanguskan. Perhatikan bahwa ungkapan api yang menghanguskan itu adalah ungkapan dari potensinya. Api yang disebutkan di sini bukanlah api yang tidak memiliki potensi apa-apa. Api tersebut menghanguskan, kata menghanguskan berarti melahap, menghabiskan segala sesuatu. Tak ada satu hal pun yang tidak terpengaruh oleh kuasa kasih-Nya. Inilah hal yang ingin Dia lihat di dalam hidup kita pada saat karakter kita menjadi semakin serupa dengan-Nya. Ketiga ciri tersebut semakin kuat muncul di dalam diri kita seiring dengan keserupaan kita dengan Kristus. Kita memiliki kasih, kekudusan dan kuasa. Ketiga unsur yang sangat penting.
Pemuridan berkaitan dengan Kasih, Kekudusan dan Kuasa
Apa kaitan ketiga hal ini dengan pemuridan? Semuanya berkaitan erat dengan hal pemuridan. Kita tidak akan mau menjadi murid dari orang yang membuat kita ketakutan karena kekudusannya, kita pasti ingin menjauh darinya. Ada banyak orang yang ketakutan terhadap penginjil besar John Sung karena ada api ini di dalam dirinya, api yang menghanguskan di dalam dirinya. Namun dari api tersebut, juga terpancar kasih yang sangat kuat, sekuat kekudusan yang memancar darinya. Pernah ada seseorang yang datang kepada John Sung dan berkata, “Maukah Anda mendoakan saya?” Didoakan oleh seorang hamba Allah tentulah merupakan suatu berkat yang sangat besar. Dan ketika ia mendatangi John Sung, John Sung menatap wanita itu lekat-lekat lalu berkata, “Engkau telah menjalani dosa yang sangat besar selama sepuluh tahun ini dan masih belum bertobat juga.” Wanita itu sangat terkejut. Hamba Allah yang satu ini melihat masa lalunya. John Sung sama sekali tidak mengenalnya, mereka tidak pernah berjumpa sebelumnya. Akan tetapi Roh Kuduslah yang menyatakan hal itu padanya.
Jika kita ingin mendekat kepada Allah, kita harus membiarkan api itu menguduskan kitaa. Dan kita tidak akan bisa datang kepada api itu jika masih bergantung pada dosa, karena kita akan terbakar ke arah yang negatif, kita akan jatuh ke penghakiman-Nya, ke bawah kutuk-Nya.
Inilah sebabnya mengapa ketiga aspek dari karakter Allah itu harus ada secara bersamaan. Kita tidak boleh pilih-pilih, kita ingin Allah yang mengasihi tetapi kita tidak mau pada Allah yang kudus. Hal yang begitu tidak akan kita dapatkan, kita hanya bisa mendapatkan Allah dengan ketiga aspek yang lengkap ini. Menjadi seorang murid berarti seseorang harus menjadi serupa dengan gambaran-Nya, meniru Dia. Menjadi seorang peniru Allah adalah ungkapan lain yang digunakan oleh Paulus. Bagaimana kita bisa meniru Dia jika Dia adalah api sedangkan kita bukan api? Meniru Dia berarti kita membiarkan api-Nya masuk ke dalam hidup kita dan kita kemudian menjadi api.
Di hari Pentakosta (Kisah 2:3), disebutkan bahwa Roh turun, lalu apa yang terjadi? Api muncul di atas kepala setiap orang yang berkumpul di sana. Mereka semua menjadi tiang api. Kalau dilihat dari jauh, mereka akan terlihat seperti lilin, berdiri dengan api di atas kepalanya, atau mungkin terlihat seperti semacam lampu. Dengan kata lain, Allah memberi watak-Nya kepada mereka, di dalam tindakan-Nya memberikan Roh Kudus, Allah sedang memberi kepribadian-Nya kepada mereka. Banyak orang yang berkata, “Ya, aku ingin dipenuhi oleh Roh.” Hal itu memang bagus. Namun tahukah kita apa yang sedang kita minta itu? Ada yang berpikir bahwa yang akan diperoleh adalah bahasa roh, dan karunia yang lainnya. “Aku sudah puas dengan berbahasa lidah. Aku tidak butuh yang lainnya.” Sayang sekali, kita harus mengambil paket lengkap atau tidak memperoleh apa-apa sama sekali. Kita tidak bisa memilih paket apa saja yang kita suka dan menolak apa yang kita tidak suka.
Yesus datang untuk Menyalakan Api
Apa yang Yesus lakukan saat ia di dunia sangatlah jelas. Di Lukas 12:49 dia berkata, “Aku datang ke dunia ini”, untuk apa? “Untuk melontarkan api ke bumi.” Apa artinya pernyataan itu? Apa makna sesungguhnya? Banyak yang berpikir bahwa melemparkan api bermakna menjatuhkan penghakiman. Ia akan menghukum dunia seberat-beratnya dengan api kudusnya, akan tetapi itu bukanlah hal yang dimaksudkan Yesus. Di Yohanes 3:17, Yesus berkata, “Aku datang bukan untuk menghakimi dunia melainkan supaya dunia bisa diselamatkan.” Misi kedatangan Yesus bukan untuk menghakimi. Api yang dilemparkan itu bukan untuk menghakimi orang, itu adalah jenis api yang berbeda. Akan tetapi api ini memang jelas akan menyucikan hati kita. Api itu memang akan menghanguskan kita jika hidup kita tidak berkenan kepada Allah. Apa yang dimaksudkan oleh Yesus? Jika bukan untuk menghakimi lalu untuk apa? Ya memang, api memberikan terang dan panas. Namun Allah adalah api yang menghanguskan, lalu untuk apa Yesus datang ke dunia? Untuk melontarkan api Allah yang menghanguskan, tetapi bukan dalam pengertian yang membinasakan. Api itu akan menghanguskan banyak hal dan kita berharap agar kita bisa seperti semak terbakar yang dilihat oleh Musa, yang terbakar tetapi tidak dibinasakan. Jika terdapat suatu hal yang tidak layak pada semak tersebut hal itu pasti akan terbakar, akan tetapi semak itu sendiri tetap tidak binasa.
Tahukah kita apa yang dilakukan oleh Yesus di Yohanes 2:17? Di sana terjadi pembersihan Bait Allah. Ia ingin membuang semua hal yang merupakan penyelewengan, segala bentuk komersialisasi, segala hal yang tidak berkenan bagi Allah di dalam bait-Nya. “Rumah-Ku akan disebut sebagai rumah doa tetapi kamu telah mengubahnya menjadi sarang penyamun.” Dan hal itulah yang dilakukan Yesus di Yohanes 2:17. Ketika murid-murid melihat tindakan Yesus, mereka teringat pada Mazmur 69:10. Apa yang tertulis di sana? “Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan aku.” Cinta mampu menghanguskan, cinta di sini adalah pencerminan dari api, dan api ini yang membakar saya.
Jika kita melayani Tuhan dengan semangat seperti itu, kita memang akan terbakar. Teman saya di lampung, seorang pendoa berkata kepada saya sebelum saya meninggalkan Lampung, “Tolong jangan terlalu berapi-api, kamu terlalu intens. Kamu melayani terlalu keras, tidak ada orang yang bisa bertahan lama dengan intensitas begini.” Lalu ia menceritakan kepada saya tentang David Brainard, orang yang sangat berapi-api melayani Tuhan tetapi akhirnya mengalami “burn out”.
Memang ada “burn out” yang tidak baik dan juga “burn out” yang baik, kita cenderung hanya mempertimbangkan dampak buruknya. Kita bisa temukan dengan mudah buku-buku yang membahas tentang cara untuk tidak “burn out” di dalam pekerjaan dan sebagainya. Akan tetapi di dalam melayani Allah, saya benar-benar tidak tahu bagaimana cara melayani Dia tanpa semangat yang berapi-api. Saya benar-benar mempunyai niat yang membara untuk memberitakan Firman-Nya dengan kuasa dan selanjutnya saya melihat bagaimana hidup orang diubahkan. Apakah kita menginginkan api ini ada di dalam hati dan diri kita?
Api akan menghanguskan kita dan memang dapat membakar habis diri kita. Saya berulang kali menyebut tentang John Sung karena saya membaca bukunya dan melihat gambaran seorang pribadi yang benar-benar terbakar bagi Allah. Setiap kali membaca bukunya, saya bisa meneteskan air mata. Di tengah kondisi kesehatan yang merosot drastis, ia menolak untuk mengurangi pelayanannya. Ia melanjutkan pelayanan bahkan sampai saat ia sudah tidak mampu lagi berkhotbah sambil berdiri. Ia harus duduk, bahkan kadang kala harus sambil berbaring. Akan tetapi ia masih terus ingin melanjutkan melayani Tuhan selama ia masih bernafas. Salah satu pernyataan yang dibuatnya adalah, “Aku bertekad untuk tidak mati di rumah. Aku tidak akan mati di atas tempat tidur di rumah. Aku akan mati di mimbar.” Saya terharu, “Wah. Berapa banyak pengkhotbah yang mau melakukan itu?” Pergi berkhotbah untuk yang terakhir kalinya. Lalu mati di atas mimbar, ini jelas sesuatu yang luar biasa.
Bayangkanlah apa yang akan terjadi dengan gereja jika setiap pendeta terbakar oleh semangat yang setinggi itu? Yang akan terjadi bukan sekadar ia menjadi api, melainkan api dari Allah yang membara di dalam dirinya akan diimpartasikan kepada orang lain. Itulah yang disebut sebagai pemuridan. Bukan sekadar membagikan pengetahuan saja, karena pengetahuan alkitabiah yang sebagus apapun hanya akan membuat kepala kita semakin besar saja. Jika kita tidak bisa membagikan api dari Allah kepada orang-orang yang bekerja bersama kita atau yang dilatih oleh kita, maka sejujurnya kita sudah gagal. Itu berarti kita memang gagal, yang kita lakukan ternyata hanya memompakan pengetahuan ke dalam benak mereka. Jadi, pekerjaan pemuridan itu memiliki dua sisi. Pertama adalah untuk mendapatkan api itu, kedua adalah untuk mengimpartasikannya.
Saya sangat berhutang budi kepada para pembimbing yang membimbing saya saat saya kembali menjadi Kristen. Mereka adalah orang yang benar-benar terbakar api bagi Allah, suatu tanda manusia Allah yang sejati. Kisah kehidupan mereka sangat luar biasa. Jika kita meletakkan sepotong kayu di atas kayu lain yang sedang terbakar, maka kayu itu juga akan ikut terbakar. Api dari kayu yang satu mengalir ke kayu yang lainnya. Api membakar segala sesuatunya.
Pemuridan tanpa Api tidak ada Artinya
Mempelajari pemuridan adalah hal yang bagus, tetapi apa artinya pemuridan tanpa api? Tidak ada artinya. Tidak ada yang bernilai lagi untuk dibicarakan. Kita mungkin bisa pergi ke sekolah Alkitab untuk mendapatkan tambahan pengetahuan tentang pemurian.
Saya sudah membaca banyak buku tentang pemuridan, saya sudah mencoba mempraktekkannya selama setahun ini. Namun saya bisa berakhir sebagai orang yang sekadar membagikan pengetahuan yang tidak akan mengubah hidup orang lain. Jika saya tidak bisa membagikan api kudus-Nya, maka pelayanan saya sudah gagal.
Konsep api yang menghanguskan di dalam hidup kita ini berkaitan dengan konsep lain dalam PB, khususnya di dalam tulisan Paulus. Paulus melihat kehidupan Kristen sebagai suatu pengorbanan. Di Roma 12:1, dikatakan bahwa kita harus mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup kepada Allah. Itu adalah hal yang harus kita lakukan, jika berbicara tentang pengorbanan, sama artinya dengan berbicara tentang api, karena tidak ada pengorbanan di dalam PL yang tidak diletakkan di atas mezbah untuk dibakar. Korban persembahan dibakar di mezbah. Paulus berkata, “Kamu harus menjadi persembahan yang hidup.” Kalimat itu akan terdengar indah selama tidak kita kaitkan dengan api. Siapa yang mau terbakar? Aku bersedia menjadi persembahan yang hidup selama tidak dekat-dekat dengan api. Namun saat kita makin dekat dengan mezbah, dan kita melihat api itu, kita mungkin berkata, “Wah, mungkin aku harus berpikir ulang tentang hal ini. Urusan menjadi persembahan yang hidup ini tampaknya sudah mulai terlalu jauh. Aku tidak tahu kalau urusan ini melibatkan api.”
Paulus berbicara tentang hal ini di dalam beberapa bagian, bukan hanya di Roma 12:1. Di bagian yang lain ia memakai gambaran yang berbeda, ia memandang dirinya sebagai persembahan yang dicurahkan. Apa maksudnya? Di samping korban bakaran kepada Allah ada juga korban curahan. Kita bisa memakai anggur atau minyak, dan keduanya dipersembahkan bersamaan dengan korban bakaran. Hal ini bisa dibaca di Bilangan 28:6-7, ayat 6 berbicara tentang korban bakaran dan ayat 7 berbicara tentang korban curahan yang dipersembahkan bersama dengan korban bakaran. Dengan memakai gambaran ini, paulus berulang kali berbicara tentang dirinya sebagai persembahan yang dicurahkan bagi orang lain, contohnya di 2 Timotius 4:6. Di akhir hidupnya, paulus berkata, “Aku akan dicurahkan.” Ucapan ini merupakan suatu nubuat, karena berdasarkan sejarah Paulus mati dihukum penggal. Dan saat dipenggal darah akan bercurahan. Paulus berkata, “Aku akan tercurah, tetapi aku sudah menyelesaikan perjuanganku, aku sudah menyelesaikan perlombaan ini, dan di sana telah menunggu mahkota untukku.” Di Filipi 2:17, ia sudah menegaskan hal itu. Dengan kata lain, jauh sebelum kematiannya, ia sudah tercurah. Di Filipi 2:17, Paulus berkata bahwa ia akan dicurahkan sebagai korban persembahan bagi orang-orang yang bukan yahudi, persembahan bagi kita. Suatu kalimat yang sangat luar biasa, ia berkata bahwa kita adalah korban persembahan, dan ia dipersembahkan bersama-sama dengan kita. Kita pergi ke mezbah bakaran dan ia dicurahkan dalam persembahan itu bersama-sama kita.
Hidup yang menjadi persembahan. Apakah kita siap menjadi seorang murid? Apakah kita yakin? Benar-benar yakin? Tahukah kita hal-hal apa yang akan terlibat dalam urusan ini? Tidak adil jika kita tidak diberitahu akan hal ini. Pernahkah kita diberitahu bahwa hal pemuridan ini melibatkan api? Paulus mengatakan hal yang sama di Roma 15:16 saat dia mempersembahkan orang-orang non yahudi. Mengapa? Karena di dalam pemahaman paulus, tidak ada orang Kristen sejati yang tidak menjadi korban persembahan. Menurut dia, setiap non yahudi yang telah datang kepada Tuhan adalah persembahan bagi Allah, yang dipersembahkan oleh paulus sebagai imamnya. Orang-orang bukan yahudi, yaitu kita, dipersembahkan sebagai korban kepada Allah, diletakkan dalam api kudus Allah.
Kita mungkin bukan orang yang fasih berbicara, mungkin tidak belajar teologi, dan mungkin juga tidak punya talenta apa-apa, tetapi itu bukan masalah. Jika api kudus dari Allah membara di dalam diri kita, kita akan mencapai hal yang jauh melampaui hasil gabungan dari para ahli teologi yang tidak memiliki api. Buktikan sendiri ucapan saya ini, kita dapat memberi pengaruh yang sangat besar saat api yang kudus itu ada di dalam diri kita, kita akan menyebarkan api kudus-Nya ke segala penjuru. Api tidak akan mengurung dirinya sendiri, ia akan menyebar dan itulah ciri-ciri api. Ia menyebar ke mana-mana, dan orang lain akan menerima api dari kita. Lalu mereka menyebarkannya lagi kepada orang-orang lainnya. Saat kita memegang lilin yang menyala, lalu ia menyalakan lilin di tangan orang yang lainnya, tak peduli seberapa banyakpun orang yang berkumpul, semua kebagian api itu. Demikianlah, saat kita membagikan api kudus kepada orang lain, kita sedang menyalakan lilin yang ada di tangannya lalu membagikan terus api itu kepada orang yang lain, dan akan semakin banyak orang yang akan memiliki lilin yang menyala. Kita hanya perlu memberikan api kita kepada orang lain, dan lilin orang itu akan menyala. Itulah arti pemuridan!
Saya bisa saja memberikan banyak teori pemuridan kepada kita semua akan tetapi saya tidak mau berbicara tentang teori. Saya tidak berminat pada teori tetapi pada praktek dikehidupan nyata. Api, walaupun terdengar cukup aneh, juga merupakan lambang bagi kehidupan. Saat api padam, maka matilah segala sesuatu. Tanpa pembakaran, mesin tidak bergerak. Apakah yang menjadi penggerak dari motor kita? Mesin yang berfungsi atas prinsip pembakaran (combustion). Api membakar bensin dan hasil pembakaran itu menjadi sumber tenaga. Saya sering memperbaiki motor saya dan menyetel mesin itu bisa menjadi pekerjaan yang sangat sulit. Salah setel, maka aliran bensin mungkin akan menjadi terlalu besar atau terlalu kecil, dan akan menghasilkan pembakaran yang tidak bagus. Jadi saya membeli sebuah alat kecil dan memasangnya dengan baut di bagian silinder tempat pembakaran terjadi. Dengan mengintip ke bagian dalam silinder lewat bagian kaca alat tersebut saya bisa melihat langsung proses pembakarannya. Kekuatan yang dihasilkan dari nyala api, itulah yang menggerakkan mobil.
Bagaimana Mendapatkan Api itu?
Lalu, bagaimana cara untuk mendapatkan api itu? Syarat apa saja yang diperlukan untuk bisa menerima api kudus dari atas agar kepribadian kita menjadi serupa dengan kepribadian Bapa di surga? Alkitab menyuruh kita untuk menjadi seperti Kristus, yang sepenuhnya mencerminkan kepribadian Bapa. Jika Allah adalah api, maka kita juga harus menjadi api. Berapa banyak orang Kristen yang kita kenal yang menjadi api? Apakah kita salah satu di antaranya?
Tahukah berapa lama masa pelayanan John Sung? Hanya 15 tahun. Ia mati di usia 43 tahun. Mungkin kita akan berkata, “Sayang sekali. Jika dia bisa bertahan sampai usia 90 tahun mungkin akan lebih baik. Bukankah begitu?” Tidak, di dalam 15 tahun itu apa yang dikerjakan oleh Allah melalui orang yang satu ini jauh melampaui apa yang dikerjakan oleh kebanyakan orang dengan usia yang jauh lebih panjang. Api yang kudus, efeknya terasa sampai ke hari ini.
1. Tanpa noda atau cacat
Langkah pertama untuk menangkap api ini adalah dengan memahami gambaran tentang pengorbanan. Apakah persyaratan utama di dalam PL bagi hewan korban? Persyaratannya adalah hewan itu haruslah tanpa cacat atau noda, hewan itu harus murni. Tidak boleh ada cacat, atau di dalam istilah PB tidak boleh ada dosa. Salah satu tragedi di dalam gereja adalah begitu banyaknya orang yang menyimpan dosa yang tersembunyi, dosa-dosa yang tersembunyi akan menghancurkan kita. John Sung gemar memakai gambaran membuka peti mati. Kita mungkin berkata, “Apa? Membuka peti mati?” Di dalam bahasa Inggris, ungkapan yang sejajar dengan itu adalah, “Mengeluarkan kerangka dari dalam lemari.” Banyak orang Kristen yang menyimpan begitu banyak kerangka di dalam lemari mereka dan mereka tidak mau Allah memeriksa sampai ke lemari mereka, masalahnya DIA sudah tahu!
Berbicara tentang pemuridan berarti berbicara tentang api Allah, dan api itu akan menghanguskan segala sesuatu yang bertentangan dengan kepribadian-Nya. Apakah kita rela membiarkan Dia mengerjakan hal itu? Atau apakah kita akan melarikan diri dari api itu? Apakah kita akan menyembunyikan diri dari-Nya? Jika kita ingin menjadi seorang murid sejati, jika kita benar-benar ingin melayani Allah dan menjalani kehidupan Kristen yang berguna, bermakna dan dinamis, memang tidak ada jalan lain selain membiarkan api-Nya masuk ke dalam hidup kita. Apakah kita bersedia membiarkan api itu masuk ke dalam diri kita? Apakah kita bersedia mengizinkan Dia masuk?
Firman Tuhan di Ibrani 4:12 adalah seperti pisau bedah yang dengan tajam membedah kita. Ayat itu menusuk ke dalam dan mengungkapkan segalanya. Jadi langkah yang pertama adalah mengakui dosa-dosa dan bertobat dari dosa-dosa. Jika kita tidak melewati tahapan ini, kita tidak usah berpikir untuk masuk ke tahap selanjutnya. Kita tidak akan bisa masuk lebih jauh lagi, jika kita takut atau tidak rela melepaskan dosa-dosa kita, maka pengajaran tentang pemuridan tidak ada gunanya bagi kita dan hanya membuang-buang waktu kita. Kita tidak akan bisa menerapkan segala yang telah kita pelajari, kita tidak akan bisa menerapkannya.
Langkah yang pertama adalah datang ke hadapan Allah dan membiarkan Dia menguji hati kita. Seperti yang dikatakan oleh paulus, “Hendaklah setiap orang menguji hatinya sendiri, melihat apakah ia berada di dalam iman,” dan paulus tidak sedang berbicara kepada orang non Kristen. Ia sedang berbicara kepada jemaat di Korintus, hendaklah setiap orang menguji hatinya sendiri dan jika ia menghakimi dirinya sendiri maka ia tidak akan jatuh ke dalam penghakiman. Jika kita menghakimi diri kita sendiri, maka Allah tidak perlu menghakimi kita.
Setiap hamba Allah yang sejati selalu prihatin akan masalah dosa. Izinkan saya membahas tentang John Sung lagi untuk pokok yang satu ini. Pernah sekali, ia tidak memiliki uang untuk membeli perangko, lalu ada orang yang membayarkan uang 50 sen untuknya. John Sung tidak bisa tidur lelap malam itu karena dia belum bisa melunasi yang 50 sen itu. Anda mungkin berkata, “Yang benar saja. Hanya 50 sen. Ia terlalu membesar-besarkan masalah.” Bagi John Sung, persoalannya bukan terletak pada nilai yang 50 sen itu. Bukan nilai uangnya yang menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah ia tidak mengembalikan uang yang 50 sen itu, dan ia merasa telah mencuri uang dari orang tersebut. Nilainya bisa saja 50 sen atau bahkan 50.000 dolar, tidak peduli berapapun nilainya. Prinsip dosa sama saja. Jadi itulah langkah yang pertama hewan korban haruslah sempurna tidak boleh ada cacat sedikitpun, harus sempurna dalam arti kemurniannya. Tentu saja, hewan tidak berbuat dosa, sejauh yang kita ketahui. Saat, kita berbicara tentang hewan yang tanpa kecacatan, yang dibahas bukanlah masalah jasmani; karena jika kita berbicara tentang diri kita sebagai persembahan, cacat atau noda itu mengacu kepada dosa.
2. Penyerahan Total pada Tuhan
Poin yang kedua adalah persembahkan diri yang utuh sepenuhnya kepada Allah. Akan tetapi tidak usah berpikir untuk masuk ke poin yang kedua jika poin yang pertama belum dilalui. Aspek urut-urutan sangat penting di sini, untuk alasan inilah saya mengajarkan tentang Komitmen Total. Jika Kita bukan seorang Kristen dengan komitmen yang total, maka kita tidak akan tahu apa api itu karena api mencerminkan intensitas dari komitmen total. Ini bukan sekadar perkara mengatakan, “Ya. Aku berkomitmen total.” Kita harus memahami hal-hal apa saja yang terkait dengan masalah komitmen total ini. Karena begitu banyaknya orang yang menjalani kehidupan dalam kekalahan rohani karena mereka tidak pernah menyerahkan hidup mereka sepenuhnya. Tidak pernah berkomitmen total kepada Tuhan.
3. Doa dan Persekutuan dengan Tuhan (Intimacy with GOD)
Langkah penting yang ketiga di dalam menangkap Api Kudus dari Allah tentu saja, adalah DOA. Sekarang ini banyak sekali anak Tuhan yang tidak meluangkan waktunya untuk berdoa karena mereka sangat sibuk menjalankan berbagai kegiatan sekuler atau pelayanan. Berdoa, bagaimana caranya? Kita harus berhati-hati di dalam membahas perkara ‘bagaimana’ sebab kita akan melangkah ke persoalan teknis. Saya telah mencoba untuk menyederhanakan penjelasannya sebisa mungkin dengan menyatakan bahwa berdoa adalah berkomunikasi dengan Tuhan. “Berseru kepada Tuhan,” sebagaimana yang kita lihat di Roma 10. Di sana disebutkan, “Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan.” Namun berseru dan berkomunikasi kepada Tuhan tidak kita lakukan hanya di saat awal kehidupan Kristen kita, melainkan di sepanjang kehidupan kita.
Di PL, di 1 Raja-raja 8:38, kita dapat melihat suatu pertempuran yang sangat hebat di gunung karmel, antara elia bersama dengan sisa-sisa nabi Allah melawan ratusan nabi baal. Ketika elia berseru kepada nama Tuhan, api datang dari langit dan membakar habis hewan korban. Perhatikan kata ‘membakar habis’. Terdapat satu kaitan antara doa dengan api yang menghanguskan.
Di ayat-ayat sebelumnya elia mempersilakan para nabi baal untuk memanggil sesembahan mereka agar membakar hewan korban milik mereka. Dan setelah seharian mereka berusaha tanpa hasil, lalu elia berkata, “Baiklah. Sudah seharian kalian berjuang, menari-nari, menoreh diri sendiri, dan berdoa tanpa hasil, sekarang tiba giliranku.” Elia berdoa singkat saja, jangan mengira bahwa doa yang efektif adalah doa yang panjang. Tidak jarang doa yang dipanjatkan dengan intensitas Api yang Kudus hanya terdiri dari satu kalimat saja, dan doa yang tidak efektif kadang kala bisa dipanjatkan dalam kalimat-kalimat yang banyak dan panjang sekali sehingga orang lain sampai tertidur. Jika kita memiliki api yang kudus itu, kita hanya akan berkata, “Oh Tuhan,” dan itu saja sudah cukup karena Allah tahu persis apa yang akan kita sampaikan. Itulah yang dimaksudkan oleh Yesus ketika berkata, “Jangan mengira bahwa doamu diterima karena banyaknya kata-kata yang kamu ucapkan.” Doa kita akan didengarkan karena intensitas Api di dalam hati kita.
Apakah kita memperhatikan adanya ciri lain dari api? Jika kita mengamati lilin, maka kita akan mendapati bahwa apinya menuju lurus ke atas. Apinya tidak menuju ke arah lain. Api mengarah ke atas, kepada Allah. Jika kita berdoa, jadikanlah doa kita itu singkat namun padat terisi oleh curahan hati kita dan itulah rahasia doa. Seringkali saya lebih suka untuk berdoa singkat saja, saya berseru kepada Yesus, memuji nama-Nya, dan sekadar berkata, “Yesus atau Bapa di surga.” Saya mengakui-Nya sebagai Tuhan, sebagai Bapa, sebagai Allah yang hidup dan Sahabat. Tidak ada waktu lagi untuk memusingkan kata-kata yang lain. Panggil saja nama-Nya, panggil sampai Api mulai menyala, itulah doa yang membawa Api ke diri kita.
4. Renungkan Firman Allah
Poin selanjutnya adalah merenungkan Firman Allah. Saat merenungkan Firman-Nya, kita akan mulai mengalami hal yang pernah dialami oleh yeremia, api membara di dalam dirinya sehingga ia tidak kuasa menolak dorongan untuk memberitakan Firman Allah pada saat Allah ingin agar dia melakukannya. Pernahkah kita merenungkan Firman dan meminta Tuhan, “Ajarkanlah aku menjalankannya,” sampai kita merasakan Api yang Kudus membara dalam diri kita? Ada banyak orang Kristen yang bahkan tidak mau membaca Alkitab atau jika mereka membacanya, itu karena mereka merasa wajib membaca ketika bersaat teduh. Dan pertanyaan yang muncul di benak mereka hanyalah, “Bagian mana yang harus dibaca sekarang ini?” Mereka mulai membaca dan setelah itu merasa puas diri karena sudah memenuhi tanggung jawab membaca Firman.
Cobalah renungkan satu bagian yang pendek saja dan pikirkan baik-baik. Tanyakan, “Bagaimana aku bisa menjalankannya? Apa yang harus kulakukan sejalan dengan ayat ini?” Renungkanlah sampai Api itu menyala. “Aku berdiam di dalam Firman-Mu siang dan malam,” demikian kata sang pemazmur. Jadikanlah hal itu sebagai bagian dari hidup kita, ingatkah kita ketika para murid membawakan makanan kepada Yesus? Ia berkata, “Tidak, aku mempunyai makanan yang tidak kau ketahui.” Alkitab disebut sebagai roti, roti hidup, dan yang terjadi pada diri kita ketika memakan roti tentunya kita mendapat tambahan gizi makanan. Atau jika kita gantikan gambarannya, maka Firman Allah yang berasal dari Allah adalah Api yang akan membuat hati kita membara.
5. Mempraktekkan Firman
Hal yang kelima adalah untuk selalu mempraktek firman. Jika kita telah merenungkannya, lalu kita sudah memahami kebenaran yang ingin diungkapkan, maka kita harus mempraktekkannya. Saya menantang setiap kita untuk melakukan hal ini, Jika kita hidup melakukan firman, kita tidak akan dingin. Kuasa dari Firman-Nya sangatlah hebat, saya bertekad untuk mempraktekkan apapun yang dikatakan oleh Tuhan kepada saya. Mudah? Sangat susah! Saya harus belajar untuk bergantung pada Allah, bahkan untuk kebutuhan jasmani saya, seperti yang telah saya alami di jakarta. Tuhan memelihara saya seperti yang dikatakan bahwa burung-burung di udara tidak menabur atau menanam, bunga bakung tidak memintal pakaian, akan tetapi mereka dipelihara dan didandani sedemikian rupa, jauh melebihi dandanan para raja. Sungguh sangat indah, itulah perlakuan Bapa terhadap umat-Nya. Itulah pengalaman saya.
Saya merindukan tampilnya orang-orang Kristen yang berani menerima tantangan ini, yaitu pergi melayani Tuhan tanpa sepeserpun uang di kantong. Cobalah lakukan hal itu, inilah ujian iman. Di sepanjang hidup saya, saya mempercayakan sepenuhnya kepada Allah dalam hal pemenuhan kebutuhan saya dan Allah selalu mengerjakan perkara-perkara ajaib. Dan semua itu bukan sekadar untuk saya. Jika kita bisa mempercayai Allah sampai ke titik kita berani untuk berangkat tanpa sepeserpun uang di kantong, maka berarti kita benar-benar memiliki iman. Allah akan menghargai iman kita dan memberikan kita apa yang kita butuhkan sehingga kita tahu bahwa Allah adalah Allah yang hidup. Seiring dengan pengenalan kita yang semakin akrab dengan-Nya, maka Api itu akan menjadi semakin besar. Itulah pengalaman luar biasa di dalam Tuhan, namun pengalaman setiap orang akan berbeda-beda. Praktekkanlah Firman Allah, jika kita memiliki iman apa yang akan terjadi? Yesus berkata bahwa kita bisa memindahkan gunung.
Praktekkanlah Firman Allah. Allah berkata, “Percayalah pada-Ku.” “Jika engkau percaya pada-Ku, jika engkau memiliki iman kepada-Ku, engkau akan bisa mengerjakan hal yang mustahil.” Katakanlah kepada gunung itu, berpindahlah, maka ia akan berpindah. Rintangan itu tidak akan menghalangi langkah dalam kehidupan kita. Bukankah ini suatu kehidupan Kristen yang ajaib?
6. Cinta kepada Rumah Bapa
Poin yang keenam adalah cinta kepada rumah-Nya. Kita melihat hal itu di Yohanes 2:17. Jika kita ingin menangkap api dari Allah, salah satu hal yang perlu kita kerjakan adalah pergi melakukan sesuatu bagi rumah-Nya. Apa itu rumah? Bait-Nya. Apa itu bait-Nya? Di dalam Perjanjian Baru itu berarti tubuh Kristus, jemaat. Rumah Allah adalah di mana Allah berdiam. Dan Paulus berkata, “Kamu adalah Bait Allah Yang Hidup.” Jika kita mencintai rumah-Nya, maka api itu sudah mulai membara. Pergi dan lakukanlah sesuatu. Banyak sekali orang Kristen yang tenggelam di dalam persoalannya sendiri, selalu saja berkata, “Aku punya masalah ini, masalah itu, dan sebagainya.” Dan para pendeta seringkali terkuras waktu dan tenaganya hanya untuk menasehati jemaat yang berputar-putar di dalam lingkaran persoalan pribadi. Tahun demi tahun, persoalan mereka bertambah terus. Orang-orang ini tidak pernah masuk ke Tanah Perjanjian. Dan pelayan Tuhan terkuras tenaga serta waktunya untuk menangani orang-orang semacam ini, orang-orang yang hanya mementingkan diri serta masalahnya sendiri.
Saat api itu mulai menyala, kita akan kehilangan fokus terhadap kepentingan pribadi kita. Kita tidak lagi memikirkan urusan pribadi kita, paling tidak hal itu akan semakin mengecil seiring dengan semakin besarnya api itu. Saat api mulai menyala, begitu banyak hal yang bisa kita lakukan tanpa disuruh siapa pun. Jika kita melihat ada orang di gereja yang sakit dan membutuhkan pertolongan, orang yang kesepian, yang ketakutan, kita bisa mengangkat handphone kita, menghubungi dia dan chat dengannya. Bukankah ini akan membuat kita melupakan persoalan pribadi kita untuk sementara dan membantu kita memusatkan perhatian atas persoalan orang lain?
Seseorang pernah bertanya kepada saya, “Apakah anda tidak pernah memiliki persoalan pribadi?”
Saya jawab, “Tidak tahu, saya tidak punya waktu untuk memikirkan hal itu. Waktu saya tersita untuk memikirkan persoalan orang lain. Mungkin saya memang punya masalah pribadi tetapi saya tidak tahu apa itu. Saya terlalu sibuk mengurusi yang lain.”
Cobalah lakukan ini sekali waktu. Biarkan cinta Allah kepada rumah-Nya begitu membakar kita sehingga kita begitu menaruh perhatian kepada kesejahteraan saudara dan saudari kita. Dan kita akan terheran-heran, “Ke mana perginya persoalan saya? Saya tidak ingat lagi persoalan apa itu.” Bukankah itu ajaib? Dalam membantu orang lain, persoalan kita sendiri lenyap. Saya yakin setiap orang punya persoalan.
7. Bersaksi bagi Tuhan
Poin yang ketujuh adalah bersaksi bagi Dia. Bersaksi adalah jalan untuk menerima Api dari-Nya dan membagikan api itu. Seringkali, jika kita tidak berbuat apa-apa bagi Tuhan, maka kita tidak akan mengalami kuasa-Nya. Pada saat kita mulai berbuat sesuatu bagi Tuhan, maka kuasa Tuhan datang kepada kita. Dengan kata lain, kuasa itu tidak diberikan kepada kita untuk dimasukkan ke dalam kantong, lalu kita bebas keluyuran ke sana kemari dengan kuasa di kantong sambil mengagumi kuasa itu. Kuasa hanya diberikan saat kita mengerjakan sesuatu, saat kita melayani, saat kita dengan setia menjalankan Firman-Nya, kuasa itu datang di saat kita menjalankan Firman-Nya. Jika tidak berbuat apa-apa, maka kuasa itu tidak datang. Semakin kita giat berkarya bagi Tuhan, termotivasi oleh kasih-Nya, semakin kita mengalami keajaiban kuasa-Nya. Kadang kala di saat kita sedang prihatin akan seseorang, dan mengasihinya dengan tulus dan kudus, lalu kita berdoa bagi orang itu, kita akan terkejut pada hal yang akan terjadi. Mungkin Tuhan akan memakai kita untuk menyembuhkan orang sakit, tetapi jangan mengutamakan karunia kesembuhan. Kesembuhan hanyalah sesuatu yang datang bersamaan dengan datangnya api itu. Jika kita sedang terbakar oleh api bagi Tuhan, bahkan roh-roh takut kepada kita. Mereka akan menjauh dari kita karena mereka melihat api itu di dalam diri kita. Kita memang tidak melihat api itu secara kasat mata, orang lainlah yang bisa melihatnya. Pada waktu api yang kudus itu datang di hari Pentakosta, para rasul saling menatap satu dengan yang lain, dan mereka berkata, “Hey lihat! Ada api di atas kepalamu,” akan tetapi mereka tidak bisa melihat api di atas kepalanya sendiri, dan mereka hanya bisa berkata, “Di atas kepalamu juga ada.” Itulah keindahan dari kehidupan Kristen. Jadi di dalam menjalankan kehendak Allah, kita akan mengalami Dia di dalam segala kepenuhan-Nya, di dalam kuasa-Nya.
8. Bersekutu dengan Orang yang memiliki Api
Ini adalah poin yang penting, satu cara untuk menangkap Api yang Kudus itu adalah dengan bersekutu dengan mereka yang memiliki Api itu agar mereka bisa membagikannya kepada kita. Jika gembala diCOOL kita adalah orang yang memiliki Api itu, datangilah dia dan katakan, “Saya ingin selalu dekat dengan Anda agar bisa menerima Api itu. Saya akan mengikut Anda sampai Api itu menyala di dalam diri saya.”
Seperti Elia dengan Elisa, inilah pola pemuridannya. Elisa mengikut Elia sampai Api itu menyala di dalam dirinya. Jika kita bertemu dengan orang yang memiliki api itu, maka kita sangat diberkati, kita bisa menangkap api itu. Tidak mungkin kita tidak bisa menangkap Api itu jika kita bersama dengan orang yang memiliki Api karena begitu kuatnya kasih mereka kepada Tuhan. Kemuliaan Api yang Kudus itu akan menyebar dan gereja akan dibangkitkan melalui kita, akan semakin banyak orang yang mengalami Allah melalui kita. Banyak jiwa akan berubah, Api-Nya sanggup mengubah kehidupan.
Seperti Elia dengan Elisa, inilah pola pemuridannya. Elisa mengikut Elia sampai Api itu menyala di dalam dirinya. Jika kita bertemu dengan orang yang memiliki api itu, maka kita sangat diberkati, kita bisa menangkap api itu. Tidak mungkin kita tidak bisa menangkap Api itu jika kita bersama dengan orang yang memiliki Api karena begitu kuatnya kasih mereka kepada Tuhan. Kemuliaan Api yang Kudus itu akan menyebar dan gereja akan dibangkitkan melalui kita, akan semakin banyak orang yang mengalami Allah melalui kita. Banyak jiwa akan berubah, Api-Nya sanggup mengubah kehidupan.
Tetap semangat didalam Firman Tuhan dan Salam Revival!!
Tuhan Yesus memberkati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar