Rabu, 27 Juli 2016

CONSUMING FIRE

Saat saya merenungkan unsur yang diperlukan untuk menerapkan ajaran Alkitab tentang pemuridan, saya mendapatkan tentang api, “Satu-satunya hal yang Kuinginkan dari umat-Ku adalah api.
Api? Itulah hal yang kita butuhkan. Allah berkali-kali dilambangkan sebagai api. Bukan hanya api melainkan api yang melalap. Api memiliki makna yang sangat luas. Api bisa bermanfaat sekaligus juga berbahaya. Kita tidak bisa memasak tanpa adanya api dan di musim dingin, tanpa api kita akan kedinginan. Sekarang listrik telah menggantikan api, tetapi sekalipun kita tidak melihat sebuah lampu sedang terbakar, tetapi ada sesuatu yang sedang terbakar di dalamnya. Suatu proses pembakaran sedang terjadi karena nyala lampu didukung oleh energi dan daya yang dihasilkan oleh suatu proses pembakaran.

Khotbah sering disampaikan untuk membuat kita merasa enak. Kita senang dengan janji-janji dan hal yang baik-baik yang bisa kita dapatkan dari Allah. Namun kita jarang mendapatkan semua itu karena kehendak kita tidak selaras dengan kehendak Allah. Kita senang berkata bahwa Allah itu kasih dan hal ini memang mutlak benar. Allah adalah kasih. Namun kita tidak tahu bagaimana mengartikan pengungkapan diri-Nya sebagai api. Api membuat kita ketakutan karena kita mempertimbangkan segi bahayanya, seperti api yang membakar rumah. Api memberikan bayangan tentang hal-hal yang menakutkan dan berbahaya.

Sebab TUHAN, Allahmu, adalah api yang menghanguskan, Allah yang cemburu.” Ulangan 4:24 
“Allah yang cemburu.” Kecemburuan memang berkaitan dengan kasih. Itu sebabnya api juga adalah lambang dari kasih. Api cinta yang membara akan membakar kita dari dalam. Itu sebabnya mengapa api, dalam pengertian ini, bermakna semangat yang berapi-api, semangat yang sejati.

Api diungkapkan lewat Kasih dan Kepedulian
Jika kita tidak memiliki api di dalam hidup kita, maka kita tidak akan punya kaitan apa-apa dengan Allah. Kita tidak akan punya hubungan dengan Allah. Di dalam Keluaran 24:17; Yesaya 33:14 dan 30:27; Ibrani 12:29 menyatakan hal yang sama seperti di kitab Ulangan. “Allah kita adalah api yang menghanguskan.” 
Jadi, konsep Allah sebagai api tidak sekadar kita temui di PL, tetapi juga di PB. Gambaran api memberitahu kita bahwa Allah adalah Allah kasih, Allah yang cemburu. Jika kita mengasihi seseorang, maka kita juga memiliki rasa cemburu atas dirinya. Jika kita tidak mengasihi seseorang, maka kita tidak akan memiliki rasa cemburu dan kita tidak akan peduli terhadap orang itu. Namun Allah peduli, sangat luar biasa kepedulian-Nya pada hal-hal yang kecil. Berulang kali saya merasa sangat terharu pada kasih-Nya yang tak terkatakan pada saya.

Api sebagai ungkapan Kekudusan
Api mencerminkan kasih Allah yang membakar. Kasih manusia sangatlah lemah dan kita hanya bisa berkata, “Aku suka ini,” atau, “Aku suka itu.” Jarang ada yang berani berbicara tentang kasih dalam pengertian yang alkitabiah, karena kasih yang satu itu memang benar-benar kasih yang berapi-api yang mendorong seseorang untuk mengasihi dan mempedulikan orang lain. Sangat sedikit di antara kita yang memiliki kasih seperti itu karena memang kita bukan orang yang intens, kita tidak terbakar oleh kasih. Akan tetapi ada aspek lainnya lagi, api menggambarkan kasih dan juga kekudusan. Dua aspek kepribadian Allah yang tak terpisahkan, kasih dan kudus. Api bersifat membersihkan, Api membakar segala sesuatu, dan di dalam pengertian itulah api disebut bersifat menyucikan. Saya pernah tidak sabar untuk menusuk bisul di tangan saya. Apa yang saya lakukan untuk itu? Saya gunakan sebatang jarum, lalu saya sterilkan. Bagaimana saya mensterilkan jarum itu? Saya memanaskan dengan api sampai jarum itu terlihat membara, dan saya tinggal menusukkannya ke bisul itu, dan cairan yang terdapat di dalam bisul itu akan mengalir keluar. Api itu membantu mensterilkan jarum itu.
Itu sebabnya gambaran Allah sebagai api menjadi sangat indah, utuh dan sempurna, karena mengungkapkan karakter Allah secara lengkap dari segi kasih dan kekudusan. Kita sulit memahami  keduanya dalam satu kesatuan. Kekudusan bagi kita adalah sesuatu yang dingin, steril, murni, tetapi tidak berkaitan dengan kasih. Di sinilah persoalannya, ada banyak orang yang membayangkan Allah sebagai pribadi yang kudus, menakutkan, mengerikan, pribadi yang sangat hebat tetapi tidak mengasihi. Di sisi lain, ada yang hanya membayangkan Allah sebagai kasih, dan sama sekali mengabaikan sisi kekudusan-Nya. Akibatnya gambaran kasih kita menjadi sangat tidak berimbang.

Api sebagai Ungkapan Kekuatan dan Kuasa
Ungkapan tentang kuasa Allah juga adalah salah satu sisi yang diperlihatkan lewat kasih-Nya. Kekuatan yang diperlihatkan oleh api sangatlah hebat, api bisa melalap habis hutan yang luas atau gedung yang besar dalam waktu singkat. Api memiliki kekuatan yang sangat besar, jadi dari api kita bisa melihat satu lagi karakter Allah, yaitu kuasa-Nya.
Kita harus membayangkan Allah sebagai api yang menghanguskan. Perhatikan bahwa ungkapan api yang menghanguskan itu adalah ungkapan dari potensinya. Api yang disebutkan di sini bukanlah api yang tidak memiliki potensi apa-apa. Api tersebut menghanguskan, kata menghanguskan berarti melahap, menghabiskan segala sesuatu. Tak ada satu hal pun yang tidak terpengaruh oleh kuasa kasih-Nya. Inilah hal yang ingin Dia lihat di dalam hidup kita pada saat karakter kita menjadi semakin serupa dengan-Nya. Ketiga ciri tersebut semakin kuat muncul di dalam diri kita seiring dengan keserupaan kita dengan Kristus. Kita memiliki kasih, kekudusan dan kuasa. Ketiga unsur yang sangat penting.

Pemuridan berkaitan dengan Kasih, Kekudusan dan Kuasa
Apa kaitan ketiga hal ini dengan pemuridan? Semuanya berkaitan erat dengan hal pemuridan. Kita tidak akan mau menjadi murid dari orang yang membuat kita ketakutan karena kekudusannya, kita pasti ingin menjauh darinya. Ada banyak orang yang ketakutan terhadap penginjil besar John Sung karena ada api ini di dalam dirinya, api yang menghanguskan di dalam dirinya. Namun dari api tersebut, juga terpancar kasih yang sangat kuat, sekuat kekudusan yang memancar darinya. Pernah ada seseorang yang datang kepada John Sung dan berkata, “Maukah Anda mendoakan saya?” Didoakan oleh seorang hamba Allah tentulah merupakan suatu berkat yang sangat besar. Dan ketika ia mendatangi John Sung, John Sung menatap wanita itu lekat-lekat lalu berkata, “Engkau telah menjalani dosa yang sangat besar selama sepuluh tahun ini dan masih belum bertobat juga.” Wanita itu sangat terkejut. Hamba Allah yang satu ini melihat masa lalunya. John Sung sama sekali tidak mengenalnya, mereka tidak pernah berjumpa sebelumnya. Akan tetapi Roh Kuduslah yang menyatakan hal itu padanya. 

Jika kita ingin mendekat kepada Allah, kita harus membiarkan api itu menguduskan kitaa. Dan kita tidak akan bisa datang kepada api itu jika masih bergantung pada dosa, karena kita akan terbakar ke arah yang negatif, kita akan jatuh ke penghakiman-Nya, ke bawah kutuk-Nya.
Inilah sebabnya mengapa ketiga aspek dari karakter Allah itu harus ada secara bersamaan. Kita tidak boleh pilih-pilih, kita ingin Allah yang mengasihi tetapi kita tidak mau pada Allah yang kudus. Hal yang begitu tidak akan kita dapatkan, kita hanya bisa mendapatkan Allah dengan ketiga aspek yang lengkap ini. Menjadi seorang murid berarti seseorang harus menjadi serupa dengan gambaran-Nya, meniru Dia. Menjadi seorang peniru Allah adalah ungkapan lain yang digunakan oleh Paulus. Bagaimana kita bisa meniru Dia jika Dia adalah api sedangkan kita bukan api? Meniru Dia berarti kita membiarkan api-Nya masuk ke dalam hidup kita dan kita kemudian menjadi api.

Di hari Pentakosta (Kisah 2:3), disebutkan bahwa Roh turun, lalu apa yang terjadi? Api muncul di atas kepala setiap orang yang berkumpul di sana. Mereka semua menjadi tiang api. Kalau dilihat dari jauh, mereka akan terlihat seperti lilin, berdiri dengan api di atas kepalanya, atau mungkin terlihat seperti semacam lampu. Dengan kata lain, Allah memberi watak-Nya kepada mereka, di dalam tindakan-Nya memberikan Roh Kudus, Allah sedang memberi kepribadian-Nya kepada mereka. Banyak orang yang berkata, “Ya, aku ingin dipenuhi oleh Roh.” Hal itu memang bagus. Namun tahukah kita apa yang sedang kita minta itu? Ada  yang berpikir bahwa yang akan diperoleh adalah bahasa roh, dan karunia yang lainnya. “Aku sudah puas dengan berbahasa lidah. Aku tidak butuh yang lainnya.” Sayang sekali, kita harus mengambil paket lengkap atau tidak memperoleh apa-apa sama sekali. Kita tidak bisa memilih paket apa saja yang kita suka dan menolak apa yang kita tidak suka.

Yesus datang untuk Menyalakan Api
Apa yang Yesus lakukan saat ia di dunia sangatlah jelas. Di Lukas 12:49 dia berkata, “Aku datang ke dunia ini”,  untuk apa?  “Untuk melontarkan api ke bumi.” Apa artinya pernyataan itu? Apa makna sesungguhnya? Banyak yang berpikir bahwa melemparkan api bermakna menjatuhkan penghakiman. Ia akan menghukum dunia seberat-beratnya dengan api kudusnya, akan tetapi itu bukanlah hal yang dimaksudkan Yesus. Di Yohanes 3:17, Yesus berkata, “Aku datang bukan untuk menghakimi dunia melainkan supaya dunia bisa diselamatkan.” Misi kedatangan Yesus bukan untuk menghakimi. Api yang dilemparkan itu bukan untuk menghakimi orang, itu adalah jenis api yang berbeda. Akan tetapi api ini memang jelas akan menyucikan hati kita. Api itu memang akan menghanguskan kita jika hidup kita tidak berkenan kepada Allah. Apa yang dimaksudkan oleh Yesus? Jika bukan untuk menghakimi lalu untuk apa? Ya memang, api memberikan terang dan panas. Namun Allah adalah api yang menghanguskan, lalu untuk apa Yesus datang ke dunia? Untuk melontarkan api Allah yang menghanguskan, tetapi bukan dalam pengertian yang membinasakan. Api itu akan menghanguskan banyak hal dan kita berharap agar kita bisa seperti semak terbakar yang dilihat oleh Musa, yang terbakar tetapi tidak dibinasakan. Jika terdapat suatu hal yang tidak layak pada semak tersebut hal itu pasti akan terbakar, akan tetapi semak itu sendiri tetap tidak binasa.

Tahukah kita apa yang dilakukan oleh Yesus di Yohanes 2:17? Di sana terjadi pembersihan Bait Allah. Ia ingin membuang semua hal yang merupakan penyelewengan, segala bentuk komersialisasi, segala hal yang tidak berkenan bagi Allah di dalam bait-Nya. “Rumah-Ku akan disebut sebagai rumah doa tetapi kamu telah mengubahnya menjadi sarang penyamun.” Dan hal itulah yang dilakukan Yesus di Yohanes 2:17. Ketika murid-murid melihat tindakan Yesus, mereka teringat pada Mazmur 69:10. Apa yang tertulis di sana? “Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan aku.” Cinta mampu menghanguskan, cinta di sini adalah pencerminan dari api, dan api ini yang membakar saya.
Jika kita melayani Tuhan dengan semangat seperti itu, kita memang akan terbakar. Teman saya di lampung, seorang pendoa berkata kepada saya sebelum saya meninggalkan Lampung, “Tolong jangan terlalu berapi-api, kamu terlalu intens. Kamu melayani terlalu keras, tidak ada orang yang bisa bertahan lama dengan intensitas begini.” Lalu ia menceritakan kepada saya tentang David Brainard, orang yang sangat berapi-api melayani Tuhan tetapi akhirnya mengalami “burn out”. 
Memang ada “burn out” yang tidak baik dan juga “burn out” yang baik, kita cenderung hanya mempertimbangkan dampak buruknya. Kita bisa temukan dengan mudah buku-buku yang membahas tentang cara untuk tidak “burn out” di dalam pekerjaan dan sebagainya. Akan tetapi di dalam melayani Allah, saya benar-benar tidak tahu bagaimana cara melayani Dia tanpa semangat yang berapi-api. Saya benar-benar mempunyai niat yang membara untuk memberitakan Firman-Nya dengan kuasa dan selanjutnya saya melihat bagaimana hidup orang diubahkan. Apakah kita menginginkan api ini ada di dalam hati dan diri kita?

Api akan menghanguskan kita dan memang dapat membakar habis diri kita. Saya berulang kali menyebut tentang John Sung karena saya membaca bukunya dan melihat gambaran seorang pribadi yang benar-benar terbakar bagi Allah. Setiap kali membaca bukunya, saya bisa meneteskan air mata. Di tengah kondisi kesehatan yang merosot drastis, ia menolak untuk mengurangi pelayanannya. Ia melanjutkan pelayanan bahkan sampai saat ia sudah tidak mampu lagi berkhotbah sambil berdiri. Ia harus duduk, bahkan kadang kala harus sambil berbaring. Akan tetapi ia masih terus ingin melanjutkan melayani Tuhan selama ia masih bernafas. Salah satu pernyataan yang dibuatnya adalah, “Aku bertekad untuk tidak mati di rumah. Aku tidak akan mati di atas tempat tidur di rumah. Aku akan mati di mimbar.” Saya terharu, “Wah. Berapa banyak pengkhotbah yang mau melakukan itu?” Pergi berkhotbah untuk yang terakhir kalinya. Lalu mati di atas mimbar, ini jelas sesuatu yang luar biasa.

Bayangkanlah apa yang akan terjadi dengan gereja jika setiap pendeta terbakar oleh semangat yang setinggi itu? Yang akan terjadi bukan sekadar ia menjadi api, melainkan api dari Allah yang membara di dalam dirinya akan diimpartasikan kepada orang lain. Itulah yang disebut sebagai pemuridan. Bukan sekadar membagikan pengetahuan saja, karena pengetahuan alkitabiah yang sebagus apapun hanya akan membuat kepala kita semakin besar saja. Jika kita tidak bisa membagikan api dari Allah kepada orang-orang yang bekerja bersama kita atau yang dilatih oleh kita, maka sejujurnya kita sudah gagal. Itu berarti kita memang gagal, yang kita lakukan ternyata hanya memompakan pengetahuan ke dalam benak mereka. Jadi, pekerjaan pemuridan itu memiliki dua sisi. Pertama adalah untuk mendapatkan api itu, kedua adalah untuk mengimpartasikannya.
Saya sangat berhutang budi kepada para pembimbing yang membimbing saya saat saya kembali menjadi Kristen. Mereka adalah orang yang benar-benar terbakar api bagi Allah, suatu tanda manusia Allah yang sejati. Kisah kehidupan mereka sangat luar biasa. Jika kita meletakkan sepotong kayu di atas kayu lain yang sedang terbakar, maka kayu itu juga akan ikut terbakar. Api dari kayu yang satu mengalir ke kayu yang lainnya. Api membakar segala sesuatunya.

Pemuridan tanpa Api tidak ada Artinya
Mempelajari pemuridan adalah hal yang bagus, tetapi apa artinya pemuridan tanpa api? Tidak ada artinya. Tidak ada yang bernilai lagi untuk dibicarakan. Kita mungkin bisa pergi ke sekolah Alkitab untuk mendapatkan tambahan pengetahuan tentang pemurian.
Saya sudah membaca banyak buku tentang pemuridan, saya sudah mencoba mempraktekkannya selama setahun ini. Namun saya bisa berakhir sebagai orang yang sekadar membagikan pengetahuan yang tidak akan mengubah hidup orang lain. Jika saya tidak bisa membagikan api kudus-Nya, maka pelayanan saya sudah gagal.

Konsep api yang menghanguskan di dalam hidup kita ini berkaitan dengan konsep lain dalam PB, khususnya di dalam tulisan Paulus. Paulus melihat kehidupan Kristen sebagai suatu pengorbanan. Di Roma 12:1, dikatakan bahwa kita harus mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup kepada Allah. Itu adalah hal yang harus kita lakukan, jika berbicara tentang pengorbanan, sama artinya dengan berbicara tentang api, karena tidak ada pengorbanan di dalam PL yang tidak diletakkan di atas mezbah untuk dibakar. Korban persembahan dibakar di mezbah. Paulus berkata, “Kamu harus menjadi persembahan yang hidup.” Kalimat itu akan terdengar indah selama tidak kita kaitkan dengan api. Siapa yang mau terbakar? Aku bersedia menjadi persembahan yang hidup selama tidak dekat-dekat dengan api. Namun saat kita makin dekat dengan mezbah, dan kita melihat api itu, kita mungkin berkata, “Wah, mungkin aku harus berpikir ulang tentang hal ini. Urusan menjadi persembahan yang hidup ini tampaknya sudah mulai terlalu jauh. Aku tidak tahu kalau urusan ini melibatkan api.”
Paulus berbicara tentang hal ini di dalam beberapa bagian, bukan hanya di Roma 12:1. Di bagian yang lain ia memakai gambaran yang berbeda, ia memandang dirinya sebagai persembahan yang dicurahkan. Apa maksudnya? Di samping korban bakaran kepada Allah ada juga korban curahan. Kita bisa memakai anggur atau minyak, dan keduanya dipersembahkan bersamaan dengan korban bakaran. Hal ini bisa dibaca di Bilangan 28:6-7, ayat 6 berbicara tentang korban bakaran dan ayat 7 berbicara tentang korban curahan yang dipersembahkan bersama dengan korban bakaran. Dengan memakai gambaran ini, paulus berulang kali berbicara tentang dirinya sebagai persembahan yang dicurahkan bagi orang lain, contohnya di 2 Timotius 4:6. Di akhir hidupnya, paulus berkata, “Aku akan dicurahkan.” Ucapan ini merupakan suatu nubuat, karena berdasarkan sejarah Paulus mati dihukum penggal. Dan saat dipenggal darah akan bercurahan. Paulus berkata, “Aku akan tercurah, tetapi aku sudah menyelesaikan perjuanganku, aku sudah menyelesaikan perlombaan ini, dan di sana telah menunggu mahkota untukku.” Di Filipi 2:17, ia sudah menegaskan hal itu. Dengan kata lain, jauh sebelum kematiannya, ia sudah tercurah. Di Filipi 2:17, Paulus berkata bahwa ia akan dicurahkan sebagai korban persembahan bagi orang-orang yang bukan yahudi, persembahan bagi kita. Suatu kalimat yang sangat luar biasa, ia berkata bahwa kita adalah korban persembahan, dan ia dipersembahkan bersama-sama dengan kita. Kita pergi ke mezbah bakaran dan ia dicurahkan dalam persembahan itu bersama-sama kita.

Hidup yang menjadi persembahan. Apakah kita siap menjadi seorang murid? Apakah kita yakin? Benar-benar yakin? Tahukah kita hal-hal apa yang akan terlibat dalam urusan ini? Tidak adil jika kita tidak diberitahu akan hal ini. Pernahkah kita diberitahu bahwa hal pemuridan ini melibatkan api? Paulus mengatakan hal yang sama di Roma 15:16 saat dia mempersembahkan orang-orang non yahudi. Mengapa? Karena di dalam pemahaman paulus, tidak ada orang Kristen sejati yang tidak menjadi korban persembahan. Menurut dia, setiap non yahudi yang telah datang kepada Tuhan adalah persembahan bagi Allah, yang dipersembahkan oleh paulus sebagai imamnya. Orang-orang bukan yahudi, yaitu kita, dipersembahkan sebagai korban kepada Allah, diletakkan dalam api kudus Allah.
Kita mungkin bukan orang yang fasih berbicara, mungkin tidak belajar teologi, dan mungkin juga tidak punya talenta apa-apa, tetapi itu bukan masalah. Jika api kudus dari Allah membara di dalam diri kita, kita akan mencapai hal yang jauh melampaui hasil gabungan dari para ahli teologi yang tidak memiliki api. Buktikan sendiri ucapan saya ini, kita dapat memberi pengaruh yang sangat besar saat api yang kudus itu ada di dalam diri kita, kita akan menyebarkan api kudus-Nya ke segala penjuru. Api tidak akan mengurung dirinya sendiri, ia akan menyebar dan itulah ciri-ciri api. Ia menyebar ke mana-mana, dan orang lain akan menerima api dari kita. Lalu mereka menyebarkannya lagi kepada orang-orang lainnya. Saat kita memegang lilin yang menyala, lalu ia menyalakan lilin di tangan orang yang lainnya, tak peduli seberapa banyakpun orang yang berkumpul, semua kebagian api itu. Demikianlah, saat kita membagikan api kudus kepada orang lain, kita sedang menyalakan lilin yang ada di tangannya lalu membagikan terus api itu kepada orang yang lain, dan akan semakin banyak orang yang akan memiliki lilin yang menyala. Kita hanya perlu memberikan api kita kepada orang lain, dan lilin orang itu akan menyala. Itulah arti pemuridan!

Saya bisa saja memberikan banyak teori pemuridan kepada kita semua akan tetapi saya tidak mau berbicara tentang teori. Saya tidak berminat pada teori tetapi pada praktek dikehidupan nyata. Api, walaupun terdengar cukup aneh, juga merupakan lambang bagi kehidupan. Saat api padam, maka matilah segala sesuatu. Tanpa pembakaran, mesin tidak bergerak. Apakah yang menjadi penggerak dari motor kita? Mesin yang berfungsi atas prinsip pembakaran (combustion). Api membakar bensin dan hasil pembakaran itu menjadi sumber tenaga. Saya sering memperbaiki motor saya dan menyetel mesin itu bisa menjadi pekerjaan yang sangat sulit. Salah setel, maka aliran bensin mungkin akan menjadi terlalu besar atau terlalu kecil, dan akan menghasilkan pembakaran yang tidak bagus. Jadi saya membeli sebuah alat kecil dan memasangnya dengan baut di bagian silinder tempat pembakaran terjadi. Dengan mengintip ke bagian dalam silinder lewat bagian kaca alat tersebut saya bisa melihat langsung proses pembakarannya. Kekuatan yang dihasilkan dari nyala api, itulah yang menggerakkan mobil.

Bagaimana Mendapatkan Api itu?
Lalu, bagaimana cara untuk mendapatkan api itu? Syarat apa saja yang diperlukan untuk bisa menerima api kudus dari atas agar kepribadian kita menjadi serupa dengan kepribadian Bapa di surga? Alkitab menyuruh kita untuk menjadi seperti Kristus, yang sepenuhnya mencerminkan kepribadian Bapa. Jika Allah adalah api, maka kita juga harus menjadi api. Berapa banyak orang Kristen yang kita kenal yang menjadi api? Apakah kita salah satu di antaranya?
Tahukah berapa lama masa pelayanan John Sung? Hanya 15 tahun. Ia mati di usia 43 tahun. Mungkin kita akan berkata, “Sayang sekali. Jika dia bisa bertahan sampai usia 90 tahun mungkin akan lebih baik. Bukankah begitu?” Tidak, di dalam 15 tahun itu apa yang dikerjakan oleh Allah melalui orang yang satu ini jauh melampaui apa yang dikerjakan oleh kebanyakan orang dengan usia yang jauh lebih panjang. Api yang kudus, efeknya terasa sampai ke hari ini.

1. Tanpa noda atau cacat
Langkah pertama untuk menangkap api ini adalah dengan memahami gambaran tentang pengorbanan. Apakah persyaratan utama di dalam PL bagi hewan korban? Persyaratannya adalah hewan itu haruslah tanpa cacat atau noda, hewan itu harus murni. Tidak boleh ada cacat, atau di dalam istilah PB tidak boleh ada dosa. Salah satu tragedi di dalam gereja adalah begitu banyaknya orang yang menyimpan dosa yang tersembunyi, dosa-dosa yang tersembunyi akan menghancurkan kita. John Sung gemar memakai gambaran membuka peti mati. Kita mungkin berkata, “Apa? Membuka peti mati?” Di dalam bahasa Inggris, ungkapan yang sejajar dengan itu adalah, “Mengeluarkan kerangka dari dalam lemari.” Banyak orang Kristen yang menyimpan begitu banyak kerangka di dalam lemari mereka dan mereka tidak mau Allah memeriksa sampai ke lemari mereka, masalahnya DIA sudah tahu!

Berbicara tentang pemuridan berarti berbicara tentang api Allah, dan api itu akan menghanguskan segala sesuatu yang bertentangan dengan kepribadian-Nya. Apakah kita rela membiarkan Dia mengerjakan hal itu? Atau apakah kita akan melarikan diri dari api itu? Apakah kita akan menyembunyikan diri dari-Nya? Jika kita ingin menjadi seorang murid sejati, jika kita benar-benar ingin melayani Allah dan menjalani kehidupan Kristen yang berguna, bermakna dan dinamis, memang tidak ada jalan lain selain membiarkan api-Nya masuk ke dalam hidup kita. Apakah kita bersedia membiarkan api itu masuk ke dalam diri kita? Apakah kita bersedia mengizinkan Dia masuk?
Firman Tuhan di Ibrani 4:12 adalah seperti pisau bedah yang dengan tajam membedah kita. Ayat itu menusuk ke dalam dan mengungkapkan segalanya. Jadi langkah yang pertama adalah mengakui dosa-dosa dan bertobat dari dosa-dosa. Jika kita tidak melewati tahapan ini, kita tidak usah berpikir untuk masuk ke tahap selanjutnya. Kita tidak akan bisa masuk lebih jauh lagi, jika kita takut atau tidak rela melepaskan dosa-dosa kita, maka pengajaran tentang pemuridan tidak ada gunanya bagi kita dan hanya membuang-buang waktu kita. Kita tidak akan bisa menerapkan segala yang telah kita pelajari, kita tidak akan bisa menerapkannya.

Langkah yang pertama adalah datang ke hadapan Allah dan membiarkan Dia menguji hati kita. Seperti yang dikatakan oleh paulus, “Hendaklah setiap orang menguji hatinya sendiri, melihat apakah ia berada di dalam iman,” dan paulus tidak sedang berbicara kepada orang non Kristen. Ia sedang berbicara kepada jemaat di Korintus, hendaklah setiap orang menguji hatinya sendiri dan jika ia menghakimi dirinya sendiri maka ia tidak akan jatuh ke dalam penghakiman. Jika kita menghakimi diri kita sendiri, maka Allah tidak perlu menghakimi kita.
Setiap hamba Allah yang sejati selalu prihatin akan masalah dosa. Izinkan saya membahas tentang John Sung lagi untuk pokok yang satu ini. Pernah sekali, ia tidak memiliki uang untuk membeli perangko, lalu ada orang yang membayarkan uang 50 sen untuknya. John Sung tidak bisa tidur lelap malam itu karena dia belum bisa melunasi yang 50 sen itu. Anda mungkin berkata, “Yang benar saja. Hanya 50 sen. Ia terlalu membesar-besarkan masalah.” Bagi John Sung, persoalannya bukan terletak pada nilai yang 50 sen itu. Bukan nilai uangnya yang menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah ia tidak mengembalikan uang yang 50 sen itu, dan ia merasa telah mencuri uang dari orang tersebut. Nilainya bisa saja 50 sen atau bahkan 50.000 dolar, tidak peduli berapapun nilainya. Prinsip dosa sama saja. Jadi itulah langkah yang pertama hewan korban haruslah sempurna tidak boleh ada cacat sedikitpun, harus sempurna dalam arti kemurniannya. Tentu saja, hewan tidak berbuat dosa, sejauh yang kita ketahui. Saat, kita berbicara tentang hewan yang tanpa kecacatan, yang dibahas bukanlah masalah jasmani; karena jika kita berbicara tentang diri kita sebagai persembahan, cacat atau noda itu mengacu kepada dosa.

2. Penyerahan Total pada Tuhan
Poin yang kedua adalah persembahkan diri yang utuh sepenuhnya kepada Allah. Akan tetapi tidak usah berpikir untuk masuk ke poin yang kedua jika poin yang pertama belum dilalui. Aspek urut-urutan sangat penting di sini, untuk alasan inilah saya mengajarkan tentang Komitmen Total. Jika Kita bukan seorang Kristen dengan komitmen yang total, maka kita tidak akan tahu apa api itu karena api mencerminkan intensitas dari komitmen total. Ini bukan sekadar perkara mengatakan, “Ya. Aku berkomitmen total.” Kita harus memahami hal-hal apa saja yang terkait dengan masalah komitmen total ini. Karena begitu banyaknya orang yang menjalani kehidupan dalam kekalahan rohani karena mereka tidak pernah menyerahkan hidup mereka sepenuhnya. Tidak pernah berkomitmen total kepada Tuhan.

3. Doa dan Persekutuan dengan Tuhan (Intimacy with GOD)
Langkah penting yang ketiga di dalam menangkap Api Kudus dari Allah tentu saja, adalah DOA. Sekarang ini banyak sekali anak Tuhan yang tidak meluangkan waktunya untuk berdoa karena mereka sangat sibuk menjalankan berbagai kegiatan  sekuler atau pelayanan. Berdoa, bagaimana caranya? Kita harus berhati-hati di dalam membahas perkara ‘bagaimana’ sebab kita akan melangkah ke persoalan teknis. Saya telah mencoba untuk menyederhanakan penjelasannya sebisa mungkin dengan menyatakan bahwa berdoa adalah berkomunikasi dengan Tuhan. “Berseru kepada Tuhan,” sebagaimana yang kita lihat di Roma 10. Di sana disebutkan, “Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan.” Namun berseru dan berkomunikasi kepada Tuhan tidak kita lakukan hanya di saat awal kehidupan Kristen kita, melainkan di sepanjang kehidupan kita.
Di PL, di 1 Raja-raja 8:38, kita dapat melihat suatu pertempuran yang sangat hebat di gunung karmel, antara elia bersama dengan sisa-sisa nabi Allah melawan ratusan nabi baal. Ketika elia berseru kepada nama Tuhan, api datang dari langit dan membakar habis hewan korban. Perhatikan kata ‘membakar habis’. Terdapat satu kaitan antara doa dengan api yang menghanguskan.
Di ayat-ayat sebelumnya elia mempersilakan para nabi baal untuk memanggil sesembahan mereka agar membakar hewan korban milik mereka. Dan setelah seharian mereka berusaha tanpa hasil, lalu elia berkata, “Baiklah. Sudah seharian kalian berjuang, menari-nari, menoreh diri sendiri, dan berdoa tanpa hasil, sekarang tiba giliranku.” Elia berdoa singkat saja, jangan mengira bahwa doa yang efektif adalah doa yang panjang. Tidak jarang doa yang dipanjatkan dengan intensitas Api yang Kudus hanya terdiri dari satu kalimat saja, dan doa yang tidak efektif kadang kala bisa dipanjatkan dalam kalimat-kalimat yang banyak dan panjang sekali sehingga orang lain sampai tertidur. Jika kita memiliki api yang kudus itu, kita hanya akan berkata, “Oh Tuhan,” dan itu saja sudah cukup karena Allah tahu persis apa yang akan kita sampaikan. Itulah yang dimaksudkan oleh Yesus ketika berkata, “Jangan mengira bahwa doamu diterima karena banyaknya kata-kata yang kamu ucapkan.” Doa kita akan didengarkan karena intensitas Api di dalam hati kita.

Apakah kita memperhatikan adanya ciri lain dari api? Jika kita mengamati lilin, maka kita akan mendapati bahwa apinya menuju lurus ke atas. Apinya tidak menuju ke arah lain. Api mengarah ke atas, kepada Allah. Jika kita berdoa, jadikanlah doa kita itu singkat namun padat terisi oleh curahan hati kita dan itulah rahasia doa. Seringkali saya lebih suka untuk berdoa singkat saja, saya berseru kepada Yesus, memuji nama-Nya, dan sekadar berkata, “Yesus atau Bapa di surga.” Saya mengakui-Nya sebagai Tuhan, sebagai Bapa, sebagai Allah yang hidup dan Sahabat. Tidak ada waktu lagi untuk memusingkan kata-kata yang lain. Panggil saja nama-Nya, panggil sampai Api mulai menyala, itulah doa yang membawa Api ke diri kita.

4. Renungkan Firman Allah
Poin selanjutnya adalah merenungkan Firman Allah. Saat merenungkan Firman-Nya, kita akan mulai mengalami hal yang pernah dialami oleh yeremia, api membara di dalam dirinya sehingga ia tidak kuasa menolak dorongan untuk memberitakan Firman Allah pada saat Allah ingin agar dia melakukannya. Pernahkah kita merenungkan Firman dan meminta Tuhan, “Ajarkanlah aku menjalankannya,” sampai kita merasakan Api yang Kudus membara dalam diri kita? Ada banyak orang Kristen yang bahkan tidak mau membaca Alkitab atau jika mereka membacanya, itu karena mereka merasa wajib membaca ketika bersaat teduh. Dan pertanyaan yang muncul di benak mereka hanyalah, “Bagian mana yang harus dibaca sekarang ini?” Mereka mulai membaca dan setelah itu merasa puas diri karena sudah memenuhi tanggung jawab membaca Firman.
Cobalah renungkan satu bagian yang pendek saja dan pikirkan baik-baik. Tanyakan, “Bagaimana aku bisa menjalankannya? Apa yang harus kulakukan sejalan dengan ayat ini?” Renungkanlah sampai Api itu menyala. “Aku berdiam di dalam Firman-Mu siang dan malam,” demikian kata sang pemazmur. Jadikanlah hal itu sebagai bagian dari hidup kita, ingatkah kita ketika para murid membawakan makanan kepada Yesus? Ia berkata, “Tidak, aku mempunyai makanan yang tidak kau ketahui.” Alkitab disebut sebagai roti, roti hidup, dan yang terjadi pada diri kita ketika memakan roti tentunya kita mendapat tambahan gizi makanan. Atau jika kita gantikan gambarannya, maka Firman Allah yang berasal dari Allah adalah Api yang akan membuat hati kita membara.

5. Mempraktekkan Firman
Hal yang kelima adalah untuk selalu mempraktek firman. Jika kita telah merenungkannya, lalu kita sudah memahami kebenaran yang ingin diungkapkan, maka kita harus mempraktekkannya. Saya menantang setiap kita untuk melakukan hal ini, Jika kita hidup melakukan firman, kita tidak akan dingin. Kuasa dari Firman-Nya sangatlah hebat, saya bertekad untuk mempraktekkan apapun yang dikatakan oleh Tuhan kepada saya. Mudah? Sangat susah! Saya harus belajar untuk bergantung pada Allah, bahkan untuk kebutuhan jasmani saya, seperti yang telah saya alami di jakarta. Tuhan memelihara saya seperti yang dikatakan bahwa burung-burung di udara tidak menabur atau menanam, bunga bakung tidak memintal pakaian, akan tetapi mereka dipelihara dan didandani sedemikian rupa, jauh melebihi dandanan para raja. Sungguh sangat indah, itulah perlakuan Bapa terhadap umat-Nya. Itulah pengalaman saya.

Saya merindukan tampilnya orang-orang Kristen yang berani menerima tantangan ini, yaitu pergi melayani Tuhan tanpa sepeserpun uang di kantong. Cobalah lakukan hal itu, inilah ujian iman. Di sepanjang hidup saya, saya mempercayakan sepenuhnya kepada Allah dalam hal pemenuhan kebutuhan saya dan Allah selalu mengerjakan perkara-perkara ajaib. Dan semua itu bukan sekadar untuk saya. Jika kita bisa mempercayai Allah sampai ke titik kita berani untuk berangkat tanpa sepeserpun uang di kantong, maka berarti kita benar-benar memiliki iman. Allah akan menghargai iman kita dan memberikan kita apa yang kita butuhkan sehingga kita tahu bahwa Allah adalah Allah yang hidup. Seiring dengan pengenalan kita yang semakin akrab dengan-Nya, maka Api itu akan menjadi semakin besar. Itulah pengalaman luar biasa di dalam Tuhan, namun pengalaman setiap orang akan berbeda-beda. Praktekkanlah Firman Allah, jika kita memiliki iman apa yang akan terjadi? Yesus berkata bahwa kita bisa memindahkan gunung. 
Praktekkanlah Firman Allah. Allah berkata, “Percayalah pada-Ku.” “Jika engkau percaya pada-Ku, jika engkau memiliki iman kepada-Ku, engkau akan bisa mengerjakan hal yang mustahil.” Katakanlah kepada gunung itu, berpindahlah, maka ia akan berpindah. Rintangan itu tidak akan menghalangi langkah dalam kehidupan kita. Bukankah ini suatu kehidupan Kristen yang ajaib?

6. Cinta kepada Rumah Bapa
Poin yang keenam adalah cinta kepada rumah-Nya. Kita melihat hal itu di Yohanes 2:17. Jika kita ingin menangkap api dari Allah, salah satu hal yang perlu kita kerjakan adalah pergi melakukan sesuatu bagi rumah-Nya. Apa itu rumah? Bait-Nya. Apa itu bait-Nya? Di dalam Perjanjian Baru itu berarti tubuh Kristus, jemaat. Rumah Allah adalah di mana Allah berdiam. Dan Paulus berkata, “Kamu adalah Bait Allah Yang Hidup.” Jika kita mencintai rumah-Nya, maka api itu sudah mulai membara. Pergi dan lakukanlah sesuatu. Banyak sekali orang Kristen yang tenggelam di dalam persoalannya sendiri, selalu saja berkata, “Aku punya masalah ini, masalah itu, dan sebagainya.” Dan para pendeta seringkali terkuras waktu dan tenaganya hanya untuk menasehati jemaat yang berputar-putar di dalam lingkaran persoalan pribadi. Tahun demi tahun, persoalan mereka bertambah terus. Orang-orang ini tidak pernah masuk ke Tanah Perjanjian. Dan pelayan Tuhan terkuras tenaga serta waktunya untuk menangani orang-orang semacam ini, orang-orang yang hanya mementingkan diri serta masalahnya sendiri.
Saat api itu mulai menyala, kita akan kehilangan fokus terhadap kepentingan pribadi kita. Kita tidak lagi memikirkan urusan pribadi kita, paling tidak hal itu akan semakin mengecil seiring dengan semakin besarnya api itu. Saat api mulai menyala, begitu banyak hal yang bisa kita lakukan tanpa disuruh siapa pun. Jika kita melihat ada orang di gereja yang sakit dan membutuhkan pertolongan, orang yang kesepian, yang ketakutan, kita bisa mengangkat handphone kita, menghubungi dia dan chat dengannya. Bukankah ini akan membuat kita melupakan persoalan pribadi kita untuk sementara dan membantu kita memusatkan perhatian atas persoalan orang lain?

Seseorang pernah bertanya kepada saya, “Apakah anda tidak pernah memiliki persoalan pribadi?”
Saya jawab, “Tidak tahu, saya tidak punya waktu untuk memikirkan hal itu. Waktu saya tersita untuk memikirkan persoalan orang lain. Mungkin saya memang punya masalah pribadi tetapi saya tidak tahu apa itu. Saya terlalu sibuk mengurusi yang lain.
Cobalah lakukan ini sekali waktu. Biarkan cinta Allah kepada rumah-Nya begitu membakar kita sehingga kita begitu menaruh perhatian kepada kesejahteraan saudara dan saudari kita. Dan kita akan terheran-heran, “Ke mana perginya persoalan saya? Saya tidak ingat lagi persoalan apa itu.” Bukankah itu ajaib? Dalam membantu orang lain, persoalan kita sendiri lenyap. Saya yakin setiap orang punya persoalan.

7. Bersaksi bagi Tuhan
Poin yang ketujuh adalah bersaksi bagi Dia. Bersaksi adalah jalan untuk menerima Api dari-Nya dan membagikan api itu. Seringkali, jika kita tidak berbuat apa-apa bagi Tuhan, maka kita tidak akan mengalami kuasa-Nya. Pada saat kita mulai berbuat sesuatu bagi Tuhan, maka kuasa Tuhan datang kepada kita. Dengan kata lain, kuasa itu tidak diberikan kepada kita untuk dimasukkan ke dalam kantong, lalu kita bebas keluyuran ke sana kemari dengan kuasa di kantong sambil mengagumi kuasa itu. Kuasa hanya diberikan saat kita mengerjakan sesuatu, saat kita melayani, saat kita dengan setia menjalankan Firman-Nya, kuasa itu datang di saat kita menjalankan Firman-Nya. Jika tidak berbuat apa-apa, maka kuasa itu tidak datang. Semakin kita giat berkarya bagi Tuhan, termotivasi oleh kasih-Nya, semakin kita mengalami keajaiban kuasa-Nya. Kadang kala di saat kita sedang prihatin akan seseorang, dan mengasihinya dengan tulus dan kudus, lalu kita berdoa bagi orang itu, kita akan terkejut pada hal yang akan terjadi. Mungkin Tuhan akan memakai kita untuk menyembuhkan orang sakit, tetapi jangan mengutamakan karunia kesembuhan. Kesembuhan hanyalah sesuatu yang datang bersamaan dengan datangnya api itu. Jika kita sedang terbakar oleh api bagi Tuhan, bahkan roh-roh takut kepada kita. Mereka akan menjauh dari kita karena mereka melihat api itu di dalam diri kita. Kita memang tidak melihat api itu secara kasat mata, orang lainlah yang bisa melihatnya. Pada waktu api yang kudus itu datang di hari Pentakosta, para rasul saling menatap satu dengan yang lain, dan mereka berkata, “Hey lihat! Ada api di atas kepalamu,” akan tetapi mereka tidak bisa melihat api di atas kepalanya sendiri, dan mereka hanya bisa berkata, “Di atas kepalamu juga ada.” Itulah keindahan dari kehidupan Kristen. Jadi di dalam menjalankan kehendak Allah, kita akan mengalami Dia di dalam segala kepenuhan-Nya, di dalam kuasa-Nya.

8. Bersekutu dengan Orang yang memiliki Api
Ini adalah poin yang penting, satu cara untuk menangkap Api yang Kudus itu adalah dengan bersekutu dengan mereka yang memiliki Api itu agar mereka bisa membagikannya kepada kita. Jika gembala diCOOL kita adalah orang yang memiliki Api itu, datangilah dia dan katakan, “Saya ingin selalu dekat dengan Anda agar bisa menerima Api itu. Saya akan mengikut Anda sampai Api itu menyala di dalam diri saya.”
Seperti Elia dengan Elisa, inilah pola pemuridannya. Elisa mengikut Elia sampai Api itu menyala di dalam dirinya. Jika kita bertemu dengan orang yang memiliki api itu, maka kita sangat diberkati, kita bisa menangkap api itu. Tidak mungkin kita tidak bisa menangkap Api itu jika kita bersama dengan orang yang memiliki Api karena begitu kuatnya kasih mereka kepada Tuhan. Kemuliaan Api yang Kudus itu akan menyebar dan gereja akan dibangkitkan melalui kita, akan semakin banyak orang yang mengalami Allah melalui kita. Banyak jiwa akan berubah, Api-Nya sanggup mengubah kehidupan.

Tetap semangat didalam Firman Tuhan dan Salam Revival!!
Tuhan Yesus memberkati

Senin, 25 Juli 2016

Movie Night!!!

"TO WIN THE FIGHT, you've got to have the right strategy & the right RECOURCES. Because VICTORIES don't come by accident."

MOVIE NIGHT with COOL HEY
28/7'2016 - 7PM
➡Prayer is a Powerfull Weapon⬅

at Jl. Pluit Selatan Raya No.08A Nissan Showroom lt. 2

contact person
Lillian : 081513008908
Nicky : 085378098107

Jumat, 22 Juli 2016

Salib Kita dengan Salib Kristus (pikul salib part.1)

Shalom sahabatku, hari ini kita membahas Matius 10:34-36, dan melihat apa yang Yesus maksudkan ketika dia berkata, “Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.” Kita telah melihat bahwa pedang yang dimaksud itu adalah salib, bahwa  Yesus datang membawa salib ke dunia.

Apa hubungan salib kita dengan salib Kristus?

Di Matius 10:37 berkata, “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku” ini berkaitan dengan hal kelayakan. Di pesan ini kita akan membahas ayat 38-39, “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku. Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.”

Kita tentu tau mengenai keajaiban dari salib Kristus. Kita melihat bahwa, hanya melalui salib Kristus dan juga darah yang mengalir di salib itu, maka kita bisa memperoleh keselamatan kita. Akan tetapi bagaimana karya keselamatan ini bisa menjadi efektif di dalam hidup kita? Salib Kristus sungguh ajaib dan darahnya dapat menghapus dosa. Akan tetapi bagaimana salib itu bisa menyelamatkan kita?

Jika salib Kristus menyelamatkan kita, lalu mengapa Yesus berkata, “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:27)? Bagaimana cara untuk memadukan kedua hal tersebut? Salib Kristuskah yang menyelamatkan kita, atau kita juga harus memikul salib kita? Dia tidak berkata, “Kamu boleh memikul atau tidak memikul salibmu, sesuka hatimulah, asal kamu percaya pada-ku, maka tak ada masalah.”Yesus berulangkali berkata, “Jika, dan hanya jika, kamu memikul salibmu, baru kamu bisa menjadi milikku sebagai murid-ku.” Kata Yesus, “Barangsiapa” (ini berarti ayat ini ditujukan kepada semua orang), “tidak memikul salibnya, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Kita sebelumnya juga sudah melihat bahwa kata “murid” tidak mengacu hanya pada orang-orang yang terpilih di tengah Gereja. (Kata murid menunjuk kepada semua orang Kristen di dalam Alkitab. Sebelum mereka disebut sebagai “orang Kristen”, mereka disebut sebagai “murid-murid.” Dan baru belakangan di antiokhia para murid itu disebut sebagai “orang Kristen” oleh orang dunia.) Nah, jika demikian halnya, berarti kita terjepit di antara salib Kristus dan salib yang harus kita pikul. Dimanakah harusnya kita berdiri?

Di jaman ini, pada umumnya kita diberitahu bahwa salib Kristus, dan hanya salib Kristus saja, yang menyelamatkan kita. Jika memang begitu, maka kita tidak memerlukan lagi ajaran Yesus yang menyuruh kita untuk memikul salib. Tidak heran jika banyak penginjil jaman sekarang yang tidak tahu harus berbuat apa dengan ayat-ayat ini. Kita diberitahu bahwa kita diselamatkan hanya oleh kematian Kristus saja. Hanya salib Kristus saja yang penting. Lantas apa gunanya berbicara tentang hal memikul salib? Apa perlunya berbicara tentang hal memikul salib jika yang menyelamatkan kita adalah salib-Nya? Jika salib Kristus saja yang menyelamatkan kita, mengapa saya harus memikul kita?

Jika saya menanyakan hal ini kepada sahabat sekalian, bagaimana jawaban sahabat? Jika kita disuruh untuk memikul salib kita dan mengikut Yesus, apakah itu berarti bahwa usaha kita memikul salib kita itu yang menyelamatkan kita? Lalu apakah kita ini diselamatkan oleh kasih karunia atau oleh usaha kita dalam memikul salib kita? Oleh yang manakah kita diselamatkan?

Sahabat perhatikan, kita tidak diberikan pilihan untuk tidak memikul salib, karena kita baru bisa menjadi milik Yesus jika kita memikul salib. Dan kalau kita baru bisa menjadi milik Yesus dengan memikul salib, berarti kesimpulannya adalah bahwa kita baru diselamatkan kalau memikul salib. Jadi bagaimana menjawab persoalan ini? Apakah kita diselamatkan oleh salib Kristus atau oleh karena memikul salib kita? Atau apakah kita diselamatkan oleh keduanya, yaitu oleh kasih karunia dan oleh karena kita memikul salib kita? Atau apakah kasih karunia itu tidak utuh sebelum kita menambahkan usaha kita ke dalamnya? Tetapi bagaimana kasih karunia itu pantas disebut sebagai kasih karunia jika kita menambahkan usaha kita sendiri ke dalamnya?

Pertanyaan ini sangat sulit, bukankah begitu? Bagaimana cara kita menjawabnya? Tidak pernahkah pertanyaan ini terlintas di benak kita saat membaca Alkitab? Dan jika memang pernah terlintas, lalu apa jawaban kita? Atau apakah kita malah menghindari pertanyaan ini?

Di jaman ini, kita diberitahu bahwa kasih karunia adalah pemberian cuma-cuma dari Allah di mana Kita tidak perlu mengupayakan apa-apa untuk itu. Akan tetapi jika kita tidak melakukan apa-apa dan tidak memberi apa-apa, bagaimana mungkin kita diminta untuk memikul salib juga? Karena memikul salib berarti memberi segala-galanya. Karena memikul salib berarti memberi segenap kehidupan kita untuk mati di kayu salib.

Pada jaman itu, orang tidak menjadikan salib sebagai perhiasan mereka. Mereka juga tidak memikul salib untuk berolah raga. Jadi apa yang kita kerjakan saat sedang memikul salib? Kita sedang memikul alat yang akan mengeksekusi kita. Lalu apakah kita ini diselamatkan oleh kematian Yesus atau kematian kita? Jika kita harus memikul salib kita, maka itu berarti kematian kita. Jadi, apakah kita diselamatkan oleh kematian Kristus dan juga kematian kita?

Betapa dangkalnya pemikiran orang Kristen di jaman sekarang ini! Mengapa pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang keselamatan itu tidak diperhatikan? Demi keselamatan kekal kita, bukankah kita berhak untuk mengetahui apa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu? Bukankah seharusnya sudah menjadi tanggung jawab para pendeta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut? Bukankah seharusnya mereka memberitahu umat tentang apa maksud Yesus membuat persyaratan ini bagi keselamatan kita? Lalu apakah jawabannya? Bagaimana kita akan memahami persoalan ini? Saya hampir saja tergoda untuk berhenti pada pertanyaan ini dan membiarkan sahabat sekalian bergumul dengan pertanyaan ini, agar setelah bersusah payah menggumuli pertanyaan ini, sahabat nanti akan chat/email ke sini dan berkata, “Nah, apakah jawabannya?”

Dan sekarang ini, saya akan meninggalkan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada sahabat sekalian, sementara saya meneruskan dengan pembahasan selanjutnya.

Tiga kata yang berkaitan dengan hal memikul salib

Pertama-tama, saya ingin meluruskan makna dari ajaran Yesus ketika dia berkata, “Kalau kamu tidak memikul salibmu, kamu tidak dapat menjadi murid-Ku.” Kita melihat bahwa Yesus memakai tiga kata yang berbeda sehubungan dengan hal memikul salib ini.

1. Mengambil, mendapatkan, menerima salib (to take hold of, to receive, to accept)

Pertama, di Matius 10:38, kata Yunani yang digunakan adalah kata yang umumnya berarti ‘mengambil’ (lambano: mengambil salib). Kata ini menunjuk pada memegang salib atau mengambil salib, belum memikulnya. Di dalam bahasa Inggris, kata ini diterjemahkan secara tepat dengan kata take (mengambil). Makna kata itu memang sekadar ‘mengambil’. Jika saya memberi kamu sesuatu, kamu cuma perlu mengambilnya. Ini adalah kata bahasa Yunani yang lazim dipakai untuk makna ‘mengambil’. Jadi kata pertama yang Yesus gunakan adalah, “Kita perlu mengambil salib.” Dan cukup benar pula jika kata ini diartikan mendapatkan, atau menerimanya. Saat kita mengambil salib, itu adalah langkah pertama yang kita ambil.

2. Menaikkan, mengangkat salib

Beberapa pasal kemudian, di Matius 16:24, Yesus menggunakan kata yang lain lagi. Kata yang dipakai di sini adalah ‘mengangkat’ salib. Kata ini di dalam bahasa Yunani, airo tidak sekadar bermakna mengambil sebagaimana kata lambano di Matius 10:38, tetapi kata ini berarti mengangkat, menaikkan salib ke pundak. Perhatikan bahwa sebelum Kita mengangkatnya, kita harus mengambilnya dulu. Jadi kita melihat adanya perkembangan. Perkembangan ini adalah, setelah kita mengambil salib itu, kita mengangkatnya, yaitu, menaikkannya di pundak kita. Kata airo ini juga dipakai di dalam Matius 27:32. Di ayat ini Simon dari Kirene dipaksa oleh pasukan roma untuk membawa salib Yesus. Pasukan Roma menahan dan menyuruh Simon untuk mengangkat salib Yesus, karena Yesus sudah terlalu lemah untuk memikul salibnya setelah dipukuli dan menderita semalaman. Jadi kita melihat adanya perkembangan dari ‘mengambil’ menjadi ‘mengangkat’.

3. Memikul salib (to endure) 

Masih kata ketiga yang dipakai dalam hal memikul salib ini, yaitu di Lukas 14:27. Di sana, kata yang dipakai adalah ‘memikul’ salib (bastazo). Di sana, Yesus berkata, “Barangsiapa tidak memikul salibnya…” Ini adalah langkah yang lebih maju lagi. Pertama kita sekadar mengambilnya, dan bukan cuma itu saja. Akan tetapi kita harus mengambil langkah lanjutannya, yaitu menaikkan salib itu ke pundak kita. Dan sekarang Lukas 14:27 berbicara tentang menanggung penderitaan salib. Kata yunani yang berbeda digunakan di sini. Dan kata ini mengandung makna penderitaan.

Di Matius 20:12, kata ‘bastazo’ yang sama dipakai dalam “kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung (ini sama dengan memikul beban, menderita) panas terik matahari”. Juga di Matius 8:17 kata ini dipakai untuk mengungkapkan fakta bahwa Kristus menanggung, yaitu, tidak sekadar membebankan penyakit kita ke pundak-Nya, namun Dia menanggung penyakit kita baik secara rohani maupun jasmani.

Kini kita bisa melihat adanya perkembangan pemikiran. Terdapat perkembangan di dalam ajaran Yesus tentang hal memikul salib. Lalu bagaimana kita akan memahaminya? Di sini, Yesus berkata, “Untuk menjadi muridku, kita harus mengambil tiga langkah.” Langkah pertama adalah mengambil salib. Dan yang kedua adalah menaikkannya ke pundakmu. Dan yang ketiga adalah pergi ke Kalvari sebagaimana yang telah dilakukan oleh Yesus. Sungguh amat indahnya karena kata yang ketiga itu juga dipakai untuk menyatakan apa yang dilakukan oleh Yesus di Yohanes 19:17Sambil memikul (ini kata yang ketiga) salib-Nya Ia pergi ke luar ke tempat yang bernama tempat tengkorak, dalam bahasa ibrani: Golgota, yaitu ke Kalvari. Jadi di sini kita bisa melihat apa yang menjadi syarat untuk menjadi milik Yesus. Bagaimana cara kita untuk dapat memahaminya?

Pada tahapan yang manakah kita menjadi seorang murid?

Lalu pada tahapan manakah kita menjadi seorang murid? Di tahap yang pertama atau yang ketiga? Apakah kita menjadi murid Kristus hanya setelah kita menderita bersama dengan dia? Tidak.

Pada tahap mengambil salib, syarat pemuridan sudah terpenuhi. Kita, paling tidak harus memiliki kesediaan untuk mengambil, untuk menerima salib dengan niat untuk pergi menyusuri jalan menuju Kalvari. Untuk saat ini, kita telah mengambil salib itu; kita telah menerima salib itu. Kita sedang dalam perjalanan menuju kematian. Kita sedang dalam perjalanan menuju kehilangan hidup kita.

Kedua, mengangkat salib itu menunjukkan bahwa kita bersedia untuk menjadikan salib itu sebagai milik kita. Kita berada di jalan keselamatan di saat kita bersedia untuk menjadikan salib sebagai milik kita, untuk memeluk alat yang akan mengeksekusi Kita. Di titik ini, kita mungkin berkata, “Wah, berat sekali!” Dan kita bisa melihat mengapa tidak banyak penginjil yang mau menyampaikan hal ini.

Bukankah lebih mudah untuk berkata, “Kita tidak perlu melakukan apapun. Semuanya gratis!”? Oh, ini mudah sekali! Seandainya saja saya diberi kesempatan untuk menjadi penjual obralan. Cuci gudang: “Cukup dengan tiga ribu rupiah sahabat bisa mendapatkan semuanya!”

Tapi saya ingin bertanya, apakah dengan cara itu berarti saya setia pada ajaran Tuhan saya? Apakah saya bisa setia pada Firman Tuhan? Saya lebih suka dikutuk oleh dunia, saya tak peduli dunia mau berkata apa pun tentang saya akan tetapi saya harus setia kepada kepada Tuhan. Jadi, kita melihat di dalam poin yang kedua bahwa kita harus bersedia untuk menjadikan salib itu sebagai milik kita jika kita ingin menjadi milik Yesus. Itu artinya bahwa kita harus bersedia kehilangan nyawa kita.

Apa arti kehilangan nyawa itu, akan kita lihat sebentar lagi.

Yang ketiga, menanggung penderitaan salib berarti menunjukkan bahwa kita bersedia mengalami salib di dalam hidup kita. Sungguh enak jika kita bisa diselamatkan cukup dengan percaya bahwa Yesus telah menanggung penderitaan; kita tidak perlu menderita apa-apa. Sekali selamat tetap selamat hanya cukup Dia yang menderita. Hebat sekali! Selama Yesus yang menderita, maka saya tak punya penderitaan untuk ditanggung. Pengabaran keselamatan semacam itu sungguh menyenangkan hati. Bukankah pengabaran semacam itu yang sering kita dengar? “Yesus telah menanggung semua penderitaan bagi dosa-dosa kita, jadi kita tidak perlu menderita apa-apa lagi. Oh, enak sekali!” Namun saya harap kamu masih ingat dengan pertanyaan-pertanyaan yang saya sampaikan kepada kamu di bagian awal tadi. Jika memang demikian halnya, lalu mengapa kita juga dituntut untuk menderita?

Bagaimana kalau kita anggap ayat-ayat ini tidak pernah ada di dalam Alkitab? Bagaimana kalau kita lupakan bahwa Yesus pernah mengajarkan hal ini, dan berulangkali mengajarkan hal ini, sehingga membuat kita merasa tidak enak? Tentunya akan terasa lebih nyaman. Sungguh tidak mengenakkan untuk mendengar pembahasan di mana Yesus kemudian berkata, “Jika kamu tidak bersedia mengalami salib dalam pengalaman keseharianmu, maka kamu tidak bisa menjadi murid-Ku.”

Salib tidak boleh sekadar menjadi sesuatu yang harus ditanggung oleh Yesus, tetapi salib juga harus menjadi milik kita sepenuhnya di dalam hati kita.

Lalu bagaimana tepatnya cara kita mengalami penderitaan salib? Jika kita menerima ejekan karena kita adalah orang Kristen, tidakkah kita sedang menderita bagi Kristus? Dia juga dihina. Jika keluarga kita menolak kita karena kita adalah orang Kristen, tidakkah kita sedang mengalami salib di dalam hidup kita? Kita telah mengambil satu langkah maju yang kecil untuk mengalami salib. Saat kita bersaksi pada orang lain demi Kristus dan mereka menolak kita, dan menghina kita, bukankah kita mulai mengalami apa yang Yesus derita? Akan tetapi salib itu berkelanjutan. Masih ada banyak sekali hal yang menanti kita di depan. Saat, demi Kristus, kita melepaskan pekerjaan kita, profesi kita, untuk pergi dan melayani Allah, dan orang-orang mengejek kita. Atau kita mengalami kerugian keuangan yang sangat besar, tidakkah kita sedang mengalami apa yang Yesus derita ketika dia membalikkan punggungnya dari dunia?

Yesus berpaling dari dunia

Jika sahabat perhatikan seperti apa pribadi Yesus itu, saya pikir tak akan menjadi perkara yang sulit bagi Yesus untuk menjadi Raja Israel atau sekalian menjadi Raja dunia. Yesus bisa memimpin kumpulan orang banyak. Kemana pun Yesus pergi, berduyun-duyun orang mengikuti Dia dalam jumlah ribuan. Jika Yesus ingin memimpin sebuah pemberontakan, tidak akan ada masalah. Dia akan segera memiliki pasukan besar yang mendukungnya! Jika sahabat pelajari sungguh-sungguh sosok yang bernama Yesus ini, Dia bisa saja mengambil apa pun yang Dia kehendaki di dunia ini. Dengan satu kata saja, Dia bisa langsung menguasai Yerusalem. Dia bisa saja memimpin ribuan orang bergerak menuju Yerusalem sambil berseru, “Diberkatilah Dia yang datang di dalam nama Allah!” Dan Yesus cukup berkata, “Cabutlah pedangmu! Kita akan mengambil alih Yerusalem!” Maka orang-orang itu akan menyerbu dengan penuh semangat! Mereka menunggu Yesus mengeluarkan perintah itu!

Kecemerlangan otak Yesus sangatlah luar biasa. Kita menghabiskan sebagian besar hidup kita hanya untuk bisa memahami sedikit saja dari kedalaman pemikiranNya. Perhatikanlah kehebatan pikiranNya ketika Dia ditanyai oleh orang-orang Farisi, “Haruskah kita membayar pajak kepada kaisar atau tidak?” Dengan satu jawaban yang menusuk, Yesus memecahkan persoalan. Apakah jawaban yang akan kita berikan atas pertanyaan semacam itu? Kita mungkin hanya bisa bergumam sambil menggaruk-garuk kepala kebingungan. Saya tidak yakin apakah saya bisa menjawab jika dijebak dalam situasi seperti itu. Yesus cukup menatap mereka dan memberi satu jawaban, dan mereka terdiam. Mereka bahkan tidak tahu harus berkata apa setelah itu. Kecemerlangan otaknya sungguh mengagumkan!

Orang-orang berkata, “Belum pernah ada orang yang berbicara seperti Yesus ini!” Mereka terpesona pada kuasa yang muncul dari kata-kataNya. Ketika para pemimpin bangsa mengirimkan pasukan untuk menangkap Dia, apa yang terjadi pada para anggota pasukan ini? Mereka kembali dengan tangan kosong. Mereka dikirim untuk menangkap Yesus, tetapi apa yang justru mereka lakukan? Mereka malah ikut berdiri menonton Dia berkhotbah dan lupa pada tujuan kedatangan mereka. Jadi, kita bisa melihat bagaimana kuasa dan kecemerlanganYesus.

Akan tetapi Yesus tidak menginginkan dunia. Yesus bisa saja menaklukkan dunia di bawah kakiNya karena pada masa itu tidak ada seorangpun yang sanggup menyaingiNya. Jika sahabat teliti sejarah di zaman itu, ada begitu banyak orang-orang kecil yang menjadi raja-raja dan pemimpin-pemimpin dari berbagai bangsa. Orang seperti Yesus jelas akan segera mendominasi seluruh panggung jika Dia menghendakiNya, akan tetapi Yesus tidak menghendaki dunia.

Pada saat pencobaan, si jelek sudah menawarkan dunia kepadaNya. Yesus tidak menginginkan itu. Lalu apa yang Dia inginkan? Dia menginginkan salib! Sahabat bisa saja berkata, “Hal ini tidak masuk akal!” Orang yang bisa saja memiliki seluruh dunia ternyata hanya meminta satu hal: untuk mendapatkan salib. Dia yang bisa saja menguasai seluruh kehidupan di dunia ini tetapi malah yang Dia kehendaki adalah untuk bisa kehilangan nyawaNya.

Jangan lupa pada wibawa Sosok ini. Ketika Yesus berdiri di hadapan pilatus, gubernur pemerintah roma, orang paling berkuasa di Israel pada masa itu, tetapi Yesus malah membuat pilatus terlihat seperti seorang anak kecil. Jika kita teliti suasana saat Yesus diadili, kita akan bingung sebenarnya siapa yang sedang mengadili siapa. Tampaknya, seolah-olah, justru pilatus yang sedang mengajukan permohonan bagi pembebasan nyawa Yesus. Dan ketika Yesus berdiri di hadapan raja herodes, Dia mengabaikan herodes seolah-olah raja ini bukan orang penting, karena di dalam sekali pandang saja, Yesus dapat melihat ke dalam hati herodes dan tahu bahwa Dia tidak perlu membuang-buang waktu dengan orang macam ini. Satu-satunya jalan untuk menolong orang itu adalah dengan membawanya ke tingkatan yang layak baginya – dengan memecahkan gelembung kecongkakannya.

Di sini kita bisa melihat, jika kita mengamati Yesus, kita akan terpesona pada keagungan-Nya. Dia yang bisa saja menguasai dunia, malah berpaling dari dunia.

Jadi, jika kita berpaling dari dunia, sebenarnya apakah yang sedang kita lakukan? Kita sedang belajar untuk memahami apa arti memikul salib. Kita sedang belajar untuk mengalami apa yang pernah Yesus alami. Yesus, sesungguhnya, bukanlah orang yang bodoh karena berpaling dari dunia. Dia mencari perkara yang kekal. Kita yang telah berpaling dari dunia juga sedang mencari perkara yang kekal. Demikianlah, sekarang kita mengerti makna dari mengalami salib lewat cara ini.

Banyak yang telah berpaling dari dunia

Seperti yang Paulus katakan, “Aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sebagai sampah.” Jika sahabat pelajari surat yang ditulis orang ini, yaitu Paulus – orang yang juga bisa mendapatkan dunia, dan betapa dia sebenarnya telah mendapatkannya – Sahabat akan segera menyadari bahwa kita sedang berhadapan dengan orang yang punya pemikiran yang hebat. Di sepanjang sejarah, orang-orang menggambarkan Paulus sebagai orang yang jenius. Jika kita pernah mencoba untuk mempelajari tulisan-tulisan Paulus, kita akan tahu betapa sulitnya menggapai ketangkasan dan kecemerlangan pikirannya. Dia adalah orang yang juga bisa mendapatkan dunia tetapi memilih salib.

Saat saya mempelajari sejarah Gereja, saya melihat ada banyak orang yang memiliki kemampuan dan prestasi sangat dahsyat. Belum lagi jika kita teruskan sampai dengan abad ke-20, di abad ini kita melihat orang dengan prestasi seperti John Sung yang juga bisa saja mendapatkan dunia akan tetapi malah memilih salib.

Walau tidak penting, ada juga beberapa orang yang mengatakan hal yang sama kepada saya, “Kalau kamu terjun ke dunia, kamu pasti akan menjadi orang penting. Kalau kamu tetap di Gereja, kamu tidak menjadi apa-apa.” Bagi saya, dengan segala kerendahan yang ada pada saya, saya juga puas dengan memilih salib, memeluk salib, mengambilnya, menaikkannya ke atas pundak saya, dan belajar sedikit tentang apa arti penderitaan serta mengalami salib di dalam hidup saya. Namun, tentu saja ini bukan untuk bermegah.

Sahabat sekalian tidak perlu melihat Paulus atau John Sung, yang membuat orang-orang berkata, “Wah! Mereka sungguh hebat!” Kita sendiri, apakah yang sedang kita kerjakan? Kita sebenarnya sedang melakukan apa yang Yesus perintahkan kepada kita untuk dikerjakan jika kita berhasrat untuk memperoleh hidup yang kekal. Dan kita melakukan hal ini cukup dengan menyerahkan diri kita kepada Yesus.

Banyak orang Komunis yang kehilangan segalanya demi perjuangan mereka

Yah, kita harus mengakui bahwa kita semua lemah. Saya juga mengakui bahwa kadang kala, di saat-saat saya sedang merenungkan persoalan-persoalan, saya merasa putus asa. Ketika saya membaca kisah-kisah di masa perang, misalnya pada waktu para prajurit menyerbu kubu pertahanan musuh, kadang kala mereka sampai bertengkar mengenai siapa yang berhak mendapat kesempatan istimewa meletakkan bahan peledak di kubu musuh. Bagi mereka, adalah suatu kehormatan untuk mengorbankan diri. Saat saya membaca kisah-kisah tersebut, saya merasa malu dengan kehidupan orang Kristen. Jika ada pekerjaan yang harus dilaksanakan, dan kalau pekerjaan itu melibatkan penderitaan yang harus ditanggung, maka orang-orang Kristen selalu berusaha untuk menjadi yang paling terakhir berangkat. “Kamu dulu yang berangkat.”

Berapa banyak orang komunis yang bergabung ke partai dengan mengorbankan keluarga, pekerjaan dan harta mereka? Mereka korbankan segalanya demi partai mereka. Namun sekarang ini, ada juga orang Kristen yang memandang sebagai hal yang tidak masuk akal jika mereka harus mengorbankan pekerjaan mereka demi Kristus, apalagi jika sampai mengorbankan nyawa mereka. Orang-orang komunis ini sepertinya dengan enteng dapat melepaskan semua hal itu. Mereka seolah-olah memiliki semangat yang lebih dekat dengan Paulus, ketimbang orang-orang Kristen zaman ini. Mereka menanggung kehilangan segala-galanya dan memandang semua itu sebagai sampah.

Saya pikir orang-orang Kristen perlu membaca catatan kisah Long March, perjalanan sejauh 8,000 mil yang ditempuh oleh pasukan komunis. Dan itu bukanlah suatu perjalanan tamasya di mana kita bisa memanggul ransel di punggung kita, tetapi suatu perjalanan panjang melintasi pegunungan dan sungai-sungai, melintasi salju dan es, menghadapi udara panas dan dingin! Dari seluruh pasukan yang berangkat, hanya sedikit yang tiba di propinsi Yan An. Sebagian besar tewas di tengah jalan, entah karena pertempuran, kedinginan, penyakit atau pun kelaparan. Akan tetapi adakah terdengar suara keluhan? Bacalah buku tentang The Long March itu. Air mata sahabat akan menetes dan rasa malu akan memenuhi hati kita dan kita mulai berpikir, “Orang Kristen macam apakah aku ini?” Orang-orang itu meninggalkan istri-istri, anak-anak, orang-orang yang mereka kasihi, rumah, kekayaan, segala-galanya, untuk memperjuangkan idealisme mereka dan mereka sampai kehilangan nyawa di sana.

Adakah prajurit yang tidak perlu berkorban?

Dan di manakah orang-orang Kristen sekarang ini? Yang kita lihat di dalam Gereja sekarang ini, adalah orang-orang Kristen yang memburu tempat bagi mereka di Surga secara gratis! Mereka sangat terusik dengan orang-orang yang memberitahu mereka bahwa ada pengorbanan yang harus dilakukan untuk bisa masuk ke dalam kerajaan. Ketika Garibaldi memimpin pasukannya menuju pertempuran, ada seorang muda yang bertanya kepadanya, “Jika aku bergabung dengan pasukanmu, apakah yang akan kau tawarkan buatku?” Garibaldi menjawab, “Aku menawarkan keringat, darah dan air mata buatmu. Kamu mau ikut aku? Itulah yang akan kau dapatkan.” Jawaban yang berbeda dengan yang biasanya terdengar dari mulut para penginjil zaman sekarang. “Ikutlah Tuhan, maka kamu akan mendapatkan damai sejahtera dan sukacita.” Memang tidak salah kita akan memperoleh damai sejahtera dan sukacita, namun pertama-tama, yang ada adalah darah, keringat dan air mata. Hanya setelah melewati itu baru kita bisa memperoleh damai sejahtera. Tak heran jika Garibaldi memperoleh kemenangan dengan pasukan yang dipimpinnya. Saya tidak pernah melupakan peristiwa tersebut setiap kali saya mempelajari tentang ajaran Tuhan mengenai salib.

Dengan demikian, apakah makna dari pengajaran Yesus ini? Berdasarkan otoritas dari ajaran Tuhan, jika kita pikir bahwa perjalanan kita ke Surga itu tidak memerlukan pengorbanan apapun, maka dengarlah ucapan saya, sahabat tidak akan pernah sampai ke sana. Inilah hal yang Yesus sampaikan kepada kita melalui ayat-ayat ini. Punyakah kita telinga untuk mendengar? Sebagaimana yang sudah saya sampaikan sebelumnya, saya hanya akan memberitakan ajaran Tuhan dan jika tak seorang pun yang mau membaca blog ini, tak jadi masalah buat saya karena memang itulah firman Tuhan dan saya akan menyampaikan secara apa adanya. Tuhan membangkitkan prajurit bagi salib. Orang-orang semacam itulah yang Tuhan kirimkan untuk menjangkau dunia.


Kelayakan kita datang lewat penderitaan bersama Kristus

Demikianlah, kita melihat bahwa poin yang ketiga adalah mengalami salib Kristus (Hal yang sudah pernah kita bahas sebelumnya). Ketika Yesus berkata, “Jika kamu tidak memikul dan mengalami salibmu itu, kamu tidak dapat menjadi muridku. Berarti kamu tidak mengerti apa yang ku maksudkan.” Yesus ingin kita tahu apa yang sedang Dia bicarakan. Berapa banyak orang Kristen yang tahu apa yang Yesus maksudkan? Kita tidak menderita apa-apa! Kita tidak tahu apa makna salib! Jika suatu hari nanti kita berangkat ke negara dimana orang Kristen dianiaya, kita akan mendapati bahwa ternyata bukan kita yang memberitakan Injil ke sana, tetapi justru para saudara di sana yang menginjili kita. Jika kita mendengarkan mereka menguraikan isi Alkitab, mata kita akan mulai terbuka. Kita akan tertanya-tanya, “Bagaimana mungkin dia memiliki pemahaman seperti itu tentang Firman Allah? Dia tak pernah masuk sekolah teologia, tapi lihat cara dia menguraikan isi Alkitab!” Dibandingkan dengan mereka saya bukan apa-apa. Mereka dapat mengungkapkan isi Alkitab kepada kita sedemikian rupa sehingga mata kita akan terbelalak keheranan. Mereka sangat memahami ajaran Yesus karena mereka hidup di dalamnya. 

Tahukah sahabat mengapa mereka mengerti apa yang dibicarakan oleh Yesus? Karena mereka telah belajar di kampus pengalaman. Dan tahukah sahabat apa itu pengalaman? Pengalaman adalah penderitaan bersama dengan Kristus. Jika sahabat telah pernah mengalami sedikit penderitaan bersama Kristus, maka sahabat akan mulai memberitakan Injil.

Jika kita ingin memberitakan Injil, maka belajarlah di sekolah penderitaan bersama Kristus. Jika kita belum memanggul dan mengalami salib, maka kita tidak memiliki kelayakan untuk memberitakan Injil. Para saudara di negara yang menganiaya orang Kristen, mereka  mungkin tidak sepandai orang yang memiliki gelar Master di bidang teologi ini tapi mereka sudah banyak menderita. Mereka juga mungkin tidak sebaik orang yang memiliki gelar Master ini. Kepribadian mereka juga mungkin tidak seramah orang yang memiliki gelar Master ini. Mereka bisa saja memiliki kepribadian yang kasar akan tetapi mereka memiliki kasih yang murni. Jika kita berada dalam masalah, maka kita boleh yakin bahwa mereka tidak akan pernah mengecewakan kita. Namun ketika mereka berbicara dengan kita mungkin tutur katanya kurang halus atau bisa juga kurang sopan. Lagi pula, dia belum pernah belajar di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Saat dia menyatakan isi hatinya, mungkin dia menyatakannya secara keras dan kasar karena dia tidak tahu bagaimana mengungkapkan isi hati secara halus dan menyenangkan. Jadi, dari sudut pandang dunia, dia tidak lebih baik daripada orang dunia yang lain. Hanya ada satu hal yang membuatnya berbeda. Salib di dalam hidupnya itulah yang membuat perbedaan.

Itulah tepatnya hal yang dikatakan oleh Paulus, “Hal yang tadinya ku-pandang sebagai keuntungan, sekarang ku-pandang sebagai kerugian. Mereka telah menjadi penghambat buatku.” Dia tidak mau mengenakan jubah indah. Yang dia inginkan adalah salib di pundaknya, bukannya jubah mewah. Akan tetapi orang-orang Kristen berkata, “Ini terlalu ekstrim! Kamu bisa memiliki keduanya! Mengenakan jubah dan sekaligus memikul salib ke mana-mana.” Khususnya jika kita memakai salib yang berbentuk indah, dari bahan emas, yang bisa kita gantungkan di leher kita.

Pelatihan sejati yang kita jalani adalah di dalam keseharian kita, di mana kita belajar untuk memikul salib, di mana kita belajar untuk menanggung tekanan yang diberikan oleh dunia, di mana kita belajar untuk berpaling dari dunia, dan tidak mempedulikan apakah dunia akan menentang kita, di mana kita belajar bahwa Allah bisa mengubah suara perut yang keroncongan menjadi suara musik rohani.

Tanpa sekolah salib itu, maka kita tidak akan bisa memberitakan Injil. Kita tidak akan memiliki Injil untuk disampaikan. Kita tidak akan memperoleh pemahaman akan makna salib karena kita tidak pernah mengalaminya. Kita tidak akan tahu apa yang Yesus maksudkan jika kita tidak pernah belajar di sekolah salib itu. Jadi, ini semua bukan karena kita ini lebih unggul dari orang lain. Yang lebih tepat adalah, justru karena kita ini lebih buruk dari orang lain sehingga kita lebih perlu belajar tentang makna salib di dalam pengalaman hidup kita.

Tetapi apakah salib suatu realitas di dalam hidup kita? Apakah salib itu sesuatu yang kita pahami secara nyata di dalam hidup kita? Jika kita belum mengalami salib, maka Dia tidak akan berarti apa-apa bagi kita. Sudah berapa kali kita mendengarkan penginjil yang mengkhotbahkan tentang salib? Apa makna salib buat kita? Tak ada artinya sebelum kita menjadikannya sebagai milik kita, setelah itu barulah kita bisa memahaminya dengan sepenuhnya. Prinsip rohani yang terdapat di sini adalah: jika kita ingin memperoleh makna dari kehidupan rohani, kita harus bersedia menjadikan salib sebagai milik kita.

Arti dari memikul salib: kehilangan hidup Anda di dalam dunia

Memikul salib sebagaimana yang diucapkan oleh Yesus di ayat 39 berarti kehilangan hidup kita di dalam dunia ini. Saya sudah kehilangan kenyamanan hidup saya di dalam dunia ini. Saya berketetapan, dengan kasih karunia Allah, untuk mempertahankan kejernihan visi saya, saya sudah menaruh tangan saya di atas bajak, saya tidak akan menatap ke belakang lagi, bertekad untuk maju terus, di jalan salib. Untuk apa? Supaya saya memperoleh Kristus! Supaya saya bisa memiliki Kristus! Seperti yang dikatakan oleh Paulus, “Untuk kedapatan berada di dalam Dia.”

Di Matius 10:39 Yesus berkata, “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.” Apa maknanya? Secara prinsip sangatlah sederhana. Kit tidak akan pernah memperoleh sesuatu secara gratis. Jika ada orang yang memberitahu kita bahwa kita pasti akan memperoleh hidup yang kekal tanpa pengorbanan apa pun, jangan percaya sepatah pun kata mereka karena di dalam kehidupan rohani, kita tak akan pernah memperoleh sesuatu tanpa perlu mengorbankan sesuatu.

Di Lukas 14:25-33, yang sudah kita baca sehubungan dengan hal memikul salib, Yesus berkata, “Sebelum kamu menjadi seorang murid, hitunglah dulu ongkosnya. Berapa besar pengorbanan yang harus kau lakukan?” Yesus tidak pernah memancing kita untuk masuk ke dalam Kerajaan dengan mulut manis yang berisi  kepalsuan, dan saya bersyukur akan hal itu. Dia berkata, “Hitung dulu berapa besar pengorbanan untuk menjadi muridku, untuk menjadi milikku.” Demikianlah, ayat ini menyatakan hal yang tepat sama dengan kata-kata yang berbeda. Apakah kita ingin mendapatkan hal yang rohani? Kita tidak akan pernah memperoleh hidup itu kalau kita tidak melepaskan hidup kita. Itulah prinsip dalam kehidupan rohani. Dengan demikian kit akan menyadari bahwa semakin kita kehilangan, maka semakin pula kita mendapatkannya. Semakin kita kehilangan hal-hal duniawi, semakin kita mendapatkan hal-hal di dalam hidup yang kekal. Ini adalah hal yang sangat indah. Saya minta sahabat renungkan baik-baik ajaranYesus ini. Bacalah sendiri. Saya tidak ingin memasukkan pemikiran saya sendiri. Pemikiran saya peribadi tidak ada nilainya. Yang saya inginkan adalah agar sahabat renungkan firman Allah karena firman-Nya adalah firman dari hidup yang kekal.

Kita diselamatkan oleh salib Kristus tetapi kita harus memikul salib juga

Sebagai penutup, mari kita renungkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada awal tadi. Sudahkah sahabat temukan jawabannya? Setelah merenungkan ajaran Yesus, lantas apakah kita ini diselamatkan oleh salibnya atau oleh salib kita? Kita melihat bahwa kita harus memikul salib kita.

Jadi, apakah saya yang mendapatkan hidup yang kekal itu dengan memikul salib saya? Dengan kehilangan hidup saya, maka saya memperoleh hidup yang kekal? Lalu apakah jawaban yang muncul di benak kita? “Barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku akan meraihnya?” Yesus tidak berkata begitu. Dia tidak berkata bahwa kita akan meraihnya. Barangsiapa kehilangan nyawanya karena aku akan memperolehnya dengan cara bagaimana? Di sinilah keindahan dari ajaran Yesus. Tidak ada kata yang salah. Jika kita perhatikan dan cermati ajaran Yesus, kita akan mendapati bahwa yang dikatakan adalah, “Barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menemukan (find) hidup yang kekal.

“Menemukan”: berarti menerima sesuatu yang tidak bisa kita raih sendiri

Perhatikan kata “menemukan”, misalnya, di dalam perumpamaan tentang harta yang terpendam. Orang tersebut menggali di ladang dan dia menemukannya. Apakah orang itu mendapatkan harta itu sebagai hasil usahanya? Ketika dia menemukan harta karun itu di ladang, nilai dari harta karun itu jauh melampaui segenap kekayaannya. Dia tidak bisa membelinya, tetapi dia bisa menemukannya. Harta itu diberikan kepadanya. Artinya, dia tak akan pernah dapat membelinya, tetapi dia menemukannya. Menemukan harta itu adalah ungkapan lain yang menyatakan bahwa dia telah mendapatkan sesuatu yang tidak akan dapat ia dapatkan lewat usahanya sendiri.

Sekarang pertimbangkanlah pertanyaan ini: Apakah hidup yang kekal itu sesuatu yang bisa kita capai? Kita tak akan pernah bisa mencapainya. Kita tak akan pernah bisa meraih hidup kekal dari Allah. Berapa harga yang bisa kita tetapkan bagi hidup kekal itu supaya kita bisa meraihnya? Bisakah kita beli hidup yang kekal itu dengan 1 milyar? Bisakah kita beli hidup yang kekal itu dengan 10 milyar? Kita tak akan bisa membeli hidup yang kekal itu sekalipun kita berpenghasilan 100 milyar! Hidup yang kekal itu tak ternilai. Itu adalah hidup Allah. Jika Allah Bapa tidak memberikannya kepada kita, maka kita tidak akan pernah bisa memilikinya karena hidup itu adalah milik Alllah. Tentu saja, hidup yang kekal itu bisa kita miliki. Kita hanya menerimanya sebagai karunia dari Allah melalui salib Kristus.

Makna salib kita: sarana untuk kita memenuhi persyaratan Allah bagi hidup kekal

Lalu, apa maksud dari pembicaraan tentang salib itu? Salib kita merupakan syarat untuk menerima hidup yang kekal. Salib bukan sarana untuk memperoleh hasil, melainkan sarana untuk memenuhi persyaratan. Saat sahabat merenungkan persyaratan yang diberikan, sahabat akan melihat sungguh luar biasa hikmat Yesus!

Kita mungkin bertanya, “Mengapa Yesus membuat persyaratan ini? Mengapa dia menginginkan hal ini dari kita?” Karena hanya dengan jalan itu maka kita bisa benar-benar diselamatkan. Jika salib tidak masuk ke dalam hidup kita, maka kita akan kembali lagi ke dalam dosa, dan itu pasti. Alasan mengapa Yesus ingin agar kita mengalami salib di dalam hidup kita adalah untuk menghancurkan dasar pijakan dosa di dalam kehidupan kita. Itulah makna dari firman yang luar biasa, yang diucapkan oleh rasul Petrus di dalam suratnya, barangsiapa telah menderita penderitaan badani, ia telah berhenti berbuat dosa (1 Petrus 4:1).

Tidaklah mengherankan bahwa jika jika menanyakan hal ini pada orang-orang yang hanya mempelajari teologi, mereka bingung. Mereka tidak tahu apa maknanya. Akan tetapi jika kita tanyakan hal ini pada orang Kristen yang lugu namun yang telah dianiaya karena imannya, maka dia akan segera menjelaskannya kepada kita. Sungguh mendalam pengertiannya. Kita akan tahu apa artinya jika kita sudah menderita. Kita akan memahami Alkitab, bukan dari sekadar membaca tafsirannya. Kita jalani dalam hidup kita dan kita akan tahu apa artinya. Orang-orang yang bergantung pada buku-buku tafsiran sangat kesulitan untuk memahami Alkitab. Akan tetapi bila kita jalani dalam hidup kita dengan memikul salib, maka makna Alkaitab sangatlah jelas, sangat mudah dipahami. Sekarang kita mengerti mengapa Yesus menetapkan persyaratan ini. Hikmatnya sungguh sempurna.

Kita mungkin berkata, “Mengapa tidak diberikan secara gratis saja? Tanpa persyaratan apapun? Bukankah itu yang biasanya dikhotbahkan.” Dan para pengkhotbah itu merasa bahwa mereka sudah lebih pandai daripada Allah. Mereka hanya mengutip satu ayat: karunia Allah adalah pemberian gratis. Keselamatan adalah karunia dari Allah. Hal itu memang sepenuhnya benar akan tetapi hanya menyentuh separuh dari kebenarannya, karena karunia gratis itu diberikan lengkap dengan persyaratannya. Jika saya ingin memberi sahabat sebuah senjata api, tentunya sangat tidak bertanggung jawab jika saya tidak memastikan bahwa sahabat adalah orang yang layak untuk menggunakan senjata api. Saya perlu memastikan bahwa sahabat adalah orang yang memenuhi persyaratan, baru setelah itu saya memberi sahabat senjata api tersebut secara gratis. 

Atau contoh lainnya: jika saya adalah orang yang sangat kaya, dan sahabat tidak punya uang sama sekali. Kalau saya ingin memberi kamu uang 1 juta, dan saya berkata, “Ini uang 1 juta. Ambillah. Ini hadiah untukmu. Kamu tidak akan pernah mampu mendapatkannya, tetapi sekarang aku memberikannya buatmu,” apakah sahabat sekalian berpikir bahwa saya tidak akan menetapkan persyaratan? Kalau begitu, mengapa saya tidak menutup mata dan secara membabi-buta memberikan uang 1 juta kepada siapa saja. Saya perlu memastikan apa yang akan sahabat lakukan dengan uang yang 1 juta itu, apa akan digunakannya secara benar, bukan untuk membeli narkoba atau bom. 

Jadi karunia itu gratis akan tetapi ada persyaratan yang terkait dengan itu. Apakah ketentuan semacam itu bukan sesuatu yang kita harapkan dari Allah?

Bolehkah saya berkata kepada sahabat sekalian, “Kamu bisa mendapatkan hidup yang kekal sesuka hatimu! Mari dapatkanlah hidup yang kekal! Dan kamu boleh melanjutkan hidup di dalam dosa dan tidak akan ada masalah. Kamu boleh meneruskan dosa-dosamu dan hidup yang kekal itu tetap menjadi milikmu.”? 

Tidak, Allah tidak akan pernah melakukan hal semacam ini. Karunia dari Allah adalah hidup yang kekal. Dia berkata, “Aku berikan padamu sebagai karunia, tetapi Aku mau memastikan bahwa kamu tidak kembali lagi ke dalam dosa yang sebelumnya telah membunuhmu.” Hanya dengan memiliki salib di dalam hidup kita maka karunia yang kekal dari Allah akan tetap menjadi milik kita dan tidak akan hancur, atau tercemar, atau rusak oleh kita.

Namun karena para penginjil tidak menyampaikan hal ini, lihatlah apa yang terjadi. Begitu banyak orang yang datang kepada Tuhan, seperti yang sudah pernah saya sebutkan, dan dalam kurun waktu satu tahun kemudian, 70% dari mereka meninggalkan Gereja. Dalam waktu dua tahun, mereka yang telah berkomitmen itu, atau yang seharusnya telah menjadi Kristen dalam beberapa KKR, di manakah mereka berada setelah itu? Periksalah daftar yang ada dan lihat berapa banyak yang masih Kristen setelah satu tahun? Namun para penginjil itu mengira bahwa mereka lebih cerdik ketimbang Allah, dengan cara memberitakan karunia gratisnya tanpa menyampaikan persyaratannya. Dari 100 orang yang mengaku telah datang kepada Kristus dalam sebuah KKR, dalam waktu tiga tahun setelahnya, Anda akan mendapati bahwa hanya tertinggal sekitar 4% jika Anda memberitakan Injil dengan cara tidak menyebutkan persyaratannya.

Persyaratan dari Allah bagi hidup kekal yang gratis

Jadi, saya harap sahabat sekalian sekarang mengerti jawaban atas pertanyaan yang saya sampaikan di bagian awal tadi. Dan sahabat akan melihat hikmat Allah. Allah memberi hidup yang kekal secara gratis kepada kita, namun kita harus memenuhi persyaratanyang ditetapkan. Kita harus berpaling dari dosa. Kita harus berpaling dari dunia yang ingin menarik Kita kembali ke dalam dosa. Inilah pengajaranYesus Kristus. Bukankah hal ini menyatakan hikmat Allah yang sempurna?

Dan terakhir, saya bertanya kepada sahabat, sudahkah kita memenuhi persyaratannya? Allah bersedia untuk memberikan hidup kekal-Nya secara gratis tetapi apakah kita sudah memenuhi persyaratannya, sekalipun kita mengklaim diri kita sebagai seorang Kristen? Dan apakah kita di dalam memikul salib itu sudah mengambil langkah yang pertama, kemudian melanjutkan ke langkah yang kedua dan yang ketiga?


Salam Revival!!!

Tuhan Yesus memberkati

Rabu, 20 Juli 2016

WARNING!!! Jaga Kekudusan!!

Dalam 1 Kor 12:8-10, disebutkan berbagai Karunia Roh, yaitu :
• Karunia untuk berkata-kata dengan hikmat
• Karunia berkata-kata dengan pengetahuan
• Karunia iman
• Karunia untuk menyembuhkan
• Kuasa untuk mengadakan mujizat
• Karunia untuk bernubuat
• Karunia untuk membedakan bermacam-macam roh
• Karunia berbahasa roh
• Karunia untuk menafsirkan bahasa roh

Jika seseorang memiliki karunia Roh sebaiknya tidak hidup sembarangan, tetapi menjaganya dengan hidup dalam kekudusan dan menjadi pelaku Firman yang setia. Mengapa begitu?

Pada saat seseorang menerima karunia Roh, maka hidupnya berada dalam “bahaya besar” karena karunia tersebut terjadi di dalam Roh. Ketika karunia Roh diterima, maka semua makhluk di dunia roh mengetahuinya, termasuk si jelek. Dan kenyataan yang terjadi adalah, sijelek akan menjadikan orang-orang yang memiliki karunia Roh menjadi target utama serangannya.

Di dalam pelayanan pelepasan dan pemulihan kita menemui orang-orang yang punya karunia penglihatan tetapi tidak menjaga kekudusan hidupnya, maka yang dilihat adalah setan-setan yang menyerang dan melakukan intimidasi. Bahkan sijelek memberikan penglihatan-penglihatan yang menipu. Ketika orang menerima karunia penglihatan, maka mereka bisa melihat dunia roh, baik melihat malaikat, Tuhan Yesus, Roh Kudus, termasuk melihat sijelek di dalam berbagai bentuknya.

Orang yang punya karunia pendengaran dan nubuatan tetapi tidak menjaga kekudusan hidupnya di dalam kebenaran Firman Tuhan, maka setan akan memberikan pendengaran-pendengaran yang kacau dan menipu. Beberapa orang yang pernah kita layani, oleh keluarganya dikatakan sebagai “orang gila” karena dia mendengar suara-suara yang kacau sehingga dia tidak bisa membedakan mana yang nyata mana yang tidak. Ketika “karunia pendengarannya” dipulihkan dan dibimbing untuk menjaga kekudusan hidup, maka justru dia bisa melawan dan mematahkan semua intimidasi iblis yang mencoba menyerang.

Satu kali ada seorang pendoa syafaat dari satu gereja, yang memiliki karunia bahasa Roh. Ketika kita doakan, dia berkata-kata dalam “bahasa Roh” dengan keras. Tapi yang aneh adalah, di dalam Roh terlihat yang keluar dari mulutnya adalah asap hitam yang kotor. Kemudian kita perintahkan untuk diam, dan Tuhan Yesus memperlihatkan bahwa kata-kata “bahasa Roh” itu bukan dari Roh Kudus, tetapi dari roh binatang liar yang menguasai lidah dan hatinya. Sekalipun dia adalah seorang pendoa syafaat, tetapi ternyata hatinya penuh dengan kepahitan, dan kemampuannya “berbahasa Roh” menjadi alat untuk menyombongkan diri. Ketika hidupnya cemar, maka bukan Roh Kudus yang berkata-kata, tetapi sijelek masuk ke dalam dirinya dan membuat lidahnya bergetar mengucapkan kata-kata yang tidak bisa dimengerti.

Karunia Roh adalah kudus, oleh karena itu karunia Roh hanya akan “bekerja” dengan baik di dalam “wadah” yang kudus juga, yaitu di dalam hidup anak Tuhan yang selalu menjaga kekudusan hidupnya dan menjadi pelaku Firman yang setia. Jika “wadah”nya tidak selalu dijaga kekudusannya, maka ada celah lebar yang terbuka untuk sijelek masuk, menyerang dengan memberikan karunia-karunia yang menipu dan menyesatkan.

Banyak orang-orang kristen yang merasa bahwa ketika mereka mempunyai karunia-karunia Roh, maka mereka menjadi orang yang “sakti” yang kebal terhadap serangan sijelek. Justru itu adalah tipu muslihat sijelek yang terbesar, karena dengan begitu mereka tidak berjaga-jaga dan hidupnya terbuka bagi serangan sijelek.

Satu kali kita melayani satu keluarga yang bermasalah, suami, istri dan anak-anaknya. Di waktu yang lain keluarga ini membawa keluarganya yang lain juga untuk dilayani pelepasan dan pemulihan. Dan berikutnya lagi ada satu keluarga yang lain lagi. Ternyata keluarga besar ini memiliki masalah yang kompleks, mulai dari nikah dengan non kristen, anak-anak yang memberontak, kepahitan, perzinahan percabulan, narkoba, dugem, usaha bunuh diri, kesengsaraan, dll. Dan yang mengejutkan adalah mereka mempunyai kakek seorang hamba Tuhan yang memiliki karunia-karunia Roh (Karunia kesembuhan, nubuatan, penglihatan, bahasa Roh). Kakeknya adalah seorang hamba Tuhan yang sangat disegani di daerahnya dan melayani Tuhan dengan luar biasa. Akan tetapi si kakek ini tidak mempersiapkan “pertahanan Roh” yang kuat untuk keluarganya. Sijelek tidak bisa menyerang dia, karena selama hidupnya dia melayani Tuhan dengan setia. Tapi celah terbuka di dalam diri istri dan anak-anaknya. Dan hasilnya, bertahun-tahun setelah si kakek meninggal, satu per satu anak cucunya terlibat masalah-masalah hidup yang sangat berat dan kompleks. Sijelek yang diusir dan dilenyapkan oleh si kakek membalas dengan keras terhadap istri dan anak cucunya, karena dia tidak mempersiapkan keluarganya membangun pertahanan Roh yang kuat di dalam kekudusan hidup dan menjadi pelaku Firman yang setia.

Di Alkitab ada satu contoh, orang yang tidak menjaga kekudusan hidupnya, yaitu nikolaus. Dia adalah satu dari tujuh murid para rasul yang dipilih dari jemaat mula-mula (Kis 6:5), rekan sekerja dari stefanus yang mati sebagai martir. Tujuh murid para rasul ini adalah orang-orang yang terkenal baik, penuh Roh dan hikmat (Kis 6:3). Akan tetapi kemudian Nikolaus tidak menjaga kekudusan hidupnya dan tunduk pada Firman Tuhan. Dia menikmati kehidupan dunia dan mengajarkan perzinahan dan percabulan kepada pengikutnya, sehingga selanjutnya justru Tuhan sendiri yang menentang dia (Wahyu 2:6).

So... Jika kita menerima karunia Roh, sebaiknya itu benar-benar dijaga dengan selalu hidup dalam kekudusan dan setia melakukan kebenaran Firman Tuhan. Karena jika tidak, maka akan terbuka celah di mana sijelek bisa masuk, memberikan karunia-karunia yang menipu bahkan membinasakan hidup.

Tetap semangat di dalam Firman Tuhan dan Salam Revival!!!
Tuhan Yesus memberkati

Selasa, 12 Juli 2016

BENERAN SUDAH DAPAT ‘CINTA SEJATI’ YANG SEBENARNYA??

Setiap manusia pasti sangat merindukan untuk menemukan cinta sejati yang akan bersama-sama mengarungi kehidupan hingga tua nanti. Namun sayangnya, kebanyakan kita memaknai cinta sejati dengan cara yang salah yakni menuntut pasangan kita nanti untuk bisa menjadi pribadi yang kita inginkan.

Cinta mampu menjadi sumber inspirasi dan kreativitas, seperti contohnya yang ada di dalam industri hiburan. Ada banyak lagu, film, bacaan dan sebagainya yang terinspirasi oleh kehidupan cinta seseorang. Dari cinta yang berakhir dengan bahagia sampai cinta yang berujung merana.

Namun sebenarnya semua itu hanya menggambarkan rasa cinta yang ditujukan hanya demi kepuasan pribadi orang yang mencintai. Dengan kata lain, cinta ini terarah kepada diri sendiri kemudian saat cinta itu ditolak maka muncullah rasa putus cinta, galau, kecewa sedih dan sebagainya. Dan sayangnya, cinta seperti inilah yang terus menginspirasi banyak orang.

Lalu apa sebenarnya cinta sejati itu??

Cinta sejati harus dimulai dari diri kita untuk berkorban dan bersedia untuk melakukan apapun yang memang harus dilakukan demi memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang kita sayangi.

Cinta sejati (Unconditional Love) sifatnya aktif yang berarti dari diri kita yang harus mengusahakan untuk cinta tersebut dapat terbangun. Rasa cinta seperti ini tidak mementingkan diri sendiri, tidak egois dan tidak bersyarat. Cinta sejati akan berani untuk berkorban demi untuk memberikan yang terbaik bagi orang yang dikasihinya.

Mengapa seringkali terjadi pertengkaran di antara pasangan?? Jawabannya adalah karena satu sama lain masih membawa egonya masing-masing dan tidak belajar untuk melakukan tindakan berkorban bagi pasangannya.

Jadi kesimpulannya hanya dengan menggunakan cinta yang tulus dan tidak bersyaratlah yang akan membuat kita menemukan cinta sejati itu.
Lalu, bagi kamu yang sedang membangun hubungan, kira-kira apakah pasanganmu saat ini adalah cinta sejatimu? Ingatlah bahwa keputusanmu saat ini akan sangat mempengaruhi kehidupanmu nanti di masa depan.
Jadi pastikan kamu tidak salah memilih pasangan.

Jumat, 08 Juli 2016

Intercessor

Tuhan berkata, “Angkatlah suaramu! Lepaskan suaramu ke seluruh penjuru bumi! Berserulah, hai engkau yang mengasihi nama-Ku. Berdoa dan bernyanyilah, para sangkakala Allah, karena Tuhan Allahmu bergema dari Surga menuju kedalaman jiwamu! Menari dan mengeranglah dari dasar-dasar bumi, karena itulah seruan doa syafaat yang timbul dari dalam dirimu!

“Aku telah melepaskan suatu intensitas syafaat yang jauh lebih besar yang takkan dapat engkau tahan. Jangan menahannya! Karena Aku telah memanggilmu dari antara debu sebagai para pendoa syafaat yang berharga dan Aku mengenal namamu! Engkau telah Kupilih dan Kuurapi untuk menanggung isi hatiKu dan untuk membawa rahim kemuliaanKu, bahkan sebagai seorang ibu yang mengandung dan mengerang kesakitan untuk melahirkan sebuah kehidupan yang baru.

“Seperti seorang Bapa yang menanti dengan harap agar benih-Nya dilahirkan, demikianlah Aku menjagaimu dan menanti di sisimu untuk membawamu melewati setiap kesakitan, setiap kepedihan dan setiap duka. Di dalam kelemahanmu Aku telah menguatkanmu, meyakinkanmu bahwa engkau akan melewati api luka hati dan penderitaan jiwamu. Di dalam kelemahanmu, engkau telah merendahkan hatimu dan mengijinkanKu untuk menguasaimu agar engkau dapat melihat dengan matamu manifestasi dan upah bagi penderitaan kasihmu bagi-Ku! Engkau tidak menderita dengan sia-sia,” kata Tuhan, “Penderitaan kasihmu tak pernah sia-sia!”

•Generasi Para Pendoa Profetik

Ada suatu seruan Roh yang muncul dari generasi para pendoa profetik yang telah menjadi satu suara bagi telinga Allah, yang berkumpul di dalam Roh dari empat penjuru bumi. Suara ini adalah suara kesatuan dan kasih, untuk satu tujuan, saat mereka berkumpul setiap hari dalam satu hati dan satu pikiran, menyembah Allah di dalam Roh dan kebenaran.

Itulah suara Allah yang ada di kedalaman jiwa setiap pendoa syafaat Allah di seluruh penjuru bumi, yang mendengar panggilan-Nya untuk merendahkan diri mereka dan berdoa hingga Roh menjawab permohonan mereka. Mereka mendapati kekuatan Allah di dalam kelemahan mereka. Mereka telah belajar menyerahkan segenap hati, jiwa, pikiran dan tubuh mereka kepada perintah dan panggilan Allah.

• Terlahir Dengan Insting untuk Berdoa
Saat Allah menyatakan hati-Nya melalui mereka yang berharga bagiNya, secara insting mereka mengetahui bagaimana memanggil nama Yesus, berdiri sebagai perantara, bersedia meletakkan hidup mereka demi kasih mereka kepada Allah. Mereka terlahir dengan insting untuk berdoa sebagai suatu hal yang alami seperti menghirup udara. Dalam keyakinan yang heningmereka menanti dengan sabar kepada Pemimpin hidup mereka untuk berkata-katacepat untuk taat saat mendengar suaraNya tanpa ragu-ragu dan mempersiapkan diri.

Alkitab menyingkapkan suatu jenis doa syafaat yang secara insting ada di dalam setiap kita dan membebaskan kita saat kita menyerukan erangan di dalam Roh-Nya; Roma 8:22-23 berkata:
“Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin. Dan bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita.”

• Dipanggil Ke Dalam Pelayanan yang Tak Terlihat
Rencana Allah bagi para pendoa syafaat-Nya jauh lebih dibanding apapun yang dapat kita lihat dengan mata jasmani kita. Allah telah memberi kepada para pendoa syafaat wawasan ke dalam dunia yang tak terlihat untuk mengetahui bagaimana menunjuk dengan tepat, menjatuhkan, memanggil keluar, menghancurkan, menelanjangi, membangun, menanam, menguatkan dan melahirkan kehidupan yang baru.

Inilah pelayanan yang tak terlihat dimana Aku telah memanggilmu,” kata Tuhan, “Inilah fokus konsentrasi yang Aku minta padamu. Inilah tempat dimana Aku telah memisahkan dirimu bagi diri-Ku. Aku selalu cemburu padamu dan Aku takkan mengijinkan seorangpun ataupun musuh untuk merebut hadiah berharga yang telah Kutempatkan di dalam dirimu. Aku telah memilihmu untuk saat seperti saat ini.
Aku telah menaruhmu dekat di hatiKu meski terkadang engkau ditolak dan engkau merasa telah dirampok dan hatimu dilukai, namun Aku tak pernah meninggalkanmu atau mengabaikanmu dan Aku akan mengganti semua yang telah dicuri darimu jika engkau bersedia mengampuni mereka yang telah memanfaatkanmu dan berkatilah mereka yang telah menganiayamuIjinkanKu memulihkan hatimu dan menjadikan hidupmu sebagai suatu warisan bagi generasi mendatang yang akan belajar dari teladanmu, ketahananmu, dan kasihmu.”

Para Pahlawan Peperangan Di Belakang Layar
Para pendoa syafaat Allah memiliki tempat istimewa di dalam hati-Nya. Ia menyatakan isi hati-Nya kepada mereka karena mereka profetis di alam nyata dan mereka bersediakan menghabiskan banyak waktu di tempat rahasia bersama Allah karena kasih mereka kepadaNya sehingga mereka meminta, mengerang, menari, menggeliat, melahirkan, menyembah, menyanyi, berperang dan menghancurkan para penguasa dan pekerjaan-pekerjaan iblis di balik pintu yang tertutup.

Engkau Telah Diberi Berkat Sebuah Beban
Saya mendengar Allah berkata kepada mereka yang berharga bagi-Nya, “Engkau telah diberi berkat sebuah beban, dan Aku telah memberkatimu dengan bobot Roh-Ku yang berharga dalam pandangan-Ku, untuk melepaskan rencana dan tujuan hati-Ku di hari-hari terakhir ini. Aku telah membebanimu untuk membawa obor doa syafaat bagi generasi ini, dan Aku membangun warisan yang bertahan lama di dalammu bagi mereka yang akan mengingatmu seperti Aku memanggil namamu dan menyebutmu, ‘Orang yang Setia, Taat dan Teguh.’

Tidakkah mengherankan mengapa musuh berusaha menjatuhkan apimu dan merebut hidupmu dari padamu? Angkatlah suaramu dan ambil tempatmu dengan tepat dan datanglah kepada-Ku kapan saja dengan setiap permohonanmu, setiap bebanmu, dan setiap tangisan hatimu, karena Aku akan mendengarmu dan takkan menolakmu atau mengabaikanmu seperti yang telah orang lain lakukan kepadamu,” kata Tuhan.
Kuduskan dirimu dan pisahkan dirimu bagi-Ku,” kata Tuhan, “berikan tubuhmu bagi-Ku sebagai persembahan yang hidup bagi-Ku untuk berbicara, berseru dan berperang saat Aku melepaskan rahasia-rahasia dan isi hati-Ku kepadamu. Adalah kesenanganKu untuk memberimu Kerajaan.

Tuhan Adalah Pahlawan Perangmu, Seorang Pahlawan yang Gagah Perkasa
Adalah isi hati Allah bagi para hamba-Nya yang setia, bagi mereka yang menggerakkan hati-Nya untuk bertindak saat mereka dengan rendah hati menyiapkan ruang dalam hati mereka bagi Tuhan mereka, saat mereka menyanyikan nyanyian kemenangan mereka seperti yang dinyanyikan Musa dan bangsa Israel dalam Keluaran 15:2-3:
TUHAN itu kekuatanku dan mazmurku, Ia telah menjadi keselamatanku. Ia Allahku, kupuji Dia, Ia Allah bapaku, kuluhurkan Dia TUHAN itu pahlawan perang; TUHAN, itulah nama-Nya.

Seperti hujan akhir yang menyegarkan, Tuhan sendiri telah menempatkan mereka untuk memberi kekuatan bagi mereka yang lemah. Seperti angin yang bertiup kencang dari bangsa ke bangsa, mereka dipenuhi dengan suara api yang terbakar di seluruh negeri, saat mereka terus-menerus orang lain untuk menjawab panggilan dan kesempatan istimewa untuk berdoa. Mereka dipimpin dengan hikmat Allah saat melayani di dalam hadirat Allah kemana pun mereka pergi, karena mereka terlatih untuk menjadikan Tuhan tempat kediaman mereka dan mendapatkan perkenanan Allah, karena mendedikasikan kehidupan pribadi mereka sebagai tempat kediamanNya.

“Karena engkau, Aku akan menarik semua pria, wanita, anak-anak dan bangsa-bangsa datang kepadaKu. Karena engkau tidak meninggikan dirimu, sebaliknya, engkau merendahkan hatimu, dan mempercayakanKu dengan rahasia-rahasia hatimu, kini Aku akan mempercayakanmu dengan rahasia-rahasia hatiKu,” kata Tuhan.
“Di tempat yang tersembunyilah Aku telah mengenalmu, dan di tempat yang tersembunyilah Aku akan selalu memberi upah bagimu. PerkenananKu diam di atasmu saat engkau mulai melihat gunung-gunung bergerak keluar dari jalanmu. Perhatikan musuhmu meleleh seperti lilin di hadapanmu saat engkau melihat keselamatan dari Allah dengan matamu sendiri. Aku yang akan berperang bagimu, Aku akan berperang bagi keluargamu, dan segala sesuatu yang menjadi perhatianmuSeperti yang telah Aku janjikan kepadamu sebelumnya, Aku akan mengurusi segala keperluanmu,” kata Tuhan. “Tak ada malapetaka akan menghampirimu, bagi mereka yang bersedia berlindung dan berdiam di balik bayangan sayap-Ku.”

Salam Revival!!!
Tuhan Yesus memberkati